Pages

Tuesday, 3 April 2012

Tu Fu


Tu Fu
Esai
Posted by PuJa on April 3, 2012
Hasif Amini
Kompas, 12 Feb 2006

TAK ada lukisan wajahnya yang berasal dari masa hidupnya. Dibanding Li Po (701-762), penyair jalang penuh gelora yang hidup sezaman dengannya, tampaklah ia bukan sesosok pribadi yang mengesankan khalayak ramai. Puisinya bahkan tak masuk dalam sejumlah antologi utama yang disusun semasa ia hidup, dan bertahun-tahun sesudah ia wafat. Konon ia sangat ingin mengabdikan dirinya untuk Kaisar dan negerinya, tapi sampai dua kali ia tak lulus ujian calon pegawai negeri. Tampaknya ia bukan orang yang sangat mujur dalam kehidupan sehari-hari. Namun, berabad-abad setelah kematiannya, ternyata namanya terus mengharum dan membesar. Tak sedikit yang menyebut, setidaknya sejak abad ke-20, bahwa Tu Fu (712-770) adalah ”penyair Tiongkok terbesar sepanjang masa”.
Lahir di tengah sebuah keluarga bangsawan yang mulai jatuh miskin, pada tahun 712 Masehi, Tu Fu menjalani masa tumbuh yang cukup tenang meski tak mudah. Tak lama setelah ia dilahirkan, ibunya wafat. Ia pun diasuh oleh bibinya, ketika ayahnya kemudian menikah lagi. Dalam puisinya kelak ia cukup sering menyebut adik-adik tirinya, tapi tak pernah ibu tirinya. Sebagai anak seorang pegawai biasa–meski kakeknya adalah seorang pujangga istana–ia mendapat pendidikan yang umum untuk masa itu: hafalan dan kajian falsafah Konfusius, sejarah, dan puisi. Ia bukan seorang siswa yang menonjol, tapi menunjukkan bakat sebagai penyair.
Hidup di zaman Dinasti Tang (618-910)–yang kerap disebut zaman keemasan peradaban Tiongkok setelah Dinasti Han yang berkuasa 400 tahun sejak dua abad sebelum Masehi itu–kemampuan bersyair rupanya sebuah syarat mutlak. Tak hanya untuk bisa lulus ujian negara, tapi juga demi kelancaran pergaulan sehari-hari. Jika engkau mengunjungi seseorang di pondoknya dan ia tak ada, maka engkau akan menyelipkan secarik kertas bertuliskan bait pendek yang menyesali raibnya sang penyepi. Jika engkau diundang menghadiri sebuah pesta, maka engkau mesti bersiap menerima giliran melantunkan syair klasik maupun gubahanmu sendiri.
Selama berabad-abad sebelumnya, bentuk puisi yang paling populer di Tiongkok adalah balada (yuefu) yang agak bebas, dengan metrum tak seragam antara tiga sampai tujuh karakter tiap lariknya. Chueh-chu, atau sajak empat seuntai, termasuk dalam rentang bentuk ini. Pada zaman Tang, berkembang suatu bentuk yang jauh lebih ketat dan rumit, lushi (bentuk beraturan): delapan larik yang masing-masing terdiri dari lima atau tujuh karakter, masing-masing larik berpasangan dengan yang berikutnya, dengan rima pada larik-larik genap dan paralelisme serta kontras yang rapi di tiap lariknya. Salah satu penyair yang mula-mula menggunakan bentuk ini adalah Wang Wei (701-761), yang menggabungkan keketatan bentuk dengan kesyahduan lirisnya menyaksikan pemandangan alam yang indah namun fana.
Tu Fu, yang belasan tahun lebih muda dari Wang Wei, dianggap sebagai penyair yang paling piawai mengolah kerumitan bentuk dan kelembutan rasa dalam lushi, dengan kekuatan bahasa yang tampak jernih namun sekaligus ambigu. Tentu saja ia tak hanya menggubah sajak dalam bentuk ini; keanekaan bentuk yang ia jelajahi bahkan kadang membuat ia dibandingkan dengan banyak penyair dari pelbagai khazanah sekaligus. Demikianlah, kepada khalayak Barat ia pernah diperkenalkan sebagai ”Virgil, Horace, Ovid, Shakespeare, Milton, Wordsworth, … hingga Baudelaire dari Tiongkok”.
Pun rentang tema yang ia geluti begitu luas: mulai dari kesengsaraan akibat pemberontakan dan perang saudara yang menoreh hidupnya hingga akhir; eksil, cinta, dan rindu akan keluarga yang jauh; pelbagai tempat, tokoh, dan peristiwa bersejarah; hingga permenungan sunyi tentang alam–itu semua menampakkan kepekaannya yang tinggi akan pelbagai hal-ihwal di sekitar dirinya. Lihatlah misalnya petikan sajak ”Hujan Malam” Tu Fu (terjemahan Sapardi Djoko Damono) ini: Ia suka turun malam-malam bersama angin lembut sepoi/ Diam-diam membasahi seluruh muka bumi./ Di atas alam tenang mengambang awan kelam./ Hanya ada cahaya dari perahu di sungai./ Besok segalanya akan menjelma merah dan basah/ Dan seluruh Chengtu akan penuh bunga-bunga rekah.
Dijumput dari: http://hasifamini.blogspot.com/2008/09/tu-fu.html

0 comments:

Post a Comment