Saja-sajak Faisal Syahreza
Istana Pasir
aku selalu memimpikan istana yang terbuat dari pasir.
yang tak pernah hancur meski ombak-ombak setia mengujinya.
meski berpuluh-puluh pasang kekasih mengukir nama mereka
di atas permukaannya. dan meski pantai mulai kehilangan senja
yang indah. tetap saja, istana itu hanya akan rubuh dan
mengubur kita berdua sampai mati. mengekalkan kenangan dan masa lalu
menjadi bagian dari kisah kita. seumpama kura-kura,
kau betina yang mengubur seluruh telur-telurmu di situ.
dan aku, si jantan yang berjaga sampai waktu tetas bagi anak-anaknya.
setiap malam, dari istana putih kita serap seluruh pancaran
cahaya bintang. kita telanjang menghadapi lautan.
saling membanggakan yang pernah kita lakukan.
menyimpan satu-satu kerinduan di lubuk hati kita terdalam.
tak kubiarkan jarak sedikit saja membentang. kau pun demikian
cinta tak pernah begitu saja luput kau genggam.
aku memandang matamu, menghujamkan sajak-sajakku.
kau dekapkan tubuhmu, bernyanyi dan menari hanya untukku.
2010
Sajak Setumpuk Buku di Sudut Kamarku
aku melihat tumpukan buku, di sudut kamarku.
lalu kubayangkan ribuan abjad, telah
lama menciptakan sejarah dan agama baru.
lalu kutawarkan pada buku, kita saling
bertukar perilaku. apa yang kutahu
akan menjadi halamananmu yang baru.
dan segala tandasan pada kulitmu,
akan mengental dalam pikiranku.
kau kuutus juga ke kota-kota.
giliranmu membaca, setelah habis
kau dieja dan perkosa.
kau mungkin akan menuju
bioskop, gym, dan lokalisasi.
atau bahkan kau ke tempat
yang tak pernah kubayangkan sebelumnya
akan dituju sejumlah buku.
tapi jangan kau pernah lupa.
tengok diriku yang kini menghuni
ruang tempat engkau menyendiri.
menekuni masa lalu, dengan
menjaganya dari debu-debu waktu.
tepat di sudut kamarku itu,
yang dulu tempat aku membakarmu.
2009
Muhabah Duri
tak pernah aku lihat engkau secemas nabi,
wahai duri di tangkai mawar
yang menatap dengan kukuh besi
dan menggoda sunyi.
yang berderet di antara makam
hitam, bagai alpukat matang.
menahan diri dari usiran mereka
ruap dupa luka.
menahan diri dari sergapan hujan
kelabu dini hari.
akan diutusnya merah nyalang
dari wajah mahkota yang tengadah.
menyekap perih langit
yang masih terus menggelapar
dalam dadanya.
mendidih di penghujung musim
gugurnya tanpa ngilu.
sebelum akhirnya
duri menemukan pasang,
lewat perangkapnya, ujung
runcing yang menemukan
tembus di kulit ari jemari.
dalam limpung bulan
duri-duri, jadi doa
retih suaranya terdengar
memekak, menagih nyeri.
2010
Tubuh Angin
apa yang bisa kutuju
dari arah matamu.
selain kesenyapan yang mengendap
di pucuk-pucuk pepohonan
di puncak-puncak bebukitan
yang melabuhkan warna abu
pada senja, hingga sepasang burung
mengepakan sayapnya, murung.
sepasang burung
lantas mengasuh perihnya
di antara sekian tubuhmu
yang mengubur satu-satu
rasa sakit dan perih.
seolah-olah kau akan menunggu
di sana, di kejauhan.
engkau yang masih tengadah
bersama dingin pertama
yang tuhan ciptakan.
2010
Sajak
aku telah melukis namamu
pada ribuan lembar daun
yang mengering,
dengan huruf-huruf yang
tak mungkin bisa kau baca
selain di waktu yang sangat
rahasia–
saat senja lebih ringkas
di pelupuk matamu.
kita bisa meminjam
sepeda yang
tergeletak, milik bocah-bocah
yang sedang bermain
di taman.
untuk kita kendarai
mengitari musim
yang terus melaju
tanpa pamit,
cinta yang terus berkobar
tak mengenal padam.
aku tak ingin ada siapapun
mendahului
menuliskan sajak ini,
juga dirimu meski itu
untukku.
2010
Di Atas Batu Tengah Kolam
dijatuhkan nyeri
atas pucuk-pucuk sunyi
bagai sebongkah baja tak tercederai api.
ditulis dengan hati-hati
menyerap segala perih
bagi utusan duri-duri.
tegak tiang petang
menerungkunya yang tabah
mengasah doa.
berkabar dikepung ikan-ikan
mencuri bayangan
tapi dosa terus sepi.
menyusup di atas batu
di tengah kolam yang rinai
akan hujan
jadilah maut menugar badan
berumah dan mengakar
pada seserpih silam.
entah dari mana,
dan sejak kapan.
pastinya berabad lama
bertapa meremas duka.
mengguris kerangka wajahnya
atas garis menua
pada lumut lembabnya.
berdiri, menikam langit
yang satin memancar
di permukaan.
di atas batu, di tengah kolam
perlahan air riang
menimpakan semesta
dalam sekerat wajah
beku dan bisu, gaib semata.
2010
Utusan Batu
kalau batu-batu mengusungku
padamu di tengah beku
terpaan hujan itu.
jadilah kau mengenakan wajah duri
dan tebuslah dosaku yang murni
semurni air susu di pagi hari.
meski tak sekekal mawar
aku sudah menciummu
lewat akar impian
merambahi masa silam.
meski tak seterjal langit
aku sudah menguburmu
lewat makam-makam tak bernisan.
tak bisa aku mengepungmu
sebab engkau sudah lama lepas
jadi kabut yang tersisip belati
jadi doa yang ganas dan tegas.
yang tertunduk lugu pada rumput
akan menjadi paling liar
dalam tatap nanar.
yang tergali dalam pada tanah
akan menjadi paling dangkal
dalam ucap sangkal.
perih mengalir tak kunjung
menemu muara.
dada pepohonan terbuka
menumpah asal luka.
di tebing-tebing kembali
aku tak bernama.
meski gagu kuseru juga
meski tak memanglingkan muka
aku sudah meraba dan menyekapmu
wahai esok yang buta.
menarilah aku bersama ruap gigil daun
gaung serangga dan sihir padma.
menembus kefanaan doa
menawar takdir dan nasib
pada karam lanskap di mata kita.
aku mengenalkan diriku
lewat sapa dan bisu beku purba.
mengenaskan menjadi anak panah
yang dilesapkan ke segala arah.
berharap ampunan tertangkap
dan bebaslah kita dari khianat
mata pahat.
2010
Penanam Pohon Pisang
bukan ia ketakutakan soal percernaan tak lancar.
sudah saatnya ia menguningkan kehampaan.
menunggu usianya masak di klaras kering kecoklatan.
bertandangan anak-cucunya ke rumahnya.
disediakannya bertandan pisang, yang baru ia petik
dari pohon tersayang.
anaknya lalu bilang, pisang ini bila dijual
ke pasar cukup membeli kain kafan.
cucunya pun menambahkan, pisang ini kalau
dibagikan pada teman-temannya,
akan ada pertandingan bola sore harinya.
tapi ia sudah yakin, bahwa pisang ini buah peneman.
sehabis tak berbuah.
ia akan menumbangkan pohonnya,
bersamaan badan si-empunya ke tanah
yang pertama kali melahirkannya.
2009
Pemahat Batu
haruskah wajahmu
kulukai lagi dengan
pahatanku?
angin yang terus
bertiup dengan segala kutukannya
seakan-akan mantra hujan
memanggil dari dalam
tubuhmu.
dalam bisu
aku mengandung nyerimu.
nyeri yang menancap pasti
dalam selangkangan sepi.
ingin kukalungkan bayang-bayang
di antara ngilu
saat mata pahat
beradu dengan cangkangmu.
hendak kujadikan
kau patung ibu–
maria yang masih
begitu kau rahasiakan
dalam air mata.
2010
Sungai di Tangan
aku tahu, ia mengalirkan banyak kenangan
yang menghangatkan badan dan malam si tuan
sepertinya sungai itu leluasa bertamasya
di nadinya, memanggul banyak waktu merindu
di tangannya yang jenjang
sungai itu semakin panjang, membentang
aku tak pernah mengharapkannya melahirkanku
dalam hutan kesepian
menjelmakanku jadi si kutuk –pelayar sekaligus penyendiri
karena sampanku usai
aku akan melayarkan cintaku padamu,
sambutlah, rasakan sauhnya mencengkram urat tangan!
2009
Penyelam
telah kau selami
tubuh putih lautan,
mendedah kelam
menyentuh pepasiran
dan mencium kulit tiram.
lantas setiap
pulang
pasti dikisahkannya
tentang putri duyung
lelap kau tidurkan
di pangkuanmu.
tentang kerang-kerang
hijau
yang kau kumpulkan
untuk
dikalungkan pada perempuan
yang hendak kau pinang.
tapi lautan tak memberimu
yang kau inginkan
selain potongan-potongan
cerita yang baru.
selami tubuhku
lebih dalam lagi, jika kau berani
akan ada yang lebih
garang dan membuatmu gusar
di seluruh malam–
lubang-lubang bermata kail
berdinding sepi yang dingin.
2010
Rebung
bertahanlah rebung-rebung di rumpun aur itu,
hidup kalian memang akan sampai di situ.
akan sampai kalian ke dalam mangkuk-mangkuk
yang wajar, juga dilahap kami orang-orang sabar.
jangan lagi hiraukan masa depan,
merasuki langit, terlibat seteru angin yang sengit.
kalian akan direbus sekian menit dalam kuali
sampai hilang rasa pahit, sampai hilang kenangan sepi.
Ruap kalian yang membubung
memanggil selera kami bangkit
menuju kuah yang legit
jangan menjerit, jangan pula merasa sakit!
kami lebih tahu apa itu namanya perih
nyeri, juga sedih.
karena dalam menghadapi kalian yang telah sempurna
di gigir nasi sebakul, di sindir ikan asin.
inilah waktunya menyantap kalian, kami saling berkeliling
lapar saling merangkul, nafsu saling ingin.
kalian bergiliran tersuap ke mulut kami yang dzikir,
yang karib. setelah kehabisan usianya menebak
apa itu takdir, apa itu nasib dan apa itu
kebahagian.
2011
Tungku Gunung Wayang
di depan tungku, kuhangat-hangatkan tubuhku
kuasuh-asuh jiwaku, agar membara merah
arang menyala, agar mengembara menemukan
ruang-ruang di mana doa berjaga.
kubasuh-basuh diriku, dengan pancar api
menyingkap kabut dan sepi
yang melumpuhkan dengan dinginnya,
di tepi malam hari.
dengan sisa-sisa tenaga
mengusir kantuk, sengat lelah sehabis bekerja
menggarap kebun-kebun warisan surga,
kuingat-ingat musim panen yang kelak tiba,
yang akan segera.
di mana melimpah labu-labu petikan
tangan manja, kentang-kentang lonjong
bulat mematut bulan, kubis-kubis merekah
dalam singgasananya
dan susu dari sapi perah yang telah kupelihara
dengan rumput-rumput tanpa noda.
di depan tungku, kayu-kayu kutumpang lima
saling sulang, tabah menunggu giliran
dilahap lesap api dan akan lekas menjadi abu.
lelaplah gelisahku
ya lelah, ya payah
lenyaplah sudah.
2011
0 comments:
Post a Comment