Pages

Monday 16 April 2012

Parodi: Rekreasi dan Kreasi Puisi


Parodi: Rekreasi dan Kreasi Puisi
Posted by PuJa on April 15, 2012
Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Parodi di dalam masyarakat dipahami sebagai lelucon. Kesalahan-kesalahan tersengaja yang dimaksudkan agar orang lain tertawa. Misalnya dalam “Ketoprak Humor” Srimulat yang disiarkan stasiun televisi RCTI, tokoh Timbul mengartikan “rumah sakit” sebagai “rumah yang sakit”, padahal arti sebenarnya adalah “rumah tempat menyembuhkan orang sakit”. Atau “orang warung” diartikan sebagai “orang ber-wajah murung”. Maka penonton pun tertawa riuh, terbahak-bahak.
Parodi bersandar pada wilayah yang telah mapan. Penggunaan parodi, oleh karena itu, sering ditujukan untuk kritik. Membongkar wilayah kemapanan subyek. Sasaran dijatuhkan melalui perangkat kepemilikan sendiri. Semisal pertarungan silat, parodi persis ilmu “lampah lumpuh” dalam serial “Tutur Tinular”, ialah meminjam tenaga lawan untuk menjatuhkan dirinya sendiri. Sebagai sebuah kritik, parodi merupakan “jalan pintas paling aman”. Pihak yang dikritik jarang bisa marah, justru bisa jadi, tersenyum, bahkan terpingkal-pingkal. Ada dualisme posisi. Pertama, pihak terkritik merasa tersanjung karena pola operasional komunikasinya dipergunakan. Kedua, pihak terkritik merasa sedikit tersinggung karena kesalahannya dikuak. Disebabkan dualisme kontra- posisi itulah, pihak terkritik sulit menentukan sikap, dan pilihan paling spontan dari kebingungan menentukan sikap, adalah senyum lebar.
Puisi Indonesia terkini banyak sekali menggunakan unsur-unsur bahasa estetik parodi. Puisi berjudul “Chanel 00” karya penyair Afrizal Malna berikut ini dapat dijadikan contoh menarik: Permisi, saya sedang bunuh diri sebentar. Bunga dan bensin di halaman. Teruslah mengaji, dalam televisi berwarna itu, dada.
Diksi “Chanel” adalah lambang yang biasa digunakan untuk stasiun televisi. Setiap stasiun menggunakan gelombang yang dapat ditangkap oleh layar televisi melalui operasional angka-angka gelombang. Setiap stasiun menggunakan angka yang berbeda, tetapi tidak satu pun yang menggunakan angka nol, yang berarti juga, kosong. Penggunaan angka di atas nol sebagai arti bahwa stasiun tersebut “ada” atau mengudara, dapat dicari dan ditemukan dalam deretan gelombang. Apakah kalimat “Chanel 00” telah memenuhi kriteria pemasangan stasiun televisi? Ada parodi dalam konvensi atau aturan gelombang, siapa pun orang tidak akan menemukan sebuah stasiun yang menggunakan angka nol. Apalagi angka 00 (nol nol), pengulangan yang semakin menandaskan kelucuan. Apabila masih kurang lucu, dapat dibayangkan sebuah iklan yang memasang kalimat, “Aktifkan televisi Anda dalam chanel 00!”
Ditilik dari larik-lariknya, parodi yang terkandung tidak kurang. Aku lirik dalam puisi tersebut mengucap selamat tinggal untuk bunuh diri “sebentar”. Bagaimana mungkin bunuh diri (mati) dapat sebentar atau sementara? Seseorang yang sudah mati, sewajarnya, tidak akan hidup (kembali) lagi. Kegiatan bunuh diri adalah kegiatan yang tidak dapat diulang. Memang ada orang-orang tertentu yang dapat mati, hidup lagi, mati lagi, dan hidup lagi. Seperti kisah Mbah Soleh, tukang sapu pemakaman Sunan Ampel, yang katanya pernah mati sembilan kali. Atau, beberapa kisah dalam majalah mistik Liberty tentang orang-orang mati yang dapat kembali hidup. Kesemuanya hanya konon, berbau metafisika, di luar nalar sehat manusia. Di dalam sebuah puisi, atau di dalam perbincangan intelektual formal, kejadian “bunuh diri sebentar” adalah lucu. Tragik humor. Mengada-ada. Dan, mustahil.
Tetapi, kiranya, ada kritik diri dalam puisi tersebut. Aku lirik menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari orang-orang yang terjebak dalam kondisi tragik humor. Mengaji, diksi yang merujuk pada pembacaan ayat-ayat suci Tuhan, disalahpasangkan untuk tindak menonton televisi. Ataukah perlu dibacaartikan “pembacaan ayat-ayat televisi”? Tragik humor lagi. Bagi umat beragama, misalnya Islam, tindakan di luar kehendak ayat Al-Qur’an adalah dosa. Diksi “dosa” dalam dunia puisi, dunia metafor, dapat diartikan “kematian”. Puisi di atas mengisyaratkan adanya orang-orang yang selalu mengaji televisi, menganggap televisi sebagai sumber religiusitas. Dan, aku lirik ada di dalam kumpulan orang-orang tersebut. Larik saya sedang bunuh diri sebentar menjadi sangat tragik, mentertawakan diri sendiri, seseorang yang hanya dapat hidup dalam bayang-bayang tawaran televisi. Meyakini diri “mati” apabila keluar dari pusaran channel televisi.
Mentertawakan Diri
Parodi yang mengarah pada diri sendiri, membuka keburukan diri, memang kegiatan yang asyik-masyuk. Orang lain yang menyaksikan, bisa jadi, akan mentertawai, mencibir, mengeluhkan, atau menuntut pada aku lirik. Orang lain yang lebih peka, bisa jadi, akan melihat aku lirik-nya sendiri untuk kontemplasi. Apakah parodi juga menerpa diri pe-saksi?
Keberhasilan parodi, untuk memarodi diri sendiri, dalam puisi sangat tergantung pada sublimasi ilustrasi. Bagaimana agar peristiwa yang dialami dan dirasa tokoh aku lirik dapat juga dibayangkan pembaca. Akan lebih baik lagi, mengingatkan bahwa pembaca juga mengalami dan sedang merasakan peristiwa serupa. Parodi menjadi kritik diri yang melompat menempuh tanggungan kritik universal. Aku lirik dalam puisi adalah aku pembaca dalam realitas.
Puisi berjudul “Warisan Kita”, karya lain dari Afrizal, kiranya menyajikan ilustrasi parodi yang berbeda. Tindak parodi yang agak sulit untuk menimbulkan tawa. Seperti dalam bait pertama berikut: Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, gegeretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Dampak dari pembacaan puisi di atas, bisa jadi, pembaca tercerabut dari realitas sebuah dunia kalimat. Sulit mencari rujukan makna untuk dapat menjelaskan sebuah kalimat yang terdiri dari rangkaian kata benda. Yasraf Amir Piliang menengarai, karya seni parodi memiliki ciri khas; tanda-tanda diproduksi bukan dengan tujuan menyampaikan pesan-pesan, dan konvensi sosial, melainkan dilandasi oleh kegairahan dan kesenangan dalam permainan tanda semata. Kata-kata, apapun bentuknya, telah memiliki makna secara parsial, entah artian literal, entah artian sosial. Sebuah puisi, yang terdiri dari kata-kata, otomatis, menyandang beban makna. Seperti yang dituliskan A. Teeuw, karya sastra (baca: puisi) tidak berangkat dari kekosongan. Sebuah puisi dengan begitu, apabila menggunakan logika terbalik, dapat diciptakan dengan “asal comot kata”. Toh, akan tetap ada makna terkandung.
Puisi “Warisan Kita” sama sekali tidak menyiratkan kesulitan proses penciptaannya. Tinggal mengurutkan sejumlah kata benda. Seakan-akan, setiap orang yang menguasai bahasa Indonesia dapat mencipta puisi. Sangat berbeda dengan puisi-puisi model Amir Hamzah, yang sangat mendayu-dayu, penuh perhitungan lagu, terobosan makna, dan keagungan nuansa. Atau, puisi Goenawan Mohamad yang teramat sarat reinterpretasi mitologi, tekanan psikologi, konflik sosial, dan kerumitan filsafat.
Pemakaian kode bahasa estetik puisi yang “penuh gairah tanda” selaras dengan permainan simulasi dalam bahasa esetetik postmodernisme. Jean Baudrillard menyatakan bahwa kini manusia berada pada sebuah zaman dengan karakter proses simulasi, proses penciptaan bentuk-bentuk nyata melalui model-model yang tidak ada asal-usul atau referensi realitasnya, sehingga memampukan manusia membuat supernatural, ilusi, fantasi, khayali menjadi tampak nyata.
Tamasya Ke Masa Silam
Pengulangan yang intens terhadap diksi dan larik dalam puisi “Warisan Kita” mengesankan pemakaian pola mantra. Pembacaan yang cepat dan berirama terhadap puisi tersebut, akan menghasilkan sugesti yang mengusai pendengar.
Mantra, sebagai sebuah jenis puisi, telah ada sejak negara Indonesia masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil. Hampir semua suku di Indonesia mempunyai bentuk mantra sendiri. Menurut Herman J. Waluyo, mantra memiliki ciri-ciri: (1) pemilihan kata sangat seksama; (2) bunyi-bunyi diusahakan berulang-ulang dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (3) banyak digunakan kata-kata yang kurang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan maksud memperkuat daya sugesti kata; (4) jika dibaca secara keras mantra menimbulkan efek bunyi yang bersifat magis; bunyi tersebut diperkuat oleh irama dan metrum yang biasanya hanya dipahami secara sempurna oleh pawang ahli yang membaca mantra secara keras.
Puisi “Warisan Kita adalah parodi dari bentuk mantra. Ciri-ciri pola distribusi kata dipinjam dengan tujuan-tujuan yang berbeda dengan mantra. Biasanya, jarang sekali yang tidak, mantra dipergunakan untuk keperluan-keperluan yang berhubungan dengan Sang Pencipta. Dengan demikian, mantra bersifat religius. Bahkan, adakalanya, mantra tidak boleh dibaca oleh sembarang orang. Sedangkan pada puisi di atas, diksi-diksi pilihan tidak berhubungan dengan religiusitas.
Sejarah puisi Indonesia mencatatkan, pola mantra pernah dipakai oleh Sutardji Cazoum Bachri dengan kredonya yang terkenal, “membebaskan kata dari beban makna”. Puisi Sutardji sangat sarat dengan pengulangan, irama, dan bunyi-bunyi yang tidak punya rujukan literal. Nuansa yang ditawarkan pun sangat “tumpah ruah” dengan religiusitas. Misalnya, puisi berjudul “Husspuss” ada terdapat larik-larik seperti; membebaskan kata, memanggilmu, pot pot pot, hei kau dengar manteraku. Kau dengar kucing memanggilMu. Pada puisi “Warisan Kita”, dibandingkan dengan mantra asli dan mantra Sutardji, sangatlah bertolak belakang. Semua kata memiliki makna literal, bahkan ada kesan, menciptakan makna yang lebih luas dari literal. Kredo Sutardji menjadi terbalik, menjadi “merujuk dan menambah kata dari semangat makna”.
Pola distribusi kata puisi di atas meminjam bentuk pola distribusi yang telah pernah ada. Sesuai dengan pembatasan bentuk karya seni parodi yang dituliskan oleh Yasraf Amir Piliang, setelah mengutip dari banyak kritikus seni dari barat, ada dua kesimpulan yang dapat ditarik dari kutipan di atas berkenaan dengan parodi, yaitu: 1) parodi adalah satu bentuk dialog (menurut pengertian Bakhtin), yaitu, satu teks bertemu dan berdialog dengan teks lainnya, dan 2) tujuan dari parodi adalah untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, tidak senang, tidak nyaman berkenaan dengan intensitas atau karya masa lalu yang dirujuk.
Sastra Hibrida
Pemakaian unsur mantra mengandung pengertian kembali kepada tradisi. Kontradiksi mencuat. Estetika mantra yang pada aslinya dibentuk oleh idiom-idiom sakral, pedesaan, dan kuno; pada puisi tersebut dibentuk oleh idiom kapitalistik modern. Adakah makna atau ajakan “sosial moral” yang ditawarkan. Apakah mengikuti tradisi? Apakah mengikuti kapitalistik? Apakah mencampurkan keduanya? Apakah tidak perlu memakai keduanya? Masih perlu perdebatan lebih lanjut.
Puisi-puisi berciri parodi membawa resiko dan tawaran dalam peta puisi di Indonesia.
Puisi parodi meminjam bahasa estetik yang telah baku, misalnya mantra, dengan tujuan dan lingkungan teks yang berbeda. Bahasa estetik sebagai sebuah makna, misalnya mantra dengan religi dan kesakralannya, bahwa setiap tulisan bentuk mantra adalah sakral, menjadi luntur. Konvensi bentuk-makna patah, berganti dengan makna-makna lain. Puisi adalah tanda—meminjam pengertian Saussure—, bentuk adalah penanda, dan makna adalah petanda. Hubungan ketiganya bersifat paten, stabil, dan dikenal oleh penggunanya; dengan begitu, antar komunikan dapat terjalin saling perngertian, saling pemahaman. Parodi merusakkan petanda sehingga pemahaman menjadi tidak dapat dicapai.
Peminjaman bahasa estetik masa lalu dan didialogkan dengan teks lain, yang berarti ada dua teks, atau mungkin lebih, menghasilkan teks hibrida. Teks yang berisi beberapa teks. Misalnya dialog antara bahasa estetik tradisional (mantra) dengan idiom estetik masa kini (kapitalistik). Gejala karya seni (dan juga sastra) hibrida adalah bentuk khas estetika postmodernisme. Kelompok musik Led Zeppelin dari Irlandia dalam banyak lagunya mengadopsi bentuk musik Timur Tengah dan musik upacara agama Hindu di India dengan tujuan histeria musik rock. Begitu juga kelompok musik Queen dari Inggris yang membangkitkan kembali kegairahan terhadap musik-musik tradisional, musik-musik yang masih dianggap memiliki nuansa sakral. Itulah warna musik hibrida. Musik tradisional, pada aslinya, dihasilkan dengan kesederhanaan alat-alat tradisional. Musik hibrida oleh kelompok-kelompok musik rock dihasilkan dengan alat-alat modern (peralatan listrik) dan dimainkan di dalam studio “yang mungkin penuh gelak tawa dan minum-minuman keras” atau di dalam stadion “yang penuh histeria dan tepuk puluhan ribu tangan penonton”. Yang tidak bisa dipungkiri, musik hibrida dan juga puisi hibrida (salah satunya berbentuk parodi) adalah terobosan estetik baru yang melahirkan penawaran estetik baru. Tentu saja, bersama kontradiksi yang disandangnya.
______Waru, Jawa Timur
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/12/

0 comments:

Post a Comment