Pages

Tuesday 23 October 2012

Figur Guru Sastra yang Ideal


Figur Guru Sastra yang Ideal
Posted by PuJa on October 19, 2012
Sutejo
Surabaya Post, 9 Okt 1994

Bagaimanakah fenomena pengajaran sastra dewasa ini? Banyak isu yang menyudutkan para guru sastra , dari minusnya apresiasi sampai kurangnya inovasi dalam pengajarannya.
Isu demikian menarik untuk dicermati karena secara makro kita melihat banyak aspek yang kurang mendukung dalam operasional pengajaran sastra itu sendiri. Dari segi siswa jelas tidak semuanya berminat dan berbakat terhadap bidang sastra. Apalagi jika dikaitkan dengan sarana pengajarannya, maka kendala yang akan segera tampak adalah minusnya pustaka sastra, tidak adanya sanggar sastra di sekolah, apalagi semacam ‘’laboratorium sastra’’. Di samping keberadaan kurikulum yang memberikan alokasi waktu untuk bidang sastra begitu minim, hanya sekitar 16% pada kurikulum 1984. kemudian pada kurikulum 1994 menjadi sekitar 30%. Itu pun apresiasi bahasa dan sastra Indonesia.
Romo Mangun pernah menyindir bahwasanya kegagalan selama ini disebabkan pengajaran sastra di sekolah hanya memfokuskan pada sejarah sastra dan pengajaran tentang sastra, bukan pelatihan apresiasinya. Sedangkan dari kacamata Jakob Sumardjo, kegagalan itu lebih disebabkan tidak berkembang dan tertanamnya apresiasi seni yang baik di lingkungan pelajar dan remaja kita. Mereka lebih suka membaca novel terbaru Marga T. daripada Trilogi Novel Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari. Mereka lebih punya apresiasi karya seni yang tidak diajarkan di sekolah, melainkan yang diajarkan masyarakat sendiri lewat jalur dagang.
Parodi Pengajaran Sastra
Jika kegagalan pengajaran sastra dianggap karena kurangnya kompetensi guru, maka sinyalemen itu menjadi lebih menarik. Realitasnya, banyak guru sastra yang apresiasinya rendah. Tak jarang seorang guru sastra dalam pengajarannya menggunakan petunjuk apresiasi tanpa mencoba berkreasi-apresiasi sendiri. Sehingga transfer apresiasi yang dilakukan pun bak mengenakan ‘’seragam apresiasi’’. Tanpa adanya pelatihan yang berarti.
Fakta lain yang segera tampak adalah ketika guru mengajarkan novel misalnya, tak jarang mereka hanya mengajarkan sinopsis tanpa mengajak siswa membaca novelnya secara langsung.
Realitas lain yang menarik adalah guru sastra cenderung tidak berani mengambil karya-karya yang tersebar di media massa. Sebaliknya sudah terpola dalam buku paket. Karenanya, logis jika Jakob Sumardjo menyindir bahwa remaja dan pelajar kita lebih suka membaca novel-novel pop daripada novel sastra. Karena iklim pengajaran sastra kita yang kurang mengenalkan buku dan karya sastra secara langsung. Sementara novel-novel pop diajarkan tiap hari oleh iklim hiburan.
Kalau sapek aspek apresiasi saja sudah direduksikan pengajarannya menjadi apresiasi sinopsis maka reproduksi sastra pun akan terdepak dari dunia pengajaran. Kurikulum 1984 misalnya, aspek reproduksi tampak pada kelas I dan II, yakni tentang pembuatan cerita pendek sederhana yang merupakan uraian dari pokok bahasan apresiasi. Dan pembuatan drama perjuangan yang merupakan uraian dari pokok bahasan apresiasi. Dan pembuatan naskah drama perjuangan yang merupakan pokok bahasan menulis.
Dengan diberlakukannya kurikulum 1994 yang memberikan porsi bidang sastra lebih besar dari sebelumnya, maka minusnya alokasi waktu akan dapat teratasi. Minimal terkurangi.  Aspek reproduksi juga lebih terkembangkan. Karena dalam kurikulum 1994 siswa dituntut mampu menulis puisi, prosa, dan drama. Sedangkan untuk program bahasa ditambah reproduksi kritik dan esai sastra.
Aspek reproduksi seperti yang diisyaratkan kurikulum 1994 demikian jelas menjadi tantangan bagi guru-guru sastra. Kalau aspek apresiasi sastra saja yang ditekankan dalam kurikulum 1994 sudah banyak melahirkan parodi sumbang maka aspek reproduksi orientasi kurikulum 1994 diharapkan tidak akan memperpanjang pergunjingan akan kegagalan pengajaran sastra selama ini.
Dengan demikian jelas dipersyaratkan figur guru sastra yang benar-benar mempunyai kompetensi resepsi sastra yang andal di samping kemampuan reproduksinya. Sebagaimana bidang seni yang lain , yang memberikan pelatihan reproduksi maka dalam pengajaran sastra tentunya bukan hal mustahil untuk dibinakan. Toh, aneka pengakuan proses kreatif penyair sudah banyak dipublikasikan. Seperti yang terkumpul dalam ‘’Proses Kreatif I, II, III’’ yang dieditori Panusuk Este.
Figur Guru Sastra Alternatif
Dari kendala pengajaran sastra selama ini, maka menyongsong berlakunya kurikulum 1994 dapat dialternatifkan sebagai berikut: Pertama, guru sastra harus benar-benar berkompetensi, baik itu yang bersifat reseptif-kreatif maupun kreatif-produktif. Dalam kriteria ini guru dimaksudkan mempunyai ketajaman apresiasi, wawasan kesastraan, dan mau terlibat dalam proses produksi karya. Kedua, guru sastra hendaknya mau terlibat langsung dalam aneka kegiatan sastra dan budaya, minimal mengikuti lewat media massa. Dengan persyaratan ini dikehendaki guru sastra punya dinamika wawasan kesastraannya. Ketiga, guru sastra harus kreatif mengambil materi pelajaran dari karya-karya yang telah terpublikasikan lewat media massa. Bukan ter’’plot’’ oleh buku paket dan petunjuk apresiasi.
Keempat, guru sastra harus berani memfragmentasikan karya-karya sastra yang sesuai dengan nuansa kejiwaan siswa. Dengan begitu akan diperoleh aneka penghayatan aneka nuansa dan karakter dalam karya sastra. Kelima, guru sastra harus membimbing kemampuan reproduksi siswa dengan pendekatan empiris, kemudian mengikutkannya dalam aneka lomba cipta puisi dan prosa. Keenam, guru sastra hendaknya mempunyai pustaka sastra yang memadai meskipun perpustakaan sekolah tidak memungkinkannya. Dengan kekayaan kepustakaan sekolah tidak memungkinkannya. Dengan kekayaan kepustakaan begitu diharapkan guru semakin mengakrabinya.
Ketujuh, kemampuan guru menciptakan semacam ‘’sanggar sastra’’ atau ‘’laboratorium sastra’’. Adanya laboratorium sastra dengan fasilitas yang cukup: ruang pengkajian, lengkapnya pustaka, dan sarana lain yang memadai. Namun sebagaimana disadari bersama, bahwa pengajaran sastra itu pada hakikatnya suatu yang kompleks dan rumit. Maka mesti alternatif ini terpenuhi bukan jaminan akan keberhasilan pengajarannya. Sebab sistem pengajaran secara makro akan tetatp berandil besar, seperti bakat siswa dan iklim sekolah tertentu.
Namun dengan alternatif demikian, kita boleh berharap akan lenyapnya isu kegagalan pengajaran sastra selama ini. Sehingga perjuangan para perumus dan pengembang kurikulum 1994 yang mengalternatifkan alokasi waktu sekitar 30% dalam pengajarn Bahasa Indonesia tidak sia-sia.
Tapi semuanya memang bergantung pada praktik empiris di lapangan nanti di samping sistem pengajaran sastra kita secara makro.
*) Dosen Kopertis VII Surabaya, pengasuh Sanggar Wahana Sastra RKPD Suara Ponorogo, Jawa Timur.

0 comments:

Post a Comment