Pages

Monday 23 April 2012

Wajah Itu Membayang di Piring Bubur


Wajah Itu Membayang di Piring Bubur
Posted by PuJa on April 23, 2012
Indra Tranggono
Kompas, 8 April 2012

SELALU setiap hari, Sumbi menyiapkan bubur gula jawa kesukaan Murwad, suaminya. Bubur itu ia buat sendiri, dari beras terbaik—rojo lele—yang dicampur santan kelapa kental, sedikit garam dan ditaburi gerusan gula jawa. Setiap menyajikan bubur itu, mulut Sumbi selalu mengucap doa untuk keselamatan Murwad yang hingga kini belum pulang.
Sejak Pasar Kliwon terbakar, keberadaan Murwad tidak jelas. Ada yang mengatakan, Murwad tewas terbakar. Tubuhnya mengabu. Arwahnya gentayangan. Seorang bakul sayuran mengaku melihat Murwad berjalan melayang di antara los-los dan selasar pasar.
“Wajahnya ringsek! Kasihan sekali. Aku tidak tega melihatnya,” ujar bakul sayuran itu dengan wajah pucat.
Pengakuan itu segera menyebar ke seantero pasar. Umumnya orang-orang percaya, Murwad telah tewas.
Namun, Sumbi yakin, suaminya itu masih hidup. Dia pasti pulang. Entah kapan. Sumbi berusaha mengulur-ulur harapan itu dengan selalu menyajikan bubur gula jawa buat Murwad. Di hamparan bubur hangat itu, terbayang wajah Murwad. Tersenyum. Dada Sumbi terasa mengembang.
***
Murwad mengayun-ayunkan sapunya. Menghalau belasan pasangan yang sedang asyik masyuk bercinta di sela-sela los pasar. Bangku-bangku dipukulinya. Kursi dan dingklik dilemparkannya. Suara gaduh menjelang subuh itu membuat beberapa pasangan kaget. Mereka bergegas bangun. Langsung berlarian. Ada yang setengah telanjang.
Beberapa pasangan masih bertahan. Ada yang masih berangkulan. Bahkan nekat bercumbu.
“Ayo minggat! Minggat!” seru Murwad sambil mengacung-acungkan sapu lidi yang bertangkai panjang, bagai mengacungkan senapan.
Seorang lelaki gemuk, bertelanjang dada, berdiri. Matanya melotot. Ia mengayunkan tinjunya ke wajah Murwad, namun Murwad mampu menghindar. Murwad memukul kepala laki-laki itu dengan tangkai sapu. Laki-laki itu sempoyongan. Jatuh.
‘Enak saja bercinta di pasar! Kalau tidak kuat nyewa losmen, ya cari kuburan!” Murwad meradang.
Laki-laki itu kembali menyerang dengan pukulan, namun hantaman sapu Murwad lebih cepat mendarat di kepalanya. Laki-laki itu pun kabur. Diikuti pasangannya.
Murwad, dengan wajah keruh, memunguti lembaran-lembaran koran, botol minuman beralkohol, bungkus jamu kuat lelaki, kondom, dan tikar jebol. Pekerjaan ini telah ia lakukan berulang kali, setiap menjelang subuh tiba.
“Dasar sundal! Kalian telah mengotori pasar. Gara-gara ulah kalian, pasar jadi sepi. Bakul-bakul bangkrut. Awas, jika kalian masih berani bercinta di sini!” Murwad berteriak-teriak. Suaranya diserap dinding-dinding pasar.
Mendadak terdengar suara ledakan. Sangat keras. Muncul percikan-percikan api. Makin lama makin membesar. Menjilat-jilat. Api itu terus menjalar membakar apa saja. Murwad berlari pontang-panting. Ia berusaha meloloskan diri dari kepungan api. Tubuhnya menjelma bayang-bayang.
Tubuh Murwad melayang memasuki lapisan-lapisan ruang. Ketika tubuh itu hendak jatuh, mendadak ada tangan yang terulur dan menangkapnya. Murwad kaget. Namun, sang penolong itu membujuknya untuk tenang lewat senyuman.
“Eyang ini siapa?”
“Namaku Ki Dono Driyah.”
“Kenapa Eyang menyelamatkan saya?”
Laki-laki sepuh itu tersenyum.
“Di mana saya?”
“Ruang awung-uwung. Tempat istirah jiwa-jiwa sebelum meneruskan perjalanan menuju Jagat Kelanggengan.”
“Jadi saya sudah mati?”
“Jantungmu masih berdetak. Rabalah….”
Murwad meraba dadanya. Ia masih merasakan degup jantungnya.
“Saya masih bisa pulang?”
“Bisa. Kapan saja. Sekarang?”
“Saya masih ingin di sini. Ruang ini sangat sejuk. Indah. Terang.”
“Seluruh dinding ruang ini adalah cahaya….”
Eyang Dono Driyah bercerita. Dulu dialah yang merintis berdirinya Pasar Kliwon hingga berkembang menjadi besar. Sebelum memulai kehidupan pasar itu, Eyang Dono bertapa selama 40 hari untuk mendapatkan wahyu pasar.
“Tuhan mengabulkan permohonanku. Wahyu itu hadir, berpendar-pendar di atas pasar itu. Dalam pendaran itu, Tuhan menaburkan rezeki,” ujar Ki Dono Driyah.
“Sekarang, wahyu itu masih ada, Eyang?”
Eyang Dono Driyah menatap wajah Murwad. Lalu, menggeleng.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu persis. Tapi, sejak pasar itu dihuni Genderuwo, suasana jadi aneh. Gerah. Genderuwo itu selalu meniupkan hawa panas dalam setiap aliran darah, hingga orang-orang saling membunuh.”
“Tapi di pasar itu, saya tidak pernah melihat perkelahian atau mayat-mayat….”
“Karena kamu tidak melihatnya dengan mata batin.”
“Bagaimana wujud Genderuwo itu?”
“Tinggi dan besarnya tak bisa dibayangkan. Tubuhnya berbulu hitam. Kasar. Kuku kaki dan tangannya sangat panjang. Matanya hijau. Bola matanya sangat besar, sepuluh kali lipat dari danau. Tubuhnya bisa berubah menjadi apa saja. Angin. Api. Udara. Dia hadir di mana saja, di setiap belahan dunia. Di setiap hati manusia.”
“Saya ingin melihatnya. Bisakah Eyang membantu?”
“Kamu belum siap. Kamu masih kamanungsan. Kamu mesti membebaskan diri dari hasrat-hasrat kemanusiaanmu. Berpuasalah. Kuat?”
“Kuat, Eyang. Saya ini terlatih menderita.”
Mendadak Tubuh Murwad terpental. Melenting ke udara. Melayang. Ia kaget. Tiba-tiba ia berada di sel penjara. Ia pukuli jeruji sel itu dengan piring seng. Seorang sipir datang. Matanya melotot. Murwad mengamati kaki sipir itu yang menapak di lantai. Ia pun yakin, dirinya masih hidup di dunia nyata.
***
“Dengan berubahnya Pasar Kliwon menjadi Kliwon Plaza, maka masa depan itu kini ada dalam genggaman kita. Dinamika ekonomi kota ini akan terus meningkat dengan semakin banyaknya orang belanja.” Wajah Wali Kota Bragalba menyala. Orang-orang tepuk tangan. Ratusan blitz menghujani wajahnya.
“Masyarakat yang suka berbelanja adalah masyarakat yang makmur!” Bragalba mengunci pidatonya.
Tepuk tangan kembali membahana. Bragalba menekan tombol sirene. Kliwon Plaza resmi dibuka. Ia pun turun panggung. Para wartawan langsung menyerbunya.
“Apa benar, Pasar Kliwon sekarang dihuni Genderuwo?” tanya seorang wartawan.
“No comment. Maaf. Saya hanya menjawab pertanyaan yang rasional. Saya tidak percaya hantu.”
“Tapi masyarakat sangat percaya soal Genderuwo itu.”
“Itu mitos. Itu dongeng!”
***
“Saudara tahu, kenapa saudara ditahan di sini?” ujar seorang pemeriksa dengan ramah.
Murwad terdiam. Kepalanya terasa pusing diterpa lampu sangat terang.
“Tahu alasannya saudara ditahan?!”
“Tidak. Saya hanya melihat pasar itu tiba-tiba terbakar.”
“Bagus. Berarti saudara ada di lokasi ketika itu.”
“Iya. Tapi, saya hanya tukang sapu.”
“Itu tidak penting. Yang penting, saudara mengakui ada di lokasi.”
“Apa tujuan saudara membakar pasar itu?” tanya pemeriksa yang lain.
“Maaf, Pak. Kenapa pertanyaan Bapak aneh? Saya tidak membakar.”
“Akui saja. Hukuman saudara akan ringan.”
“Tapi saya tidak membakar. Tidak, Pak. Tidak.”
“Saudara sakit. Saudara perlu dokter.”
Beberapa sosok meninggalkan ruangan. Dua petugas menggelandang Murwad menuju sel tahanan.
***
Sumbi mengambil bubur gula jawa yang tadi pagi ditaruhnya di meja dan menggantinya dengan bubur yang baru, yang masih hangat. Ia berharap, Murwad segera menikmatinya. Lahap. Seperti biasanya. Agar ia tetap sehat. Dan bisa cepat pulang. Bayangan wajah Murwad melekat di hamparan bubur panas. Sumbi melihat, Murwad sangat menikmati bubur itu.
***
Di sel tahanan, sudah lebih seminggu Murwad tidak mau makan. Makanan itu dibiarkan saja dirubung lalat. Ia merasakan tubuhnya lemas dan panas. Namun, semangatnya tetap tinggi untuk tidak menyerah. Para sipir selalu membujuknya untuk mau makan. Namun selalu ditolaknya.
Pada hari kesebelas, Murwad merasakan tubuhnya ringan. Melayang. Memasuki lapisan-lapisan cahaya. Ia melihat Eyang Dono Driyah duduk mengambang di antara dinding-dinding cahaya.
“Eyang… aku melihat Pasar Kliwon berubah jadi bangunan megah dan indah. Penuh cahaya. Tapi Eyang, aku melihat sosok hitam besar sekali. Ya, dia duduk di sana,” mata Murwad terpejam.
“Ya, itulah Genderuwo penguasa pasar!”
“Aduh eyang, mataku tidak kuat. Pandanganku jadi gelap.”
“Dia memang sakti sekaligus ganas! Hati-hati. Sekarang lihatlah lagi. Genderuwo itu masih di sana?”
“Masih…. Dia menggerakkan tangannya. Tidak hanya dua, tapi banyak sekali. Tangan-tangan itu berubah jadi belalai panjang dan besar. Ya, ampun pasar itu dibelitnya. Gumpalan-gumpalan uang itu dihisapnya.”
“Dia lebih dari rakus….”
“Genderuwo itu menoleh, Eyang. Dia menatapku. Matanya hijau bikin silau. Gigi-giginya gemeretak. Taring-taringnya berkilat-kilat.
“Eyangggggg!!!!!!”
Tubuh Murwad tumbang.
***
Murwad membuka mata. Pelan-pelan. Ia melihat ruangan yang asing. Serba putih. Bersih. Selang-selang infus menancap di lengannya.
Seorang perawat tersenyum kepadanya. Murwad ketakutan. Ia melihat wajah hitam berbulu kasar, dengan tatapan mata hijau tajam, dengan mulut yang menyeringai, dengan taring-taring tajam penuh bercak darah.
Mata Murwad terbelalak. Kedua tangannya seperti menahan tangan-tangan lain yang mencekik lehernya. Murwad terus meronta. Tubuhnya mengejang. Napasnya terasa berhenti. Tangan-tangan itu terlalu kuat untuk ditahan.
Sumbi, dengan takzim, menaruh bubur gula jawa yang masih panas itu di meja. Tangannya mendadak gemetar. Piring itu terlepas. Bubur itu tumpah. Ia tak melihat lagi wajah suaminya dalam hamparan bubur….
Yogyakarta 2011
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/04/16/wajah-itu-membayang-di-piring-bubur/

0 comments:

Post a Comment