Pages

Sunday, 19 February 2012

Sebuah Oasis Tentang Budaya Lampung


Sebuah Oasis Tentang Budaya Lampung

Posted by PuJa on February 19, 2012
Judul : Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan
Penulis : Christian Heru Cahyo Saputro
Penerbit : Jung Foundation Lampung Haritage dan Dinas Pendidikan
Lampung, Bandar Lampung
Cetakan : I, 2011
Tebal : x + 91 hlm.
Peresensi : Reni Permatasari *
http://www.lampungpost.com/

APA yang terbayang ketika menyebut nama Lampung? Seorang teman yang sering berjalan ke daerah lain bercerita bagaimana Lampung itu identik dengan gajah, binatang buas, dan hutan belantara. Menyaksikan televisi betapa Bumi Ruwa Jurai “babak-belur” dengan berbagai cerita kejahatan. Betapa juga Lampung bertahun-tahun menjadi provinsi termiskin nomor dua se-Sumatera. Sebenarnya nomor satu kalau saja Nangroe Aceh Darussalam tidak terkena tsunami tahun.
Kopi Lampung yang terkenal hingga mancanegara hampir saja tinggal kenangan manakala harganya semakin terpuruk. Berbagai potensi agrobisnis Lampung seperti tenggelam oleh kabar-kabar buruk mengenai Lampung. Masih untung Lampung mempunyai seniman, sastrawan terutama, yang setidaknya bisa menyelamatkan citra Lampung dari sisi budaya.
Sekarang kalau ada pertanyaan seperti apakah kebudayaan Lampung, rasanya memang sulit menjelaskan. Lampung, boleh dibilang, memang minim sosialisasi. Di tengah langkanya publikasi tentang budaya Lampung itu, maka kehadiran buku Piil Pesenggiri, Etos dan Semangat Kelampungan karya Christian Heru Cahyo Saputro ini seolah menjadi oasis bagi mereka yang haus informasi tentang budaya, kesenian, tradisi, dan kebiasaan orang Lampung.
Buku bunga rampai yang berisi 12 artikel (12 bab) dengan tema berbeda-beda ini dibuka dengan prinsip hidup ulun (orang) Lampung yang disebut piil pesenggiri. Meskipun dalam realitasnya sulit menemukan fakta apakah prinsip hidup ini benar-benar terejawantahkan, Christian Heru mengatakan piil pesenggiri ini sebagai cara hidup (way life). Artinya, setiap gerak dan langkah kehidupan ulun Lampung dalam kehidupan sehari-hari (hlm. 1).
Orang Lampung Pesisir menyebut piil pesenggiri itu adalah ghepot delom mufakat (prinsip persatuan), tetengah tetanggah (prinsip persamaan), bupudak waya (prinsip penghormatan), ghopghama delom beguai (prinsip kerja keras), dan bupiil bupesenggiri (prinsip bercita-cita dan keberhasilan). Sedangkan orang Lampung Pepadun menyebut piil pesenggiri terdiri dari: piil pesenggiri (prinsip kehormatan), juluk adek (prinsip keberhasilan), nemui nyimah (prinsip penghargaan), nengah nyappur (prinsip persamaan), dan sakai sambayan (prinsip kerja sama) (hlm. 2)
Menurut Christian Heru, suku Lampung tercatat sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki peradaban tinggi. Bukti konkretnya adalah Lampung memiliki aksara sendiri (aksara Kaganga), Kitab Kuntara Raja Niti yang mengatur secara perinci tata adat, tradisi, arsitektur, serta adat istiadat yang bertahan dan bertumbum kembang.
Pada bab lain, Christian Heru berbicara tentang arsitektur Lampung. Rumah tradisional Lampung yang berbentuk panggung sarat simbol, filosofi, dan muatan kosmologi budaya Lampung (hlm. 7). Sayang, seiring perkembangan zaman, banyak rumah tradisional Lampung yang tergusur rumah modern. Namun, di beberapa tempat seperti Kampung Wana, Negeri Olok Gading, Kedamaian, Blambangan Pagar, Kenali, Menggala, dan Talangpadang, rumah tradisional ini masih dipertahankan masyarakat setempat.
Christian Heru juga berbicara tentang sastra lisan Lampung, di antaranya yang disebut dadi dengan maestronya, Masnuna (hlm. 17-22) dan warahan yang berada diambang kepunahan (hlm. 29-38). Lalu, cerita tentang kearifan lokal Lampung di daerah pesisir barat, Lampung Barat dalam mengelola dan melestarikan lingkungan sembari memetik hasilnya dengan budaya repong. Yang paling terkenal adalah repong damar (hlm. 45-52).
Ada juga pesta topeng rakyat di daerah Lampung Barat yang disebut sakuraan—di Lampung Selatan disebut tupping. Pesta sekura digelar setiap Idulfitri sebagai ungkapan syukur setelah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadan dan sebagai sarana silaturahmi, bahkan pencarian jodoh bagi kalangan muda-mudi (hlm. 53-58).
Lampung ternyata menyimpan tarian klasik yang ekspresif, yaitu tari melinting. Tari melinting merupakan tari adat tradisional Kagungan Keratuan Melinting yang diciptakan Ratu Melinting Pengeran Penembahan Mas yang ditampilkan pada acara Gawi Adat. Tari ini mengalami perjalanan yang lama sejak masuknya Islam ke Indonesia hingga kini mengalami pergeseran fungsi dari tari adat yang sakral menjadi tarian sekuler dan menghibur (hlm. 23).
Tradisi ulun Lampung lain yang juga dibahas dalam dalam buku ini adalah anjau muli (anjangsana bujang mengunjungi gadis di Sungkai), canggot bagha (acara bujang-gadis saat bulan purnama tiba), dan ngumbai lawok (tradisi bersih laut untuk tolak bala di pesisir Lampung).
Kalau boleh mengkritik, kelemahan buku ini—seperti hal-halnya buku-buku budaya Lampung lainnya—adalah ketiadaan sumber data, daftar pustaka, dan catatan kaki dalam setiap artikel. Ini penting bagi yang ingin mendalami lebih lanjut mengenai topik yang dibahas.
Terlepas dari kelemahan ini, buku ini cukup penting bagi yang ingin tahu mengenai adat istiadat, kesenian, dan kebiasaan ulun Lampung secara umum.
*) Reni Permatasari, praktisi pendidikan, tinggal di Bandar Lampung./19 February 2012

0 comments:

Post a Comment