Pages

Saturday 26 May 2012

Buku Sampul Tebal, Perlukah?


Buku Sampul Tebal, Perlukah?
Posted by PuJa on May 26, 2012
Sunaryono Basuki Ks
Padang Ekspress, 19 Okt 2008

PARA pecinta buku, saat berburu buku ke toko buku pasti berpikir tentang bagaimana nanti menyimpan buku koleksinya di dalam almari buku. Punya koleksi buku-buku tipis yang tebalnya hanya sekitar seratus-dua ratus halaman dengan ukuran yang tidak baku hanya akan menyulitkan saat mencari kembali buku tersebut. Apalagi bila tidak ada judul di sisi tebal buku.
Sekarang, terjadi gejala yang menggembirakan di dalam penerbitan buku fiksi maupun non-fiksi di dalam bahasa Indonesia. Terdapat kecenderungan bahwa buku-buku yang terbit makin tebal, dengan ketebalan lebih dari 400 halaman. Nampaknya pengarang Indonesia makin mampu bernapas panjang. Lihat saja dalam deretan buku-buku ‘’baru’’ saat ini, ada Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, Rahasia Meede (E.S. Ito), d.I.a cinta dan presiden (Noorca M. Masssardi), Supernova (Dewi Lestari), Larung (Ayu Utami), Ayat Ayat Cinta (Habiburrahman El Shirazy), Turquoise (Titon Rahmawan), Laskar Pelangi (Andrea Hirata), Gajah Mada (lima jilid) dan Candi Murca (dua jilid) karya Langit Kresna Hariadi, Bilangan Fu (Ayu Utami), dan Putri (dua jilid) karya Putu Wijaya. Di antara buku-buku itu hanya Ayat Ayat Cinta yang terbit dengan sampul tebal (selain ada versi sampul biasa).
Saya juga mengoleksi buku-buku bersampul tebal, antara lain Tahta untuk Rakyat; Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya; Sam Po Kong; Kremril; Menabur Benih, Menuai Kasih(kumpulan esai menyambut ultah ke-75 Prof Dr Anton Moeliono), Bujang Tan Domong; Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit; dan Seulawah (terbit dua versi). Alasan saya membeli buku-buku tersebut terutama bangga punya buku berbahasa Indonesia dengan sampul tebal.
Di dalam koleksi saya juga terdapat buku-buku berbahasa Inggris yang kebanyakan bersampul tebal, kecuali ketika saya sedang bokek dan hanya mampu membeli buku dengan soft cover yang lebih murah. Sudah lumrah buku-buku terkemuka di luar negeri terbit dalam dua versi, hard cover yang biasanya juga dengan jaket, dan soft cover. Tradisi yang sama dilakukan dalam penerbitan terjemahan buku-buku kisah Harry Potter.
Faktor Psikologis
Pernah mendengar tentang kisah penjualan lukisan oleh pelukis Indonesia. Alkisah, seorang pelukis yang belum punya nama besar menggelar pameran lukisan dan memasang harga murah untuk lukisannya. Tujuannya ‘’mulia’’: agar lukisannnya laku dan dapat dikoleksi oleh banyak orang. Ternyata lukisannya tak ada yang laku. Karena jengkelnya dia lalu membingkai palet yang berlumur cat dan memasang harga mahal untuk ‘’lukisan’’-nya itu. Eh, ternyata ‘’lukisan’’ yang diberi harga ‘’tak masuk akal’’ itu langsung disambar kolektor.
Mungkin ini hanya anekdot dari dunia seni rupa. Tetapi tampak di sini bahwa yang punya uang enggan membeli barang murah. Saya pun tertarik membeli novel Kremil karya Suparto Brata terbitan Pustaka Pelajar walau harganya saat itu Rp 75.000 (cukup mahal). Saya juga rela keluar uang Rp 130.000 untuk membeli Sam Po Kong. Bulan Agustus lalu saya membeli buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit jilid 2 dan 3 (jilid 1 dan 4 saya terima gratis dari Bapak Taufiq Ismail) seharga Rp 600.000.
Buku nonfiksi Sepenggal Cerita Dari Dusun Bawuk (Amelia Yani, 2002) berketebalan 588 halaman juga memuaskan pembaca. Kita bisa tahu kisah Amelia yang putri Jenderal A. Yani itu, dan mencoba meraba hubungannya dengan keluarga Cendana.
Sayang sekali buku-buku Remy Sylado yang tebal-tebal diterbitkan dengan sampul biasa. Andaikata terbit dengan sampul tebal saya rela membelinya karena alasan itu: bangga punya koleksi buku berbahasa Indonesia bersampul tebal. Bukan hanya Kamus Besar Bahasa Indonesia saja! Mudah-mudahan penerbit mau mempertimbangkan perasaan kolektor buku seperti saya.
Gambar Sampul
Gambar sampul buku dapat diibaratkan wajah seseorang. Yang cantik dan tampan pasti menarik perhatian orang. Buku-buku fiksi sastra menonjolkan keunikan sampul depannya, seolah mencoba meraih simpati sebanyak mungkin calon pembeli. Banyak di antaranya yang menyetarakannya dengan seni lukis modern. Jadi, sastra harus disampuli dengan gambar yang bernuansa ‘’seni’’ agar menarik pembaca.
Tetapi, apakah sampul-sampul jenis lukisan yang melakukan distorsi bentuk, warna mencolok tetapi tak selaras dengan keenakan mata memandang, benar-benar menarik calon pembaca buku? Belum ada penelitian antara hubungan jumlah penjualan dan corak sampul buku. Namun, tetralogia Laskar Pelangi, misalnya, laku keras dengan sampul bergambar sangat realis, tidak berusaha ‘’nyeni’’. Buku saya Sepasang Kera yang Berjalan dari Pura ke Pura dengan sampul yang dikerjakan Polenk Rediasa dengan gaya realis; mata kedua monyet sangat hidup, demikian pula bulu-bulunya; tetapi buku itu dinyatakan tidak laku dan sekarang dijual obral.
Sampul novel-novel terjemahan karya Jostein Gaarder seperti Maya dan Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng (Mizan) serta Taj Mahal (John Shors, Mizan), dan Taj (Timeri N. Murari, Mizan) dikerjakan oleh Andreas Kusumahadi juga reaslis, tetapi saya tidak tahu di pasar laris atau tidak.
Memang dunia perbukuan tak dapat diduga. Novel-novel bergaya Ayat Ayat Cinta laris entah sampai kapan. Begitu pula Laskar Pelangi (Andrea Hirata) dan Rahasia Meede (E.S. Ito), tetapi dua novel itu tak ada penirunya.
Pengarangnya yang justru dituntut untuk mengulang suksesnya sendiri. Yang jelas, demi kenikmatan membaca, tidak ada hubungan antara buku yang enak dan patut dibaca dengan tingkat kelarisannya. Kita bisa asyik membaca Bilangan Fu yang penuh petualangan plus spiritualisme (Jawa), serta bahasanya yang hidup, tanpa peduli apakah novel itu laris atau tidak. Yang jelas, novel itu sekarang dinominasikan untuk mendapat Khatulistiwa Literary Award 2008. Tunggu saja.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/10/buku-sampul-tebal-perlukah.html

0 comments:

Post a Comment