Pages

Friday, 22 June 2012

Menggugat Kembali Peran Sosial – Politik Sastrawan


Menggugat Kembali Peran Sosial – Politik Sastrawan
Posted by PuJa on June 20, 2012
Jones Gultom
http://www.analisadaily.com/

BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.
Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.
Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.
Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase “puncak” kemunculan mereka.
Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai “ahli nujum” yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.
Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; “jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya.” Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.
AngkMenemukan Sastra dan Sastrawan NTT
Posted by PuJa on June 22, 2012
Yohanes Sehandi *
Victory News (Kupang) 10 Juni 2012
MELACAK sastra dan sastrawan NTT ternyata tidak gampang. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran khusus. Ini terjadi karena sampai sejuah ini belum pernah dilakukan pengkajian serius dan komprehensif tentang sastra dan sastrawan NTT oleh para pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra NTT, baik di NTT maupun di luar NTT. Untuk memulainya saja serba gelap, karena tidak ada buku referensi yang tersedia.
Setelah berdiskusi dengan berbagai kalangan dan setelah membaca sejumlah buku referensi tentang perkembangan sastra Indonesia (warna lokal atau warna daerah) di berbagai daerah provinsi dan kabupaten lain di Indonesia, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil tantangan ini, yakni melacak sastra dan sastrawan NTT. Pelacakan dimulai awal tahun 2010.
Bagaimana menemukan sastra dan sastrawan NTT? Tidak ada metodologi yang dijadikan pegangan. Saya melakukannya dengan modal akal sehat dan kemauan kuat. Kemauan untuk mengangkat citra sastra dan sastrawan NTT ke tingkat yang lebih tinggi agar dikenal secara luas di tingkat nasional atau internasional. Adapun mekanisme dan standar kerja saya dalam melacak dan menemukan sastra dan sastrawan NTT sebagai berikut.
Langkah pertama, saya mengumpulkan berbagai informasi dan data tentang sastra dan sastrawan NTT, terutama dari media massa cetak, baik yang terbit di NTT maupun di luar NTT, juga media online. Informasi lain juga saya peroleh dari kalangan sastrawan kreatif dan pemerhati, pengamat, dan kritikus sastra.
Dari kerja pengumpulan informasi dan data ini, sampai akhir Januari 2012, saya berhasil mengumpulkan data 107 judul buku sastra NTT karya para sastrawan NTT. Sebagian buku sastra itu telah saya miliki secara pribadi yang saya kumpulkan selama 31 tahun terakhir, sejak kuliah S1 di Semarang (1981) sampai kini (2012). Buku-buku sastra ini berupa kumpulan puisi, kumpulan cerpen, naskah drama, buku novel, dan buku telaah dan kritik sastra.
Selanjutnya saya mengumpulkan data cerita pendek (cerpen) dan puisi. Untuk cerpen, saya memiliki data berupa cerpen-cerpen yang diterbitkan harian Pos Kupang edisi Minggu, selama tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011. Harian Victory News belum terbit. Jumlah cerpen Pos Kupang yang saya miliki 180 judul (rata-rata satu tahun 45 judul cerpen) yang berasal dari 128 cerpenis NTT (rata-rata satu tahun 32 cerpenis).
Untuk puisi, saya memiliki data puisi Pos Kupang edisi Minggu, tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011. Jumlah puisi Pos Kupang yang saya miliki 360 judul (rata-rata satu tahun 90 judul puisi) yang berasal dari 140 penyair NTT (rata-rata satu tahun 35 penyair) yang diorbitkan harian Pos Kupang.
Di samping bersumber dari Pos Kupang, puisi-puisi juga saya himpun dari Majalah Dian (terbitan Ende, kini tidak terbit lagi) selama 9 tahun, dari Oktober 1974 sampai Desember 1983. Lebih dari 200 judul puisi dari 50-an penyair NTT diorbitkan Majalah Dian yang dikumpulkan Pater John Dami Mukese dalam sebuah dokumen berharga yang berjudul Parade Puisi Nusa Tenggara Timur 1974-1983.
Langkah kedua, setelah menghimpun buku-buku sastra, cerpen, dan puisi, serta naskah drama dan film, saya membaca ulang karya-karya sastra NTT itu dan memberi penilaian. Kriteria penilaian difokuskan pada unsur-unsur intrinsik (unsur dalam) karya sastra, sedangkan unsur-unsur ekstrinsik (unsur luar) hanya dijadikan sebagai pelengkap.
Dalam memutuskan hasil penilaian, tentu saja bisa mengundang perdebatan. Mengapa karya-karya si A dimasukkan sebagai karya sastra, sementara karya-karya si B dan si C tidak. Di sinilah titik peliknya. Sebagai karya imajinatif, menilai karya sastra selalu berhimpitan unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif berupa bobot literer unsur-unsur intrinsik karya sastra, sedangkan unsur subjektif berupa bobot kepekaan mata batin pembaca (kritikus sastra) dalam menilai karya sastra.
Langkah ketiga, setelah mendapatkan hasil penilaian, saya telusuri biografi satu per satu sastrawan NTT. Setiap sastrawan ditelusuri data biografi (riwayat hidup) dan data-data karya sastra yang telah dipublikasikan lewat berbagai media massa. Artinya, karya-karya sastra NTT yang saya kaji telah melewati seleksi tahap pertama oleh Editor (penerbit buku) atau Redaktur Sastra (surat kabar dan majalah).
Itulah ketiga mekanisme dan standar kerja saya dalam menemukan sastra dan sastrawan NTT. Kerja panjang ini saya dapatkan hasilnya yang membuat saya merasa berbahagia, sebagai berikut.
Pertama, saya dapat merumuskan definisi dan kriteria sastra NTT dan sastrawan NTT. Adapun rumusan sastra NTT adalah “sastra tentang NTT atau sastra yang dihasilkan orang NTT dengan menggunakan media bahasa Indonesia.” Sastra NTT dalam pengertian ini adalah sastra Indonesia warna lokal NTT atau warna daerah NTT. Jadi, sastra NTT di sini tetap dalam bingkai sastra Indonesia, atau sastra NTT sebagai bagian atau “warga” sastra Indonesia. Sedangkan sastrawan NTT adalah “pengarang karya sastra kelahiran NTT atau keturunan orang NTT.” Sastrawan NTT di sini adalah juga sastrawan Indonesia yang lahir di NTT atau keturunan orang NTT.
Kedua, saya dapat mengidentifikasi nama-nama sastrawan NTT beserta karya-karya sastra yang dihasikannya. Hasilnya, ditemukanlah 64 nama sastrawan NTT. Dari 64 nama itu, ada 22 nama sastrawan NTT yang definitif, yang sudah lengkap data biografi dan data karya-karya sastranya. Karya-karya sastra mereka berbobot secara literer. Selain 22 nama, ada 42 nama lagi yang tengah ditelusuri data biografi dan data karya-karya sastranya.
Ke-64 nama sastrawan NTT ini saya masukkan dalam buku Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Ada tiga bagian buku ini, yakni Mengenal Sastra NTT, Mengenal Sastrawan NTT, dan Menyelisik Sastra NTT. Buku ini tengah diproses tahap akhir penerbitannya oleh Penerbit Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Dari 22 nama sastrawan NTT definitif di atas terdapat sejumlah nama besar, seperti Gerson Poyk, Dami N. Toda, Umbu Landu Paranggi, Julius R. Sijaranamual, Ignas Kleden, John Dami Mukese, Maria Matildis Banda, Marsel Robot, Vincentcius Jeskial Boekan, dan Mezra E. Pellondou.
Di samping 22 nama sastrawan NTT, terdapat 42 nama sastrawan NTT yang tengah ditelusuri data biografi dan data karya-karya sastranya. Di antaranya, terdapat nama Abdul M. Djou, Amanche Franck, Aster Bili Bora, Bruno Dasion, Charlemen Djahadael, Cyrilus B. Engo, Even Edomeko, Felisianus Sanga, Frans Piter Kembo, Frans W. Hebi, Inyo Soro, Ishack Sonlay, Jefta Atapeni, Jimmy Meko Hayong, Jose Wasa, Leo Kleden, Michael B. Beding, Robert Fahik, Ruben Paineon, Sipri Senda, Sr. Wilda Wisang, Umbu Spiderno, Ve Nahak, Vinsen Making, Willem B. Berybe, Yohanes F.H. Maget, Yohanes Don Bosco Blikololong, Y.T.P. Daman, dan Yoseph Lagadoni Herin.
*) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia dari Universitas Flores, Ende [Drs. Yohanes Sehandi, M.Si. Lahir pada 12 Juli 1960 di Dalong, Labuan Bajo, Flores, Nusa Tenggara Timur. Pendidikan formal diselesaikan berturut-turut: SDK Dalong (1973), SMPK Rekas (1976), SPP/SPMA Boawae (1980) ketiganya di Flores, Sarjana (S1) bidang Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di IKIP Negeri Semarang (1985), dan Magister (S2) bidang Sosiologi di UMM Malang (2003)].
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2012/06/menemukan-sastra-dan-sastrawan-ntt.htmlatan Reformasi (?)
Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.
Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?
Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.
Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.
Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan “mati-matian” bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. “Semangat” itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin “panas” itu.
Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan “keharuman” karyanya masing-masing.
Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.
Kalah Langkah
Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.
Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.
Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?
08 Apr 2012

Menggugat Kembali Peran Sosial – Politik Sastrawan


Menggugat Kembali Peran Sosial – Politik Sastrawan
Posted by PuJa on June 20, 2012
Jones Gultom
http://www.analisadaily.com/

BAGIAN klasik dari diskursus sastra adalah menyangkut perannya di tengah gejolak sosial. Bukan soal kontekstual atau tidak, tetapi apakah sebuah karya sastra masih cukup mampu memberi harapan di saat kehidupan sosial-politik sebuah bangsa berantakan, seperti yang terjadi pada negeri ini? Dimanakah sastra kita tempatkan, ketika mendapati masyarakat yang sudah putus asa dengan hidupnya? Saya kira, pertanyaan dan keprihatinan inilah yang mendasari perdebatan tentang politik sastra di Rebana, beberapa waktu lalu. Kini, patut direnungkan lagi, sambil kita menghadapi kenaikan harga BBM, April 2012 ini.
Sayang, tak ada penelitian menjelaskan, seperti apa sebenarnya pengaruh sastra terhadap pembacanya. Tak seperti survey politik yang lazim dilakukan, terutama menjelang pemilu. Mungkin ini yang membuat banyak sastrawan kita gamang, tak percaya diri, lantas tak berani bicara sosial-politik. Lantas berapologi, sastra harus tak berpihak. Dengan sikap seperti ini, wajarlah jika kemudian sebagian besar akhirnya beralih profesi, walau tetap mengaku sebagai sastrawan.
Sejarah perkembangan sastra di Indonesia, setidaknya diklasifikasikan atas beberapa bagian, antara lain; Angkatan Pujangga Lama, Angkatan Balai Pustaka, Angkatan Pujangga Baru, Angkatan 2000 dan Angkatan Reformasi. Pengelompokan ini lebih didasari fokus garapan dan kurun waktu yang berlangsung. Ada juga versi yang memilah berdasarkan ketokohan sastrawannya. Sebut saja Angkatan 45 dan 66 yang populer karena kehadiran Chairil Anwar dan Taufik Ismail. Masing-masing angkatan menyuguhkan ciri khasnya sendiri. Angkatan Pujangga Lama misalnya, lahir untuk memberontaki mitos-mitos yang berlaku dalam sistem masyarakat tradisi. Seperti yang diangkat dalam novel Siti Nurbaya, oleh Marah Rusli. Fungsinya kemudian berkembang di masa Angkatan Balai Pustaka. Seiring mulai terbentuknya konsep negara kesatuan, rasa nasionalisme pun mulai tumbuh di kalangan cendikiawan.
Di fase itu sastra mengambil peran ganda, karena juga dijadikan sebagai alat perlawanan terhadap kolonialisme. Meski ada berpendapat sebaliknya; angkatan ini merupakan underbow Belanda, sehingga memunculkan Angkatan Pujangga Baru sebagai tandingan, yang kemunculannya sekurun waktu dengan Angkatan Balai Pustaka.
Selanjutnya, seiring masuknya peradaban millennium yang dirayakan di segala penjuru dunia, menandai kelahiran Angkatan 2000 dengan cirinya yang postmo, walau sebagian sastrawannya adalah Angkatan Pujangga Baru. Di masa ini, karya-karya sastra bermunculan dengan ragam warna dan corak. Babakan masing-masing angkatan ini bukanlah rentang waktu proses kreatif sastrawannya, namun setidaknya boleh dianggap sebagai fase “puncak” kemunculan mereka.
Dari perjalanan sejarah ini, setidaknya kita menemukan beberapa hal. Pertama, bersastra juga merupakan cara untuk melibatkan diri dalam situasi sosial perpolitikan. Dengan begitu sastrawan juga adalah seorang sosiolog bahkan politikus. Kedua, karena memadukan realita dengan kedalaman insight yang dimiliki, sastrawan bahkan setingkat lebih tinggi dari seorang ilmuwan. Ketiga, karena kebiasaannya yang reflektif, sastrawan pun dianggap sebagai “ahli nujum” yang tahu membaca masa depan. Syarat-syarat inilah yang menjadikan karya seorang sastrawan menjadi penting untuk dibaca. Sejarah Indonesia juga membuktikan, para sastrawanlah yang membangun bangsa ini. Atau setidaknya dia juga melakukan kerja-kerja politis.
Sejak Ronggowarsito sampai M. Yamin. Dari AA. Navis sampai Mukhtar Lubis. Pramoedia, Goenawan Muhammad, Rendra, Arief Budiman, Fuad Hassan, bahkan Gusdur. Tokoh-tokoh ini didengar bukan semata-mata karena karya sastranya, tapi juga kerja politiknya yang didasari atas karakter kesastrawanannya. Tak heran jika Soekarno pernah menyitir; “jika fakultas kedokteran ditutup, maka 3-5 tahun ke depan kita akan kekurangan dokter. Begitu juga jika fakultas hukum ditutup, maka 3-5 tahun lagi kita akan kekuranagn hakim dan pengacara. Jika fakultas sastra ditutup, bahkan di seluruh universitas dunia, sastrawan tetap akan muncul dengan sendirinya.” Karena seorang sastrawan bisa saja lahir dari gejolak sosial, ekonomi, budaya, terutama politik.
Angkatan Reformasi (?)
Sama dengan angkatan-angkatan sebelumnya, Angkatan Reformasi lahir juga mengusung semangatnya sendiri. Terbukanya kran berkreativitas sebebas-bebasnya, disambut para sastrawan di penjuru nusantara. Tidak jelas siapa yang pertama kali memunculkan istilah ini. Angkatan ini digawangi oleh sejumlah sastrawan yang mencuat serta didasari oleh semangat reformasi. Sayangnya Angkatan Reformasi ini tidak setangguh angkatan-angkatan sebelumnya, terutama jika dikaitkan dengan moment yang melahirkan mereka. Bahkan angkatan ini nyaris tak memunculkan satupun sastrawannya, kecuali Wiji Thukul. Momentum reformasi gagal membesarkan angkatan ini. Dia kalah progresif dengan dunia sosial dan politik yang sukses besar melahirkan tokoh-tokoh politik yang kini menjadi icon. Tak heran, hampir tak ada karya sastra yang terbilang penting, bagi keindonesiaan, lahir di fase ini. Sampai kemudian tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata pun berkibar.
Dalam kaitannya dengan sosial-politik, dunia sastra di masa sekarang ini, boleh dibilang gagal, karena tak memberi sumbangan yang cukup berarti. Ketika korupsi dimana-mana, harga-harga melambung tinggi, konspirasi yang merajalela, masyarakat yang berubah anarkis, kemiskinan, pembohongan publik, seperti yang berlangsung sekarang, dimanakah suara sastrawan?
Saya termasuk rajin mengamati opini-opini yang dimuat di media massa lokal dan nasional. Hanya ada 1-2 sastrawan yang rajin memberikan pemikirannya, termasuk sekedar menunjukkan simpati. Padahal ketika kongres sastrawan diadakan, pesertanya bisa sampai membludak.
Menurut saya, banyak hal yang menyebabkan ketimpangan ini. Pertama, para sastrawan kita tak mampu dan tak terbiasa mengangkat isu-isu sosial-politik dalam karyanya. Ketika reformasi meletus, para sastrawan gagal menangkap momentum itu. Dinamika sosial-politik bergerak ibarat bola salju, dunia sastra kita masih terjebak dengan indetitas angkatan sebelum-sebelumnya. Akhirnya sastrawan kita tak mampu mengejar isu dengan perwujudannya yang kontekstual. Wajar jika kemudian masyarakat yang sempat betah membaca karya sastra, pergi menjauh. Ditambah lagi dengan bergesernya perhatian industri penerbitan dari karya sastra.
Saya kira, inilah efek dari kebiasaan para sastrawan yang terdogma dengan sentralisme media. Para sastrawan “mati-matian” bermanuver, membahas bahkan menduga-duga seperti apa ciri yang diminati media yang dinilai prestius itu. Alhasil, proses kreatifitasnya hanya sekedar ambisi-publikasi. “Semangat” itupula yang membuatnya lupa dengan dunia di luar sastra yang semakin “panas” itu.
Kedua, eforia Angkatan 2000 yang belum selesai. Seperti disinggung sebelumnya, keanekaragaman karya sastra kita memuncak di Angkatan 2000. Afrizal Malna muncul dengan puisi instalasi urbannya. Joko Pinurbo menyuguhkan puisi filsafat eksitensi yang mengkontruksi benda-benda keseharian. Pada cerpen ada Seno Gumira Aji Darma, yang gemar mendramatisir sesuatu yang realita maupun fiksi dengan penekanan pskilogis. Begitu juga Hudan Hidayat yang sukses mendekonstruksi teori-teori psikologi, termasuk pewayangan. Di novel yang cenderung didasari semangat feminis, berhasil melahirkan novelis-novelis bermutu semisal Ayu Utami, Djenar, Dewi Lestari yang menghadirkan “keharuman” karyanya masing-masing.
Pengaruh para sastrawan ini masih cukup kuat sekaligus menghipnotis para sastrawan Angkatan Reformasi. Alhasil Angkatan Reformasi sampai ini belum menemukan jati diri di zamannya sendiri.
Kalah Langkah
Tulisan ini tidak hendak mendiskreditkan para sastrawan Angkatan Reformasi maupun karya-karyanya. Kenyataannya, sastra kita sekarang ini tak mampu berbuat apa-apa bagi masyarakat, khususnya pembaca, adalah hal penting yang harus dijawab.
Sebagai perbandingan, ketika gejolak sosial-politik melanda Bangsa Indonesia, setidaknya satu dekade ini, hampir tak didapati karya-karya sastra yang mengangkat situasi ini. Justru kiblat sastra semakin liar, bahkan, mengutip istilah Yulhasni- konteks-teksnya makin semu. Bilapun kearifan lokal yang coba digagas kembali sebagai alternatif postmodrenisme, justru terperangkap pada kedangkalan tafsirnya sendiri.
Kemampuan dialektis sastrawan yang dangkal menjerumuskan sastrawan ke dalam mahzab yang sempit; sekedar penanda identitas kelompok-kelompok masyarakat. Sebaliknya, agresivitas sosial-politik yang makin tak terbendung itu, kini makin merangsek ke seluruh sendi kehidupan masyarakat. Saya khawatir, adakah situasi ini menjadi kekhawatiran para sastrawan?
08 Apr 2012

Tanpa Kritikus Sastrawan akan Tetap Lahir


Tanpa Kritikus Sastrawan akan Tetap Lahir
Posted by PuJa on June 20, 2012
M. Raudah Jambak
http://www.analisadaily.com/

Terlalu banyak persoalan yang berhubungan dengan sastra atau kritik sastra yang menarik untuk dibicarakan. Lebih menariknya lagi, persoalan yang mengemuka selalu itu ke itu saja. Tak pernah selesai. Tak jelas ujung-pangkalnya. Setiap kali diulang masih selalu saja mencuri perhatian kita. Masih tetap menarik untuk disimak.
Setiap tahun persoalannya selalu sama. Bahkan tawaran penyelesaiannya juga tak jauh beda. Terhitung tahun, bulan, minggu, hari, maupun detik. Tak ada yang berbeda. Decak kagum selalu mencuat ke permukaan. Persoalannya, apakah kita sudah terbiasa mengulang-ulang yang sudah ada? Justru kita memang tumpul untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apakah kita sudah imun dengan yang namanya kemajuan, sehingga tidak mampu lagi menjadi seorang penemu, pemikir atau penggali yang jenius terhadap karya-karya yang hadir.
Kita maklum, produktivitas (kreativitas) karya jauh melesat kuantitasnya. Ratusan bahkan ribuan karya tak terbendung lagi kehadirannya. Untuk hal itu kita mau tidak mau harus angkat jempol sekaligus angkat topi.
Pun, termasuk berbagai ulasan yang hadir. Baik itu sebatas apresiasi, bahkan kritik. Apresiasi karya atau apresiasi hasil apresiasi. Kritik karya atau kritik hasil kritik. Kita pernah membaca tulisan Sitor Situmorang tentang, Krisis HB Jasin dalam Mimbar Indonesia Th. IX No. 2-3; sastra di Indonesia sedang mengalami krisis ukuran.
Pengukuran pencapaian estetika karya menentukan seberapa pentingnya (berpengaruhnya) seorang sastrawan. Baginya, setiap sastrawan dan karyanya harus dikaji dengan ide-ide yang melingkupinya. Dalam hal ini, lantas tentu tidak meletakkan karya sastra di atas timbangan atau dipeluk penggaris. Kita tidak terjebak dengan pemerkosaan ide dalam sebuah karya sastra. Memang batasan antara struktural, estetika dan ide sangat tipis. Ruskin melihat hal ini mengatakan, keindahan karya ditentukan oleh keluhuran perasaan yang diungkapkannya.
Kemampuan merasakan atau kepekaan tidak lepas dari selera. Seperti halnya Hazlitt, seorang kritikus, menilai tidak lebih dari selera (taste)-nya, tapi dengan sejumlah alasan dan data dari karya sastra. Selera baginya, “kepekaan rasa terhadap berbagai macam tingkatan dan jenis kejeniusan dalam karya-karya seni…” Penilaian, tambahnya, seperti halnya memberi penghormatan pada karya sastra.
Seperti apa yang telah digumamkan oleh Yulhasni, studi sastra dalam perkembangannya di tanah air selalu melahirkan berbagai wacana dan polemik yang menarik untuk dicermati. Pada dekade 80-an dan 90-an, studi sastra dalam pendekatannya pernah dihebohkan dengan munculnya gerakan postmodernisme atau sering disebut sebagai pascastrukturalisme. Pada masa itu kemudian teori dekonstruksi Derrida jadi wacana yang menghangatkan diskursus sastra di Indonesia. Sebelumnya A. Teeuw menyentakkan dunia akademisi di Indonesia dengan esainya ‘’Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi’’. Dalam esainya, profesor Belanda ini menyatakan ketidakpuasannya atas hasil analisis dosen sastra terhadap dua sajak modern Indonesia.
Begitulah, dunia akademisi dengan seperangkat teori yang dikunyah lewat rak-rak buku, jadi bentangan kesia-sian belaka. Barangkali memang ada kesalahan pemahaman ketika berhadapan dengan teks sastra.
Di Sumatera Utara, nyaris tidak dapat ditemukan studi kritis yang lebih menukik saat berhadapan dengan karya sastra di daerah ini. Bahkan saat membaca beberapa tulisan di rubrik Rebana ini, baik berupa ulasan terhadap cerpen, puisi, maupu novel, hampir semuanya terperangkap pada pendekatan yang mengabaikan proses pembacaan yang kritis.
Mungkin telah terjadi kekeliruan yang menahun di bangku perkuliahan ketika mahasiswa disodorkan seperangkat teori sastra. Lebih memprihatinkan teori yang disodorkan, sama sekali keluar dari realita teks itu sendiri. Alhasil, dalam model pendekatan struktural, teks hanya dimaknai sebagai satu yang otonom tanpa ada faktor luar yang mempengaruhinya. Inilah faktor penyebab mengapa kemudian sastra menjadi kering saat dibedah oleh kaum akademisi. Di lain pihak, tema dan gagasan tentang karya sastra di Sumut masih bicara tentang kelamin, sesuatu yang sebenarnya adalah cerita lama dalam khazanah sastra Indonesia.
Beberapa karya sastra yang lahir di Sumatera Utara, terutama yang terbit di media cetak, diyakini tidak pernah mampu dikritisi secara cermat. Bahkan dalam praktik pendekatannya, tiga bentuk pertanyaan yakni (1) bagaimana cara menafsirkan isi karya sastra, (2) bagaimana dan kenapa suatu karya sastra diciptakan, dan (3) apa implikasi sosial budaya dari karya itu, pada kenyataannya tidak mampu terjamah kaum akademisi sastra. Pada bagian inilah kemudian muncul pendekatan Teori Kritis untuk menjawab tiga pertanyaandi atas.
Gumaman itu, tetap menarik dicermati, apalagi beberapa waktu lalu, juga acap kita membaca apresiasi plus kritik yang mengemuka. Misalnya persoalan politik dan kritik, jenis kelamin sastrawan dan sebagainya.
Saya pernah menulis dalam bentuk kertas kerja Omong-Omong Sastra beberapa waktu lalu tentang “Kritikus dan Sastrawan saling kehilangan” dan “Dimana keberadaan Kritikus ketika Sastrawan tidak lagi berkarya”, serta “Masih perlukah kritik?”.
Ketika kita berbicara persoalan zaman, mungkin kritikus masih layak mendapatkan posisi terhormat, jika kita bicara masa lalu. Zaman sekarang dengan media yang cukup menjanjikan misalnya, selain surat kabar dan majalah, kita bisa mengirimkan ke media-media online.
Masuk ke persoalan gumaman Yulhasni, apakah masih perlu kritik ketika redaktur sudah bertindak sebagai kritikus terhadap karya yang masuk. Ketika kita bicara tentang kritik teoritis terhadap karya, maka dimanakah posisi skripsi atau thesis yang lahir selama ini? Berharap kritik teoritis masuk dalam surat kabar atau majalah, yang perlu kita pertanyakan, apakah kualitasnya tercapai? Bagaimana dengan buku?
Minimnya teori kritis terhadap karya sastra Sumut disinyalir oleh Yulhasni tentang, beberapa ulasan terhadap karya sastra di rubrik ini, misalnya, tidak menyentuh kepada substansi teks yang hendak dikritik. Tulisan Jones Gultom berjudul Sastra Medan Krisis Estetika, (Analisa, 26 Februari 2012) menarik dicermati, karena sebenarnya ada ruang untuk mengatakan, proses kreativitas anak Medan hanya berhenti pada katarsis. Lebih jelas jika teks-teks puisi dipaparkan dan dilihat pada bagian mana sebuah puisi dikatakan berhenti pada katarsis. Sejumlah tulisan Mihar Harahap dalam kaitan bedah cerpen Rebana, mestinya harus meletakkan teks secara mandiri. Dalam dekonstruksi, pemahaman terhadap sebuah teks lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat.
Pada tulisan Mihar Harahap berjudul Membaca Cerpen Rebana April 2011 (Analisa, 8 Mei 2011), misalnya, sejumlah cerpen yang dikritisi tidak memiliki kekuatan konflik dan perwatakan yang jelas. Dalam dogma strukturalis, kajian seperti ini memang diarahkan ke pembangunan struktur karya. Sejatinya dalam kajian Teori Kritis, tidak perlu sekali dilihat strukturnya melainkan apa di balik teks-teks yang tertulis.
Kelemahan mendasar dalam pendekatan terhadap karya sastra di Sumut, tidak karena faktor pembacaan yang tidak intensif. Ada bangunan besar dalam studi sastra di daerah ini yang salah, karena terlalu lama menuhankan strukturalisme sebagai nabi teori sastra.
Literatur terkait Teori Kritis sama sekali jarang diajarkan di perguruan tinggi karena faktor ketiadaan bahan, tenaga pengajar yang tidak memahami dan tentu saja karena ketidakbutuhan kita pada hal-hal yang baru.
Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.
*) Direktur Komuntias Home Poetry dan Dosen Ilmu Komunikasi Filsafat Panca Budi Medan. /01 Apr 2012

Kritikus Sastra di Sumut Ketinggalan Zaman


Kritikus Sastra di Sumut Ketinggalan Zaman
Posted by PuJa on June 20, 2012
Yulhasni *
http://www.analisadaily.com/

Akhirnya, posisi dan kebutuhan mengkritisi karya tidaklah seburam gumaman Yulhasni. Biarkan dia mengalir seirama zaman. Mengapresiasi atau mengkritisi kembali apakah dengan atau tanpa teori, selama kita memahami, kritik dimaksudkan untuk menemukan solusi bukan menambah konflik, silahkan saja. Toh, tanpa kritikus sastrawan tetap lahir. Lantas bagaimana sebaliknya? Terserah kita menafsirkannya. Salam.
Sengaja saya mengutip tulisan M Raudah Jambak berjudul ‘’Tanpa Kritikus Sastrawan tetap Lahir’’ di rubrik Rebana harian ini (1/4) untuk membuka sebuah tahapan pemahaman kita tentang kritik dan cara pendekatannya, terutama jika dikaitkan dengan sastra di Sumatera Utara. Tulisan itu muncul sebagai respon atas tulisan saya berjudul ‘’Minimnya Teori Kritis terhadap Karya Sastra Sumut’’ yang dimuat harian ini pada 18 Maret 2012.
Sejarah panjang kritik sastra Indonesia tentu melahirkan bermacam pendekatan. Pada level tertentu di beberapa perguruan tinggi, pendekatan karya sastra masih melekat dalam satu konsep ‘’sastra yang otonom’’. Cara pandang ini sebenarnya telah lama ditinggalkan oleh kaum akademisi di beberapa daerah, terutama Jakarta, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Bali. Cara pandang seperti itu, meminjam Faruk HT, erat kaitannya dengan bagian integral dari kritik sastra Indonesia modern yang bermetamorfosis dari cara pandang sastra modern yang berkisar pada soal oposisi hierarkis antara kebenaran dengan kesemuan; kenyataan dengan representasi; dan kedalaman dengan permukaan.
Konsep bahwa sastra adalah dunia yang otonom mengakibatkan tidak terjadinya proses dialektika dalam kritik sastra di daerah ini. Saya kemudian harus memberi catatan penting soal betapa tertinggalnya daerah ini dalam hal kritik sastra itu sendiri.
Cara pandang kita terhadap sastra, terutama yang dimuat di media cetak di daerah ini, seringkali alergi dengan perkembangan teori sosial yang berkembang di dunia. Bahkan lebih ironisnya, di perguruan tinggi pun, teori-teori sosial baru yang kemudian bermuara kepada pendekatan karya sastra, ternyata tidak mendapat tempat. Alhasil, studi mahasiswa pun akhirnya terpola kepada model teori struktural yang sebenarnya telah jadi fosil tersebut.
Model pendekatan karya sastra di daerah ini sudah semestinya diarahkan kepada bentuk-bentuk baru dalam teori ilmu sosial. Sastra tidak lagi harus berdiri di menara gading yang dengan sendirinya harus dipahami dalam teks tertulis saja. Memahami beberapa novel sejarah seperti Berjuta-juta dari Deli karangan Emil W Aulia atau Acek Botak karya Idris Pasaribu, semestinya harus didekati dengan model teori postkolonial. Jika teks dalam kedua karya ini didekati dengan model struktural, maka esensi utama dari keduanya tidak akan tercapai. Teori postkolonial memungkinkan teks dalam kedua novel, dipahami sebagai pesan penting tentang penindasan model Barat atas Timur. Satu konsep yang sejak lama sudah diperkenalkan oleh Edward Said.
Beberapa puisi, cerpen, naskah drama dan novel telah lahir di daerah ini. Selalu saja penilaian atas karya tersebut berhenti pada struktur karya, tanpa mampu memberi ruang pemikiran yang lebih luas tentang apa di balik teks karya tersebut.
Bangku perkuliahan semestinya cepat keluar dari kungkungan teori-teori klasik yang telah usang. Dalam sejarah pendekatan karya sastra, perkembangannya begitu cepat. Kita mengenal urutan teori sastra, yakni teori moral, teori ekspresif, biographical criticism, new criticism, psikoanalisis, marxisme, reader response (resepsi), strukturalisme, postrukturalisme dan dekonstruksi, posmodernisme, feminisme, new historicism, poskolonialisme dan cultural studies.
Pada saat sekarang, ketika berbagai ilmu sosial berkembang, teori pun mengikutinya lewat seperangkat metode yang digunakan. Makanya, konsep Critical Analysis Discourse (CDA) atau Analisis Wacana Kritis menjadi relevan dikembangkan untuk melihat kesejatian karya sastra di daerah ini. Widyastuti Purbani dalam tulisan berjudul ‘’Metode Penelitian Sastra’’ menulis kata kritis (critical) dalam CDA membawa konsekuensi yang tidak ringan.
Pengertian kritis di sini bukan untuk diartikan secara negatif sebagai menentang atau memperlihatkan keburukan-keburukan dari subjek yang diperiksa semata. Kata kritis menurut Ruth Wodak -seorang pemikir neo-marxis yang banyak dipengaruhi Mazhab Frankfurt model Jurgen Habermas- hendaknya dimaknai sebagai sikap tidak menggeneralisir persoalan melainkan memperlihatkan kompleksitasnya; menentang penciutan, penyempitan atau penyederhanaan, dogmatisme dan dikotomi. Kata kritis juga mengandung makna refleksi diri melalui proses dan membuat struktur relasi kekuasaan dan ideologi yang pada mulanya tampak keruh, kabur dan tak jelas menjadi terang. Kritis juga bermakna skeptis dan terbuka pada pikiran-pikiran alternatif.
Dengan menggunakan metodologi seperti ini, kita mampu menangkap pesan-pesan penting adanya relasi kekuasaan pada novel Berjuta-juta dari Deli dan Acek Botak. Kungkungan struktur yang membangun kedua novel tersebut tidak lagi sebagai hal yang harus diributkan, ataupun kemudian ditarik berbagai cara untuk mengkaji dalam konsep sastra yang otonom tersebut.
Karya-karya sastra di daerah ini mungkin terlalu banyak yang berbicara tentang protes sosial atas ketidakadilan majikan (tuan) terhadap buruh, terutama jika mencermati praktik dehumanisasi di perkebunan. Sayangnya, dalam studi-studi sastra kontemporer di daerah ini, terlalu sedikit yang mencoba melirik karya tersebut lewat pendekatan baru dalam ilmu sosial. Selain itu karya-karya sejenis ini telah lama dikubur oleh rezim Orde Baru karena dinilai bagian dari sebuah model gerakan politik, seperti apa yang terjadi pada karya-karya pengarang pengikut Lekra. Hal yang sama juga terjadi terhadap karya sastra etnis Tionghoa yang hilang tak berbekas sebagai akibat praktik ‘kasar’ Orde Baru.
Sastra Melayu-Tionghoa atau Sastra Indonesia-Tionghoa, seperti ditulis Irwansyah, adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir, hanya dipandang dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas. Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.
Patut disayangkan, karena model pendekatan dalam kritik sastra di daerah ini masih percaya kepada struktur karya yang mengakibatkan banyak karya sastra yang tidak mendapatkan apresiasi dari pembaca. Kritikus sastra -entah ada atau tidak di daerah ini- terperangkap kepada satu model yang keliru, yakni melihat karya hanya dalam batasan karya sebagai bentuk yang otonom. Kekeliruan ini akibat studi sastra yang juga keliru dalam menerjemahkan perkembangan teori sastra di Indonesia.
Penilaian karya sastra tidak berhenti hanya pada persoalan layak atau tidaknya seorang redaktur media cetak menilai sebuah karya. Sayangnya tulisan Raudah Jambak keliru menafsirkan pemikiran saya tentang apa itu ‘teori kritis’ dan ‘kritik teoritis’. Teori kritis memandang sastra dengan konsep antiotonom, sedangkan kritik teoritis merupakan model kritik terhadap karya sastra dengan menggunakan metode-metode tertentu. Tidak ada hal yang krusial ketika seorang redaktur media cetak menjadi penilai karya sastra, akan tetapi konsep yang saya maksud adalah peranan ‘orang luar’ terutama mereka yang selalu mengaku sebagai kritikus sastra di daerah ini untuk tidak terkungkung dengan metode pendekatan yang sudah kadaluarsa alias ketinggalan zaman.
*) Dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU dan Mahasiswa Pascasarjana Linguistik USU /08 Apr 2012

Friday, 8 June 2012

Spiritualisme Sastra


Spiritualisme Sastra
Posted by PuJa on June 7, 2012
Mohamad Ali Hisyam *
Seputar Indonesia, 3 Okt 2009

BOLEH dibilang, terorisme adalah bagian dan hasil dialog dan perjumpaan antaragama yang belum sepenuhnya berhasil. Padahal, upaya untuk mengakrabkan setiap agama sudah lama diretas.
Panorama perjumpaan antaragama secara formal memang sudah kerap terjadi dalam kaleidoskop sejarah. Guna meredam gejolak konflik serta menautkan muatan luhur di tubuh tiap-tiap agama,pertemuan formal semacam ini penting dilakukan dan seyogianya terus dilestarikan. Namun, yang sebenarnya lebih penting dari itu semua adalah keselarasan dan kesalingsapaan antarpemeluk agama dalam realitas keseharian.
Visi perdamaian serta penggalian nilai-nilai agama akan terjalin dengan akrab manakala esensi keteduhan agama diwujudkan melalui ritme interaksi sosial yang melibatkan seluruh masyarakat hingga lapisan akar rumput. Kesadaran untuk saling menghormati antaragama dalam prilaku profan masyarakatlah yang paling berpotensi mendorong hubungan sosial dalam bingkai yang sejuk dan dinamis. Spiritualitas, yang merupakan ruh kesadaran kemanusiaan, semestinya dijadikan modal berharga guna menjalin interaksi dalam komunitas plural menuju ke arah pencerahan yang humanis, toleran, dan transformatif.
Pada dimensi ini, penting direnungkan bahwa manusia sejatinya adalah makhluk spiritual. Ia adalah bagian dari keluarga Mahacahaya (family of the light).Pelbagai kekacauan yang terjadi di muka bumi, sepanjang sejarah, salah satunya disebabkan karena kita telah abai dan alpa akan jati diri kita sebagai makhluk spiritual. Manusia niscaya akan hidup penuh kedamaian manakala ia telah menemukan jati dirinya, yaitu hidup dengan mengesampingkan ego dan mengedepankan cinta kasih.
Membincang ihwal persinggungan lintas agama, karya sastra juga tak ketinggalan untuk turut berikhtiar menjadi media dan jembatan penghubung yang mampu mengantarkan kesadaran khalayak menuju altar spiritualitas yang damai dan lintas batas. Sastra melansir muatan nilai kemanusiaan yang mengasah kepeduliaan serta rasa saling hormat antarpemeluk agama. Kendati memang tidak terlalu banyak karya sastra yang secara sublim mengupas seputar spiritualitas agama.Terlebih yang mengulasnya dari dimensi lintas agama.
Di antara yang sedikit itulah kita bisa menyebut novel Memburu Kalacakra (Bentang Budaya: 2004) karya Ani Sekarningsih sebagai salah satu pustaka berharga dalam belantika karya sastra maupun referensi kebudayaan yang mengurai ihwal spiritualitas secara umum. Bila dalam novel sebelumnya, Namaku Teweraut, Ani lebih memperkental alur ceritanya dari perspektif antropologi, di novel Memburu KalacakraAni Sekarningsih lebih khusyuk dengan pilihan tema-tema ideologis: seputar spiritualitas.
Di tengah kondisi sosial masyarakat kita yang tak kunjung pulih dari krisis moral,pilihan tema yang disodorkan Ani dapat menjelma oase yang menyegarkan. Secara ringkas narasi Memburu Kalacakra dengan sepenuh hati hendak menjawab sebuah pertanyaan mendasar: bahwa dalam mengarungi samudra hidup,manusia butuh bekal keberanian mencari dan mengasah sumber spiritualitas yang menghampar luas sepanjang semesta kehidupan itu sendiri.
Dalam karya ini spiritualisme bahkan bisa dikais tidak hanya melalui agama, melainkan dari artefak-artefak peradaban yang mengelilingi manusia. Salah satunya adalah kearifan budaya yang bernilai tuntun positif.Lewat tokoh Arleta, Memburu Kalacakra berupaya menyajikan gambaran bagaimana pengembaraan seorang anak manusia yang dengan begitu intens melakukan pencarian spiritual yang tiada ujung. Dalam khazanah sastra Indonesia mutakhir, karya sastra yang menggarap tema spiritualitas lintas agama ini sebenarnya sudah pernah ada.
Kita bisa menyebut dua seri Supernova (Dewi Lestari) serta Tujuh Musim Setahun (Clara Ng) sebagai sedikit di antara karya pribumi yang mengemas tema religiositas dan spiritualitas dari beragam sudut. Pada spektrum yang lebih luas, kita akan menemukan sejumlah keserupaan antara karya yang dihasilkan sastrawan Indonesia dengan karya-karya sastra spiritual karangan James Redfield.Setidaknya, sepasang karya Redfield, yakni The Secret of Shambala dan The Celestine Prophecy (keduanya sudah diindonesiakan oleh penerbit Gramedia) memperlihatkan pada kita bagaimana petualangan spiritual seseorang telah membuat dirinya berkemampuan melintas sekat, berburu spiritualitas dari ladang satu ke ladang yang lain. Tanpa kenal ruang, tanpa tabir waktu.
Seorang pemeluk agama yang saleh tidak hanya sibuk berhubungan dengan Tuhan dalam wujud prilaku ritual formal. Lebih dari itu, ia akan senantiasa peduli dan memikirkan kehidupan lingkungan sosial di sekitarnya, dengan cara ”bersalaman” saling bahu membahu menyemai kesalehan sosial yang tak hanya mengerubung dalam satu lingkaran komunitas, melainkan juga menebarkan kesejukan kepada semua orang.
Termasuk di dalamnya penganut berbagai agama. Artinya, agama merangkum rahmat bagi alam yang bakal bermakna bila ia ditaburkan dengan penuh ketulusan.
*) Mohamad Ali Hisyam, Penikmat sastra, mengajar di Universitas Trunojoyo Madura
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2009/10/spiritualisme-sastra.html

SASTRAWAN DAERAH SULAWESI TENGGARA PAHLAWAN YANG KESEPIAN


SASTRAWAN DAERAH SULAWESI TENGGARA PAHLAWAN YANG KESEPIAN
Posted by PuJa on June 6, 2012
La Ode Balawa *
http://sastrakendarisultra.blogspot.com/

Bukan untuk mengajarkan kesombongan pada Komunitas Sastrawan Daerah Sultra (Sulawesi Tenggara), tapi demi kejujuran dan keadilan saya harus membuka risalah ini dengan pernyataan: sepanjang sejarah berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara baru Komunitas Sastrawan Daerah Sultra (satu-satunya) yang sudah berhasil mempersembahkan medali emas/tinta emas nasional terhadap daerah ini.
Bukan hal yang berlebihan kalau sejarah harus mencatatat bahwa piala emas nasional yang pertama kali tiba di Sulawesi Tenggara itu diboyong oleh Subadir Kete (mahasiswa PBSI FKIP Unhalu) sebagai Juara I Lomba Baca Puisi dalam rangka kegiatan PORSENI MAHASISWA NASIONAL Tahun 2006 di Makassar. Medali emas kedua dipersembahkan oleh La Ode Muhammad Urfan (pelajar SMUN 4 Kendari) yang meraih Juara I Lomba Baca-Tulis Puisi dalam rangka kegiatan FLS2N (Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional) pada tahu 2009 di Yogyakarta. Diakui atau tidak, dipedulikan atau tidak, mereka tetaplah pahlawan emas bagi keharuman nama Sulawesi Tenggara di tataran nasional. Mereka telah mengangkat nama dan martabat daerahnya di arena nasional.
Di samping itu, di bidang kepenulisan komunitas sastrawan Sulawesi Tenggara juga telah diperhitungkan di tataran nasional. Sekadar menyebut beberapa nama, La Ode Boa dan I Nengah Negara pernah menyabet Juara II dalam Lomba Menulis Cerita Fiksi Nasional yang diselenggarakan oleh Direktort Pendidikan Dasar dan Menengah di Jakarta. Pada tahun ini Amiruddin Ena (dari Kota Bau-Bau) meraih posisi Juara II Lomba Menulis Naskah Drama yang diselenggarakan oleh Pusat Bahasa, Jakarta.
Adapun yang paling menarik perhatian para pemerhati sastra nasional adalah pergerakan laskar-laskar sastra di Kota Kendari yang iramanya makin menderas dalam perpaduan arus antara kelompok seniman/sastrawan dari dunia akademis yang terdiri atas dosen-dosen dan mahasiswa Unhalu dan seniman/sastrawan kota Kendari dan sekitarnya yang berkecimpung di berbagai sanggar dan teater yang sangat subur dan produktif dalam dekade terakhir ini.
Sebutlah Teater Sendiri dan Komunitas Arus misalnya, keduanya kini telah menjelma sebagai rumah kreatif yang telah berjasa mengangkat nama Sultra di tataran nasional. Dari kedua rumah sastra itu, kini kita telah memiliki sejumlah seniman dan sastrawan Sultra yang mampu bicara di berbagai kegiatan sastra nasional. Sekadar menyebut beberapa nama, seperti Achmad Zain alias Zain Stone (Pimpinan Teater Sendiri), Irianto Ibrahim (Pimpinan Komunitas Arus), Syaifuddin Gani, Ahid Hidayat, Abdul Razak Abadi ”Ady Rical”, Iwan Com Com ”Iwan Konawe”, dan Sendri Yakti. Nama dan karya mereka telah menghiasi berbagai majalah dan surat kabar nasional.
Pada hari ini geliat dan perjuangan tanpa pamrih para seniman/sastrawan Kendari itu kembali menorehkan tinta emas bagi daerah Kendari (Sultra). Dalam kegiatan Temu Sastrawan Indonesia III di Tanjung Pinang pada tanggal 28—31 Oktober yang lalu, Kota Kendari (ibu kota Sultra) telah ditempatkan sebagai salah satu di antara 10 kota termaju pertumbuhan sastrawannya di Indonesia. Bacalah buku Antalogi Puisi Temu Sastrawan Indonesia III, Percakapan Lingua Franca atau Antalogi Cerpen Temu Sastrawan Indonesia III, Di Ujung Laut Pulau Marwah, misalnya, pada kata pengantar kurator dalam kedua antalogi itu nama KENDARI sudah bertengger di antara 10 kota termaju pertumbuhan sastrawannya di Indonesia, yang sejajar dengan nama Lampung, Jakarta, Bali, Yogyakarta, Riau, Surabaya, Bandung, Banjarmasin, Medan, dan Kepulauan Riau.
Atas semua kenyataan itu, sudah sepatutnya pemerintah dan masyarakat Sulawesi Tenggara berterima kasih kepada para seniman/sastrawan Sultra yang telah sangat berjasa mengangkat dan mengharumkan nama dan kehormatan Sulawesi Tenggara di tingkat nasional pada saat ini. Pemerintah Sultra pada hari ini dan hari esok tak sepantasnya lagi terus-terusan membutakan mata dan menyepelekan urusan sastra dan sastrawan di daerah ini. Sadarlah bahwa salah satu tugas pemimpin daerah itu adalah ”mengangkat martabat daerahnya,” dan salah satu cara membuktikan itu adalah memberi perhatian dan dukungan sepenuhnya kepada generasi daerah yang telah berjuang dan terbukti berhasil ”mengangkat martabat daerahnya” di tengah-tengah kehidupan bangsanya.
Adalah dosa besar pada sejarah daerah Sultra kalau kita menyepelekan dan menyia-nyiakan segala jasa besar sastrawan Sultra pada hari ini. Sudah seharusnya pemerintah dan masyarakat memberikan apresiasi dan penghargaan yang semestinya kepada para sastrawan di daerah ini. Terus terang rasa keadilan pada diri saya sering terluka melihat sikap dan tindakan pemerintah daerah yang kurang adil terhadap para sastrawan di daerah ini.
Bandingkanlah, misalnya, bagaimana perhatian dan dukungan pemerintah antara komunitas ”olahragawan” dan ”sastrawan”, sangat jauh berbeda, bagai langit dan bumi. Komunitas ”olahragawan” didukung dengan dana besar mulai dari kegiatan latihannya sampai pengiriman rombongan atlet dan pelatihnya, tapi mari jujur apa yang sudah dipersembahkan oleh komunitas itu untuk nama Sultra sampai saat ini? Tapi sebaliknya, komunitas ”sastrawan” yang dianaktirikan selama ini, justru merekalah pelaku sejarah emas Sultra pertama dan baru satu-satunya hingga sekarang.
Contoh paling segar ketidakadilan perlakuan pemerintah itu adalah ketika menjelang TSI 3 di Tanjung Pinang baru-baru ini. Pemberitaan surat kabar dan jaringan internet berbagai daerah di Indonesia tentang kegiatan itu begitu ramai, hampir setiap hari berbagai daerah memberitakan kesiapannya memberangkatkan para sastrawan kebanggaannya ke ajang perhelatan akbar itu, tapi di Sulawesi Tenggara tidak ada sama sekali. Para sastrawan Sultra yang mendapatkan undangan dari panitia penyelenggara kegiatan itu, secara diam-diam mencoba mengemis dukungan dari instansi yang relevan di daerah ini, tapi hasilnya malu saya beritakan di sini. Tapi dengan semangat baja, karena sudah terbiasa dilanda kekecewaan, empat sastrawan tetap datang memenuhi undangan walaupun harus dengan membongkar celengan atau berutang demi itu semua. Alhasil karya-karya mereka semua lulus seleksi dan termuat dalam antalogi dan di samping nama mereka tertera tulisan tebal ”Sulawesi Tenggara”, dan yang lebih mengharukan lagi di pengantar buku itu tertera ”Kendari” sebagai salah satu di antara 10 kota yang termaju pertumbuhan sastra/sastrawannya di Indonesia.
Tanyalah pemimpin daerah ini setelah membaca tulisan ini, respon macam apa yang sudah mereka berikan kepada para sastrawan yang sungguh-sungguh pahlawan itu? Respon apa, baik langsung maupun tak langsung, yang sudah mereka berikan sepantasnya kepada Subadir Kete, Laode Muhammad Urfan, Achmad Zain, Irianto Ibrahim, Syaifuddin Gani, dan yang lain-lain itu? Respon apa? Respon apa pula dari para kepala dinas atau kepala kantor yang begitu semangat mempegawainegerikan seorang atlet yang hanya kebetulan jago kandang, hanya kepentingan untuk kebanggaan kantornya sebagai jago kandang? Benar-benar sangat tidak adil, atlet hanya untuk kebanggaan kantor dipegawainegerikan diberi fasilitas, sastrawan berjasa menorehkan emas nasional tak dipandang sebelah mata.
Kepada khalayak pembaca, maafkan kalau tulisan ini sengaja saya biarkan terlalu semangat! Sebab, hanya dengan modal terlalu semangat itulah sastrawan yang miskin harta dan miskin perhatian di Sulawesi Tenggara ini masih bisa berbuat yang berarti buat daerahnya. Mudah-mudahan tulisan yang terlalu semangat ini dapat mengusik perhatian para pemimpin di daerah ini. Tidakkah perubahan itu selalu dimulai dari ”perubahan cara pandang,” dan apakah tidak sebaiknya cara pandang dan cara tindak kita terhadap ”sastrawan” dan ”olahragawan” selama ini perlu ditinjau kembali. Bukankah pelajaran besar buat generasi kita, kalau seorang pemimpin berani berlapang dada mengakui dan bersedia mengubah sikap dan tindakannya yang keliru terhadap anak-anaknya yang tengah berjuang menunjukkan eksistensi dirinya baik sebagai ”olahragawan” maupun sebagai ”sastrawan”.
Kepada ”sastrawan Sultra” saya hanya bisa berteriak lagi ”Semangatlah!” agar sejarah tidak menenggelamkan kita sebagai pahlawan yang kesepian.
*) Penulis adalah Dosen pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Universitas Haluoleo
Dijumput dari: http://sastrakendarisultra.blogspot.com/2010/11/sastrawan-daerah-sulawesi-tenggara.html

Godaan untuk Sastra Jawa


Godaan untuk Sastra Jawa
Posted by PuJa on June 4, 2012
Bandung Mawardi
Solo Pos, 7 Mei 2oo9

Kumpulan pertanyaan: Apa sastra Jawa? Apa sastra berbahasa Jawa? Apa sastra Jawa dengan aksara Jawa? Apa sastra Jawa dengan aksara Latin? Apa sastra Jawa dengan bahasa Indonesia? Kumpulan pertanyaan pelik itu susah menemukan jawaban jika sekadar masuk melalui pintu tunggal. Jawaban mesti masuk melalui sekian pintu untuk pengajuan argumentasi yang mengandung persamaan, kemiripan, atau pertentangan. Ketegangan mencari dan menemukan jawaban adalah konsekuensi dari ikhtiar mengurusi “Jawa” dalam cakupan aksara, bahasa, sastra, kultural, tradisi, modernitas, atau lokalitas.
Pemunculan definisi tentang sastra Jawa secara paripurna tentu jadi tanda titik yang susah dirayakan oleh publik. Proses kelahiran dan pertumbuhan sastra Jawa mengandung pertanyaan dan jawaban yang rentan mengalami penerimaan utuh atau bantahan. Penerimaan terjadi dengan jalan sebaran dan pewarisan yang terbentuk dengan konvensi-konvensi mengacu pada sumber yang dipercayai atau dibakukan. Bantahan adalah kritik yang menginginkan ada proses perubahan tanpa harus melakukan penolakan mutlak untuk mematikan atau menghilangkan.
Lembaran-lembaran lama dalam kesusastraan Jawa memiliki catatan-catatan tentang kehidupan sastra Jawa dengan aksara Jawa. Para pujangga dengan tekun dan khusuk menganggit sastra dalam pelbagai bentuk: babad, kakawin, atau suluk. Teks-teks sastra itu memiliki kedudukan dalam situasi zaman yang memungkinkan terjadi resepsi dari publik terhadap kerja kultural para pujangga. Aksara Jawa jadi pilihan untuk memberi bentuk dan ruh dalam penulisan sastra. Aksara Jawa adalah tanda dari proses kehidupan sastra Jawa dengan pertaruhan imajinasi, pemikiran, dan ekspresi yang sadar zaman.
Pewarisan sastra Jawa dengan aksara Jawa terus mendapati godaan dari alur zaman yang membuat Jawa sebagai ruang terbuka untuk sebaran pengaruh dari India, Cina, Arab, dan Barat. Pengaruh-pengaruh itu muncul dalam proses kelahiran atau pertumbuhan sastra Jawa. Peradaban India paling kentara menjadi prolog dari sastra Jawa yang menerima pengaruh mulai dari aksara sampai cerita. Peradaban Arab dan Cina pun memberi godaan untuk penentuan nasib sastra Jawa dalam pilihan bentuk dan cara pengisahan. Kehadiran peradaban Barat jadi kunci atas perubahan-perubahan besar yang tampak sistematis dan sadar pada pembakuan untuk menentukan nasib sastra Jawa.
Catatan sejarah sastra Jawa mengalami perubahan mengejutkan pada awal abad XX dengan pola interaksi dan ketegangan. Sastra Jawa menemukan godaan untuk melakukan peralihan dari pilihan aksara Jawa ke aksara latin yang diusung dan “dipaksakan” oleh kolonial atas nama peradaban Barat yang modern. Godaan itu diimbuhi dengan pengaruh-pengaruh dari penerjemahan teks-teks sastra dari Barat ke dalam bahasa Jawa dengan aksara Latin. Hasil sastra dari pengarang Cina keturunan pun memberi pengaruh atas perayaan bahasa Melayu (pasar) dengan aksara Latin. Godaan semakin kentara dengan model penerbitan buku, pers, dan selebaran yang memakai aksara Latin untuk bahasa Belanda, Melayu, atau Jawa.
Lakon godaan untuk sastra Jawa itu jadi tanda seru untuk definisi yang tidak paripurna dan fakta atas kodra perubahan. Kolonial dan kalangan intelektual-pujangga pribumi sadar bahwa modernitas dan pembaratan jadi pilihan tanpa tawaran untuk penolakan mutlak. Sastra Jawa pada masa itu jadi studi yang diurusi oleh para pakar dari Belanda dan pakar-pakar dari Jawa sendiri dengan desain perubahan. Perubahan secara sistematis atas sastra Jawa dengan aksara Latin dan penerimaan genre sastra modern dari Barat terjadi karena ada faktor-faktor yang ampuh. Pendirian dan opersionalisasi institusi kultural, penerbitan, sekolah, dan pers oleh kolonial dan kaum pribumi menjadi penentu atas perubahan lakon sastra Jawa.
Sejak itu sastra Jawa memakai aksara Latin dan perlahan meninggalkan aksara Jawa. Balai Pustaka dan penerbitan-penerbitan swasta dengan gairah menerbitakn edisi sastra Jawa dengan aksara Latin dan memberi porsi kecil untuk edisi dalam aksara Jawa. Lakon sastra Jawa lalu dengan genit menerima dan meniru bentuk-bentuk sastra modern yang diolah dalam aksara Jawa Latin. Perayaan sastra Jawa modern mulai dilakukan dengan percampuran optimisme dan pesimisme ketika desain kolonial dan otoritas para pakar bahasa dan sastra Jawa jadi penentu arah yang susah diimbangi.
Sapardi Djoko Damono (2001) menjelaskan aksara Latin itu dari Barat. Penerimaan membuat sastra Jawa mesti juga menerima pengaruh terhadap kiblat Barat. Pengarang Jawa mulai meninggalkan bentuk babad, kakawin, atau suluk lalu memilih menulis puisi, cerpen, atau novel. Proses ini jadi fakta sastra Jawa modern yang memiliki pola pewarisan dan sambungan-sambungan konvensi sampai hari ini. Pertumbuhan sastra Jawa modern ini tentu membuat definisi sastra Jawa mengalami perubahan dari definisi masa lalu. Sastra Jawa modern lalu jadi tanya yang mesti mendapati jawaban tak usai. Publik yang percaya bahwa definisi itu tak mungkin berubah lagi jadi tanda bahwa sastra Jawa mandeg.
Pengarang sastra Jawa modern gairah dan suntuk melakukan eksplorasi dalam bentuk-bentuk sastra modern dengan pengakuan bahwa itu sastra Jawa. Legitimasi itu memakai argumen bahwa sastra Jawa tentu memakai bahasa Jawa. Kunci dari sastra Jawa adalah bahasa Jawa dengan aksara Latin? Sastra Jawa adalah puisi, cerpen, dan novel? Sastra Jawa adalah sastra dengan kisah detektif, horor, dan panglipur wuyung? Bahasa Jawa adalah takdir atau fakta absolut untuk sastra Jawa modern?
Pertumbuhan sastra Jawa modern sejak 1920-an mengalami persaingan dengan sastra Indonesia modern. Persaingan itu menimbulkan efek positif dan negatif untuk menentukan nasib sastra Jawa dalam bayang-bayang kuasa kolonial dan penerimaan publik pembaca. Gambaran tentang nasib sastra Jawa itu terus mengalami pertumbuhan pasang surut dalam penerapan politik kebudayaan oleh kolonial dan pemerintahan Republik Indonesia yang kurang memberi pemihakan terhadap bahasa dan sastra Jawa.
George Quinn (1995) dalam buku The Novel in Javanese atau Novel Berbahasa Jawa secara eksplisit tidak lekas mengatakan itu sebagai studi sastra Jawa. Studi ini dengan gambalang memberi gambaran historis dan nasib sastra Jawa modern. Quinn menemukan ada ambivalensi dalam proses pertumbuhan novel dengan bahasa Jawa. Bentuk novel itu jadi representasi yang mungkin dialami juga oleh puisi dan cerpen dalam bahasa Jawa. Novel adalah bentuk sastra Barat. Penulisan novel dalam bahasa Jawa jadi fakta sastra Jawa modern yang terbuka untuk menerima pengaruh asing atau melakukan perubahan.
Ambivalensi tampak pada para pengarang yang memiliki akar Jawa dalam menulis teks sastra. Pengarang-pengarang yang menulis dengan bahasa Jawa dengan klaim normatif menganggap teks sastra yang dihasilkan adalah sastra Jawa. Novel, puisi, atau cerpen yang ditulis terkadang sedikit mengatakan Jawa tapi suntuk dengan kisah-kisah detektif atau panglipur wuyung. Bahasa mungkinkah tetap jadi harga mati untuk sastra Jawa modern? Berapa teks sastra Jawa modern yang sanggup dan intensif mengatakan Jawa? Pemberian harga mati terhadap bahasa Jawa mungkin jadi kontradiksi jika tidak ada ekplorasi atas Jawa yang historis dan Jawa yang memiliki kodrat perubahan.
Pengarang-pengarang dengan akar Jawa yang menulis teks sastra untuk mengatakan Jawa dalam bahasa Indonesia justru memberi bukti untuk kodrat perubahan sastra Jawa modern. Teks-teks sastra itu tidak sekadar sastra dengan unsur lokalitas tapi ancangan untuk klaim “sastra Jawa” yang hadir dalam bentuk dan subtansi. Pilihan memakai bahasa Indonesia adalah pertaruhan untuk komunikasi dan jawaban atas ambivalensi kultural dan bahasa. Wacana tentang teks-teks sastra dengan bahasa Indonesia dari Romo Mangunwijaya, Umar Kayam, Linus Suryadi AG, atau Arswendo Atmowiloto sebagai “sastra Jawa” adalah godaan untuk nasib sastra Jawa modern. Godaan itu ingin menemukan dalil untuk tetap percaya pada definisi paripurna atau membuka kemungkinan untuk perubahan. Lakon perubahan sastra Jawa tentu mengandung risiko dan konsekuensi! Begitu.
Dijumput dari: http://kabutinstitut.blogspot.com/2009/05/godaan-untuk-sastra-jawa.html

Tuesday, 5 June 2012

Rumah di Tepi Lumpur (MENGENANG TRAGEDI LUMPUR LAPINDO)


Rumah di Tepi Lumpur (MENGENANG TRAGEDI LUMPUR LAPINDO)
Posted by PuJa on June 2, 2012
Yusri Fajar
_Koran Surya, 2008

Senja berhias debu beterbangan dari jalanan yang tergilas roda kendaraan. Beberapa truk berjalan beriringan, datang silih berganti memuntahkan tanah keras bercampur batu di atas tanggul penahan luapan lumpur. Karman, lelaki berumur empat puluh lima tahun, menatap hamparan mega dari atas salah satu sudut tanggul yang memanjang. Telah setahun rumahnya tenggelam dalam lumpur yang keluar deras dari perut bumi. Rumah hasil jerih payahnya itu kini tinggal kenangan.
Karman datang ke atas tanggul itu bukan untuk menangisi nasib. Ia hanya ingin mengenang hari, tanggal dan bulan ketika dulu batu pondasi rumahnya diletakkan pertama kali. Semangat perjuangan saat rumah itu didirikan masih membekas dan terus berkobar. Karman ingat bagaimana dulu ia harus pergi ke bank untuk meminjam sejumlah uang untuk membangun rumah secara bertahap hingga empat bulan. Tapi belum lunas cicilan hutangnya ke bank, kini rumahnya terbenam lumpur. Rasa marah menggumpal dalam hatinya. Ia tahu pengeboran yang bocor adalah biang keladinya. Tapi ia tak ingin larut dalam dendam dan kesedihan. Kini harapan mendapatkan ganti rugi dan segera membawa istri dan kedua anaknya pindah dari lokasi pengungsian yang lekat dalam pikiran Karman.
Waktu Karman berangkat dari lokasi pengungsian menuju tanggul lumpur, ia melihat kedua anak lelakinya yang masih SD sedang bermain bola bersama teman-temannya. Dulu mereka biasanya bermain bola di tanah kosong dekat rumahnya yang kini terkubur lumpur. Tapi sekarang permainan dilakukan di halaman pasar tempat mengungsi. Mereka juga harus rela pindah ke sekolah dekat pengungsian karena gedung sekolah dasar di desanya lenyap.
Karman masih tertegun menatap lautan lumpur. Ia teringat orang tuanya yang telah almarhum. Kuburan mereka di pinggiran desa juga tak luput dari terjangan lumpur. Keluarganya kini tak bisa lagi berziarah ke makam kedua orang tua yang telah membesarkannya. Karman juga memperkirakan nisan petanda kubur orang tuanya mungkin telah rusak atau hilang karena lumpur.
Karman berandai-andai dan bertanya. Jika lumpur bisa surut apakah ia masih akan melihat rumahnya kokoh berdiri dan menyisakan beberapa bagian bangunannya yang tentu menyimpan jejak sejarah hidup keluarganya? Andai lumpur sirna apakah ia masih bisa mengenali lokasi kuburan kedua orang tuanya untuk kemudian dengan khusyu menaburkan bunga di atasnya. Karman menerawang. Dilihatnya asap tebal masih mengepul dari pusat semburan. Lumpur masih terus menyembur. Senja terus merayap. Maghrib segera tiba. Dari atas tanggul, Karman juga bertanya dalam hati apa secercah asa untuk membangun rumah baru masih tersisa.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil dari arah belakang. Karman tersentak dari diam.
“Pak, ibu minta bapak kembali ke pengungsian,”teriak anak pertama Karman sambil berjalan mendekat.
“Ada apa? Sebentar lagi bapak juga pulang.”
“ Ibu nafasnya sesak, dari tadi batuk-batuk.”
“Pasti sakitnya kambuh lagi.”
“Makanya, pak, kita pindah dari pengungsian. Bangun rumah lagi, pak. Biar ibu, aku, dan adik tidak kedinginan kalau malam.”
“Bapak belum punya uang, nak. Sabar. Nanti kalau uang ganti rugi sudah diberikan kita akan bikin rumah lagi. Ayo kita pulang. Nanti ibu menunggu.”
Karman dan anaknya berjalan menyusuri tanggul lumpur kemudian menuruni tangga dari batu. Wanti, istri Karman memang sering sakit setelah tinggal di pengungsian. Kehidupan yang jauh dari bersih dan memadai serta beban pikiran telah membuat wanti sakit. Sesampai di pengungsian Karman menghampiri Wanti yang tengah berbaring di atas kasur tua yang terletak di atas lantai.
“Aku bawa ke dokter di posko, ya? Biar nanti diperiksa dan diberi obat,” kata Karman sambil mengusap kening Wanti.
“Nggak usah. Nanti juga sembuh. Mungkin tadi siang aku kena debu sehingga batuk dan sedikit sesak.Tolong buatkan aku teh hangat saja”
“Kamu harus banyak istirahat. Jangan terlalu capek dan kena angin berdebu,” kata Karman sambil menatap wajah Wanti yang sedikit pucat.
Karman lalu berdiri dan bermaksud membuatkan teh. Tapi belum sampai Karman menyibak kelambu, Wanti bertanya,” Kapan kita akan pindah dari sini?” Suara Wanti agak terdengar parau tapi ia melanjutkan bicara. “Lambat laun aku tidak tega melihat anak-anak kita hidup begini. Mereka terus-menerus protes karena dulu biasanya belajar di rumah.”
“Aku juga kasihan mereka, “Karman terdiam sebentar. “Mudah-mudahan kita bisa segera pindah. Besok kan jadwal pembagian ganti rugi.”
“Benar besok pembagiannya? Nanti ditunda-tunda lagi. Berapa kali kita dibohongi. Sampai lelah. Sudah berkali-kali menuntut tapi tetap nihil hasilnya. Kita telah berbulan-bulan terlunta.”
“Sabar,” kata Karman datar
“Justru kesabaran itu yang sering dimanfaatkan orang.”
“Mudah-mudahan besok ganti rugi akan diberikan. Setelah ada dana, kita segera pikirkan untuk memiliki tempat tinggal permanen. Jangan terus marah dan bersedih. Nanti kondisimu malah tidak kunjung membaik. Aku buatkan teh dulu ya. Setelah itu aku akan ke posko, mengambil jatah makan untuk kita dan anak-anak.”
“Jangan lupa diperiksa dulu sebelum dibawa pulang. Takut nasi dan lauknya sudah basi. Seperti kemarin.”
Karman bergegas ke belakang memasak air dan membuatkan teh untuk Wanti. Malam mulai merayap. Istri dan kedua anak Karman memang tak henti menanyakan waktu pindah dari pengungsian. Sementara Karman tak mampu berbuat banyak. Meski bersama korban lumpur lainnya ia telah sampai ke ibu kota menemui para pejabat negara untuk menggantungkan asa, namun harapannya masih belum kunjung tiba.
***
Matahari telah tinggi saat Karman berada dalam antrian panjang pengambilan ganti rugi. Deru angin menabur-naburkan debu ke pepohonan yang telah mengering di sisi-sisi tanggul lumpur. Penantian Karman yang lama tak sia-sia. Akhirnya ia mendapatkan ganti rugi juga. Hatinya cukup lega. Sambil berjalan pulang Karman membayangkan sebuah rumah yang sederhana berhias senyum istri dan kedua anaknya. Sampai di lokasi mengungsi Karman tidak melihat istrinya di atas tempat tidur. Kedua anaknya juga tidak ada. Melihat tas dan seragam sekolah yang tergeletak di atas tikar di depan kelambu ia yakin kedua anaknya telah pulang sekolah.
Lalu kemana istri dan kedua anaknya? Karman bertanya-tanya. Teringat Wanti, istrinya, yang semalam masih sakit, ia bergegas keluar memeriksa sudut-sudut lokasi pengungsian. Tak juga Karman menemukan istri dan anaknya. Ia bertanya kepada beberapa pengungsi lain tapi mereka tidak tahu. Kegelisahan Karman menjadi-jadi. Tapi tak lama karena beberapa saat kemudian ia melihat Wanti, dan kedua anaknya berjalan melewati gerbang pasar tempat mereka mengungsi.
“Aku baru membelikan anak-anak kue di toko depan pasar. Tadi para tetangga memberitahu kalau ganti rugi telah diberikan semua.”
“Ya, benar. Tapi belum seratus persen,” jawab Karman sambil mengajak wanti dan kedua anak mereka masuk dalam bilik tempat mereka mengungsi.
“Kamu sudah sehat?”
“Ya. Sudah membaik. Sepertinya harapan kita untuk mendirikan rumah secara perlahan akan jadi kenyataan.”
“Tapi kapan, pak?” anak mereka yang nomor dua bertanya.
“Secepatnya, nak.” Jawab Karman seraya mengelus kepala bocah kelas enam SD itu.
Siang semakin panas. Setelah memperoleh jatah makan, Karman, Wanti dan kedua anak mereka tampak melahap makanan bersama-sama. Tak lama kemudian kedua anak mereka pamit bermain sepak bola. Karman dan Wanti tampak duduk di dalam bilik pengungsian. Mereka berdiskusi tentang rencana mendirikan rumah. Karman ingin mempunyai rumah yang lokasinya masih dekat dengan kota. Tak jauh dari pusat keramaian. Ia ingin memulai lagi usaha berjualan pakaian yang telah lama berhenti sejak musibah lumpur.
Sementara Wanti ingin membangun rumah di atas tanah pemberian orang tuanya di pinggiran kota. Ia ingin menjauh dari lokasi-lokasi pengeboran dan daerah pusat pengembangan kota. Ia ingin menghapus trauma atas musibah yang menimpa keluarganya. Dulu Karman dan Wanti sebenarnya ingin menempati tanah itu. Tapi karena lokasinya sangat jauh dari tempat Karman berjualan, mereka memutuskan membangun rumah di lokasi yang sekarang terendam lumpur.
Lokasi tanah pemberian orang tua Wanti itu masih sepi. Di sisinya nampak hamparan sawah yang membentang luas.
“Kamu mantap tinggal di atas tanah itu?” tanya Karman pada Wanti.
“Mantap. Daripada mengungsi? Dan lagi uang ganti rugi kan belum semua diberikan. Hanya cukup untuk dana awal membangun dan melunasi cicilan hutang kita yang dulu. Mana mungkin membeli tanah lagi,” kata Wanti berusaha meyakinkan. Melihat Karman terdiam, Wanti bertanya,”Bagaimana? Bukankah kamu ingin secepatnya membawaku dan anak-anak pindah dari pengungsian?”
Karman tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Matanya menerawang teringat istrinya yang berkali-kali menangis ketika lumpur mulai menenggelamkan rumah mereka. Terbayang juga anaknya yang lapar di pengungsian karena bantuan makanan yang belum tiba.
Yusri Fajar
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/yusri-fajar/rumah-di-tepi-lumpur-mengenang-tragedi-lumpur-lapindo/10150194577803061

Bumi dan Langit Melindungiku


Bumi dan Langit Melindungiku
Posted by PuJa on June 2, 2012
Sunaryono Basuki Ks
http://www.suarakarya-online.com/

Wayan berjalan tersaruk-saruk di tanah becek menuju tanah tegalan yang ditumbuhi batang-batang kelapa yang sudah tua buahnya. Walau kakinya terasa sakit, dia terus melangkah sebab ingin segera memanjat batang-batang kelapa itu dan memetik buahnya. Sudah waktunya dia memetik buah kelapa, dan hasilnya harus segea dijual dan uang penjualannya diserahkan pada Gusti Made yang tinggal di rumah besar di kota. Hampir tidak pernah Gusti Made datang menengok kebun kelapanya, dan mungkin juga tak peduli mengenai hal itu. Anak-anak Gusti Made juga tak ada yang tinggal di kota itu, kebanyakan sudah merantau ke Surabaya dan Jakarta. Yang paling dekat tinggal di Denpasar.
Di antara batang-batang kelapa itu dia menanam batang pisang, puluhan batang jumlahnya, atau mungkin ratusan, dan batang pisang itu gampang tumbuh dan tak perlu dipelihara. Setelah dipetik buahnya yang sudah tua, batang pisang dirobohkan, dan batang yang baru sudah siap bergegas tumbuh untuk memberikan buah. Bunganya pun laku dijual, dimasak menjadi sayur yang digemari. Namun dia sering memberikan bunga itu pada tetangga-tetangganya yang memerlukannya.
Bilamana tiba musim panen seperti ini, para pemetik datang tanpa mendapat komando, seolah mereka sudah tahu kapan saatnya memanen butir kelapa. Bukan itu saja, anak-anak dari sekitar situ ikut berdatangan dan saat butir kelapa itu jatuh ke tanah, mereka dengan memelas minta sebutir, dan tentu saja dia memberikannya pada mereka. Entah berapa puluh butir kelapa yang berpindah ke tangan mereka, namun dari ribuan butir kelapa, jumlah itu sepertinya memang harus diikhlaskan untuk diberikan pada mereka. Terkadang ada yang minta setandan pisang yang sudah tua, dan dia tak bisa menolak permintaan itu.
Seusai saat panen dan butir-butir kelapa telah terkumpul, seseorang yang datang dengan sebuah truk menghitung hasil panen itu dan menyerahkan sejumlah uang pada Wayan. Para pemetik kelapanya sudah bersiap untuk menerima upahnya. Wayan masih menyisihkan beberapa butir kelapa yang akan diolah istrinya menjadi minyak goreng.
Disamping itu, mereka masing-masing telah membawa beberapa butir kelapa dan beberapa sisir pisang. Di rumah Gusti Made di kota, Wayan duduk bersimpuh di lantai menikmati secangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas dan sepiring pisang goreng. Dia telah menyerahkan hasil penjualan kepala dan pisang, dan membawa pula setandan pisang yang sudah hampir masak, dan tiga botol minak goreng yang dibuat dari santan kelapa murni. Sambil mengepulkan asap rokoknya, Gusti Made berkata sambil tersenyum:
“Kok hanya segini, Yan?”
“Maaf Gusti. Sudah dipotong ongkos petik sepuluh orang.”
“Oh, gitu.”
Nampaknya Gusti Made tidak bermaksud menuntut mendapat bagian lebih banyak. Dia saat masih muda sering ikut menangani pemetikan kelapanya. Dan dia juga tahu bahwa memetik kelapa berarti membagi-bagi rejeki dengan orang sedesanya. Kelapa adalah milik bersama orang-orang selingkungannya. Dia juga tahu bahwa di luar musim panen pun mereka kadang memanjat pohon kelapa dan memetik beberapa butir untuk keperluan sehari-hari. Apalagi Wayan pasti tahu kebiasaan itu. Belum lagi dengan tanaman pisang yang sering “tidak sengaja” dirobohkan dan diambil bunganya, kemudian diambil buahnya.
Sehari-hari Wayan menjaga kebun kelapa luas itu, empat hektar luasnya bersama keluarganya. Kebun kelapa itu terbentang antara tepi jalan raya yang membujur ke timur-barat sampai menjilat bibir pantai di utara. Sering Wayan berjalan di bawah batang-batang kelapa itu sampai ke pantai dan di sana dilihatnya pantai yang berpasir lembut, dan ombak di laut membiru yang tenang. Beberepa perahu nelayan nampak di laut agak ke tengah.
Istri dan dua orang anaknya berteduh di bawah gubuk yang dibangun dengan dinding batako setinggi orang dna bagian atasnya dinding gedek, dan atapnya daun kelapa yang sudah tua. Tanah mereka mungkin seluas lima are ( 500 m2) terpisah dari ladang kelapa dengan jalan raya. Tanah mereka terletak di sebelah selatan jalan raya. Eantah, katanya dulu Gusti Made punya tanah sekitar dua hektar di situ, namun semuanya sudah terjual kecuali tanah yang ditempati Wayan. Wilayah itu sudah berkembang menjadi sebuah desa yang makin meluas. Terkadang seorag dua turis manca negara melintas di desa itu dengan mengendarai sepeda. Mungkin mereka menginap dihotel besar beberapa kilomeyer jauhnya ke arah barat dari desa itu.
Istrinya memanfaatkan tanah yang tersisa dengan membuat kolam ikan dan menanam sayuran, sekedar untuk mereka makan sehari-hari. Di atas tanah itu juga tumbuh tiga atau empat batang kelapa yang sudah dapat dipetik buahnya.
Selain itu, istri Wayan mengolah pisang menjadi kripik pisang. Wayan sengaja menyisihkan sejumlah batang pisang untuk keperluan dirinya sendiri, namun tidak mencolok mengurangi jatah pisang yang harus dia setor pada Gusti Made. Untuk jenis pisang manis, diunduh ketika sudah tua benar, lalu dikupas dan ditaruh di atas tampah, dilapisi dengan lembaran plastik agar tidak dicari lalat. Tampah-tampah itu dijemur beberapa hari sampai pisang-pisang itu menjadi pisang salai.
Sesekali seseorang dari kota datang dan membeli kripik pisang dan pisang salai itu untuk dijual kembali di kota dengan harga berlipat. Walaupun Wayan tahu makanan itu mahal bila dijual di kota, dia tidak pernah berusaha menjualnya langsung ke kota. Andaikata saja dia tahu, dia dapat memasok toko kue dengan pisang salai dan kripik pisang, mungkin dia tertarik menjualnya ke kota.
“Ah, bagi-bagi rejeki,” katanya pada istrinya, dan setuju dengan pendapat itu. Mereka sudah bersyukur telah mendapat rejeki itu, dan tidak lupa memanjatkan doa setiap hari di tempat sembahyang kecil di sudut pekarangan rumah mereka.
Musim petik sudah tiba kembali. Kaki Wayan masih terseok-seok namun dia tetap datang ke tempat memetik. Bahkan dia kali ini ingin ikut memanjat batang kelapa. Setelah hujan, batang kelapa agak licin. Ketut salah seorang pemetik memperingatkan:
“Hati-hati Yan. Belik.”
Wayan hanya tersenyum dan mulai memanjat pohon yang dipilihnya. Sabit diselipkan di pinggangnya dan dengan cekatan dia menapak pada batang kelapa yang sudah dicukil untuk tempat kaki berpijak. Namun, malang tak dapat ditolak.
Belum sampai setengah tinggi batang, kaki Wayan tergelincir, dia kehilangan keseimbangan dan meluncur ke bawah. Untung sabitnya jatuh lebih dahulu jadi tidak melukai dirinya dan dia jatuh berdebum ke tanah. Teman-temannya berlarian ke arah Wayan jatuh, lalu menggotongnya pulang. Wayan tak mampu bangkit, dan mereka membawanya ke dukun ahli patah tulang. Di rumah dukun, tubuh Wayan dibungkus dengan pasir hangat dan dia harus berbaring diam selama beberapa hari. Istri Wayan hanya bisa menangis. Wayan berbisiik lirih:
“Coba kamu lapor ke Gusti Made.”
Para pemetik kelapa itu meneruskan pekerjaannya sampai selesai, sampai truk yang mengambil kelapa itu datang dan sampai ongkos memetik kelapa dibagikan dan sampai mereka semua pergi membawa pisang, beberapa butir kelapa dan uang tunai untuk membeli beras.
Gusti Made tidak segera datang menengok sampai Wayan sembuh, bisa berjalan walau harus dibantu dengan tongkat. Hari itu sebuah mobil sedan datang dan diparkir di depan gubuk Wayan. Turun dari mobil Gusti Made dan tiga orang lelaki berpakaian perlente, yang segera diperkenalkan pada Wayan yang menyambut mereka.
“Ini Pak Wayan, penyakap 2 tanahku,” katanya. Mereka hanya tersenyum dan mengangguk padanya. Tanpa basa basi, Gusti Made meminta Wayan mengantar para tamu itu berkeliling kebun kelapa sampai ke bibir pantai, dan mereka semua mengangguk-angguk, dan akhirnya Gusti Made berkata pada Wayan:
“Mereka membeli kebun kelapa kita.”
“Maksud Gusti Ajie? Saya harus keluar dari gubuk saya?”
“Oh, tidak. Nanti aku suruh urus surat-uratnya agar tanah itu resmi menjadi milikmu.”
Dalam hati Wayan bersyukur tidak kehilangan tempat tinggal yang sudah dia tempati semenjak dengan almarhum ayahnya dulu.
Dan, tak sampai beberapa lama, sejumlah batang kelapa ditebang, namun beberapa lagi yang masih muda dibiarkan tegak, bersama sebuah hotel yang terdiri dari pondok-pondok wisata yang indah.Di tengah-tengahnya dibangun sebuah kolam renang dengan air jernih membiru. Untunglah Wayan masih diberi pekerjaan sebagai tukang kebun. Wilayah itu sekarang ramai dikunjungi wisatawan asing.***
* Singaraja, 18-19 Maret 2012

Sudarto, Rasa Cintanya pada Gamelan

Sudarto, Rasa Cintanya pada Gamelan
Posted by PuJa on June 2, 2012
Padli Ramdan
http://www.lampungpost.com/

TIDAK ada darah seni yang mengalir di tubuh Sudarto. Dia pun tidak begitu mahir memainkan alat musik Jawa.
Berawal dari kecintaan pada seni karawitan, dia membuat sendiri alat musik jawa, kemudian mendirikan Paguyuban Seni Karawitan Ngesthi Budhoyo. Hampir semua alat musik yang digunakan dalam paguyuban adalah buatan Sudarto.
Sejak membentuk paguyuban seni tahun 1994, Sudarto membeli beberapa alat musik Jawa bekas. Alat musik itu tidak lengkap sehingga ditambah dengan buatan tangan sendiri. Mulai dari pemotongan kayu hingga penghalusan perunggu dikerjakan sendiri oleh mantan Kepala SMAN 2 Bandar Lampung ini.
Dia menyebut beberapa alat musik yang dibuat sendiri, seperti ketoksaron, demon, gender, dan slentem. ”Nadanya saya selaraskan sendiri,” kata dia.
Kini semua pemain di Paguyuban Ngesthi Budhoyo menggunakan alat musik yang dibuat oleh Sudarto. Dia mengakui memang ada beberapa teman yang membantu dalam pembuatan alat musik tersebut.
Menurut kakek dua cucu ini, kemampuannya dalam membuat alat musik karena didasari rasa cinta pada kesenian. Rasa cinta pada seni membuat dirinya paham untuk men-setting, nada alat musik Jawa. ”Saya sering dengar musik Jawa, jadi tahu bagaimana nadanya,” ujar Sudarto.
Uang yang dipakai untuk membuat alat kesenian berasal dari kantong pribadi Sudarto. Meskipun tidak sebagus alat musik perunggu yang asli, bunyi dan nada yang dihasilkan tetap merdu dan enak didengar. Buktinya paguyuban ini sering diminta tampil untuk mengisi acara perkawinan. ”April dan Juni mendatang kami sudah diminta untuk pentas di daerah,” kata dia.
Sudarto memang lahir dari keluarga Yogyakarta yang kental dengan kesenian Jawa, seperti wayang dan karawitan. Namum, dari pihak keluarganya tidak ada satu pun yang terlibat langsung dalam kesenian. Dia pun suka mendengarkan dan melihat kesenian Jawa.
Suami dari Suryatmi ini mengaku belajar kesenian secara autodidak, lewat buku, kaset, dan melihat pertunjukan kesenian secara langsung. Latar belakang pendidikan pun tidak berhubungan dengan seni. Dia menyelesaikan strata satu di FKIP Universitas Islam Indonesia (UII).
Bagi pria kelahiran 26 Agutus 1951 ini kesenian adalah obat stres. Lewat kesenianlah orang mengekspresikan diri. Stres disebabkan karena perasaaan tidak bisa diekspresikan.
Lewat seni, perasaan itu diekspresi. Sudarto masih terlihat segar bugar. Meskipun sudah pensiun dari dunia pendidikan, dia masih memiliki segudang aktivitas. Selain kesenian, masih aktif di kegiatan sosial, seperti pramuka.
Paguyuban seni yang dia pimpin masih rutin latihan setiap minggu di rumah Sudarto, di Jalan Nusa Indah I, Sukarame. Latihan yang dilakukan hingga pukul 01.00 ini bisa dihadiri ratusan anggota paguyuban. Beberapa tetangga sekitar rumahnya pun turut menyaksikan latihan karawitan yang dilakukan tiap malam Selasa ini.
Dia mengatakan seni bisa menjadi sarana orang untuk bersilaturahmi dan berkumpul. ”Siapa yang mau hanya kumpul ramai-ramai tidak ada kegiatan. Lewat seni karawitan dan wayang, orang pun tertarik duduk bersama sambil menikmati kesenian,” ujarnya.
Apa yang dilakukan Sudarto tidak lepas dari rasa untuk melestarikan seni dan budaya Jawa. Kesenian Jawa, lewat gamelannya, sudah diakui oleh dunia sehingga harus dilestarikan. ”Seni dan budaya merupakan bagian dari jati diri bangsa dan harus terus dirawat,” katanya.
Sudarto sebagai wakil dari kaum tua sudah melakukan aksi nyata untuk melestarikan karawitan dan wayang. Namun, langkah itu tidak diikuti kaum muda. Menurutnya, anak muda kurang tertarik pada kesenian Jawa. Anak muda tertarik pada musik Barat yang dia nilai instan dan tidak ada apa-apanya dengan musik tradisional Jawa.
Menurutnya, kesenian Jawa terus ada selama masih ada yang meminati. Orang yang tinggal di kota besar memang hanya berminat pada tari dan seni campursari. Sedangkan orang di daerah lebih memilih pertunjukan wayang kulit.
Sudah hampir semua kabupaten dan kota di Lampung dia kelilingi untuk menampilkan kesenian karawitan dan wayang. Terutama pada pemilihan gubernur tahun 2009, paguyuban dikontrak untuk tampil di beberapa daerah selama masa kampanye.
Sudarto memiliki keinginan agar seni dan budaya warga pendatang di Lampung bisa berkembang bersama dengan seni warga pribumi. Banyak sekali orang luar Lampung yang tinggal di Provinsi Sang Bumi Ruwa Jurai ini. Hal ini menjadi kelebihan bahwa Lampung bisa menjadi Indonesia mini. Perpaduan antara seni pendatang dan seni pribumi akan menjadi perekat alat pembauran di masyarakat.
Meskipun tanpa bantuan anggaran dari pemerintah daerah, Sudarto masih tetap melestarikan paguyuban seninya. Seni akan makin meriah bila ada andil pemerintah, Dia berharap agar kesenian Jawa bisa diajarkan di sekolah-sekolah.
Muridlah yang nantinya memilih untuk mendalami kesenian yang sesuai dengan keinginannya. Seni sangat universal dan tidak dibedakan mana Jawa dan bukan Jawa. ”Syukur-syukur bila semua kesenian bisa diajarkan di sekolah,” kata Sudarto.
11 March 2012

Merayu Mahasiswa lewat Tetabuh Gamelan


Merayu Mahasiswa lewat Tetabuh Gamelan
Posted by PuJa on June 2, 2012
Binti Quryatul Masruroh *
http://surabaya.tribunnews.com/

Jelang petang di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Surabaya. Ketika semua orang disibukkan dengan aktivitasnya, kuliah, rapat keorganisasian, bersantai di kantin, pulang karena lelah mungkin, dari dalam ruang perkuliahan sayup-sayup terdengar rangkaian musik gamelan Jawa. Sungguh hal yang tidak biasa!
Dari balik pintu masuk fakultas, tampak pertunjukan seni gamelan digelar badan semi otonom FIB, Pakar Sajen. Di atas selembar tikar yang digelar di lantai, satu set gamelan Jawa dijajar rapi, lengkap dengan para niyaga (penabuh), lengkap dengan sindennya. Pertunjukan dimaksudkan mengenalkan karawitan sekaligus mengenalkan anggota mereka dari mahasiswa angkatan termuda. Suguhan sore itu adalah kemahiran mereka.
Memang, tangan-tangan mereka belum selincah para ahli yang sering dijumpai di berbagai pertunjukan besar. Namun dari gurat wajah mereka dapat ditangkap kesungguhan dan semangat untuk bermain secara sempurna. Pertunjukan semakin terlihat iramanya ketika para pemain diganti oleh mahasiswa angkatan lama. Permainan mereka terlihat lebih matang, pukulan gamelan lebih mantab, cengkok sang sindennya pun terdengar lebih memiliki nada dan terarah.
Sungguh, perpaduan musik yang sangat kalem, santun, sekaligus unik. Perpaduan antara suara gong, kenong, kendang, bonang, peking, dan masih beberapa macam yang lainnya. Berada di tengah mereka, bisa menikmatinya, kala itu penonton terasa berada di daerah terpencil yang sangat melekat dengan kebudayaan lokal dan nilai kejawen.
Yang paling mencuri perhatian mata adalah ketiga sinden yang duduk simpuh dideret paling depan dengan lenggak-lenggik suara dan gerak tubuh serta ekspresi mimik dan cengkok suara yang sedikit genit menggoda, membuat hati ikut mengikuti cengkok nada mereka. Perpaduan itu bisa jadi akan tambah lengkap jika dibalut dengan kebaya yang mengidentikkan sosok perempuan Jawa seutuhnya.
*) Mahasiswi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya. /15 Mei 2012

Sastra yang Menumpang pada Bibir & Tubuh


Sastra yang Menumpang pada Bibir & Tubuh
Posted by PuJa on June 2, 2012
Abdul Aziz Rasjid
_Minggu Pagi, No 09 TH 65, I Juni 2012

Sejak awal, Wage Tegoeh Wijono menarik perhatian saya dengan kepiawaiannya melakukan pembacaan teks sastra di atas panggung. Ia pandai memadukan beragam elemen artistik: mulai dari pertautan emosi dan pesan teks, memadukan warna-warna vokal sampai kemungkinan gerak di antara sorot cahaya lampu dan properties panggung.
Wage, begitulah ia akrab disapa, sehari-hari berkeliling mengayuh sepeda untuk menawarkan jasa sol sepatu di daerah Purwokerto. Ayah dari lima anak ini secara fisik berambut gondrong, berkulit coklat, juga memelihara kumis. Parasnya sepintas mirip penyair Leon Agusta, yang pernah menjelaskan istilah puisi auditorium pada Temu Sastra 82 di Dewan Kesenian Jakarta sebagai puisi yang ditulis dengan kesadaran komunikasi dan bukan semata-mata kebutuhan berekspresi. Dilatar belakangi kesadaran komunikasi itulah, Wage mengembangkan kesenangan membaca teks sastra tak hanya dalam hati, tapi memilih melafalkannya untuk dinikmati bersama khalayak ramai.
Momen perkenalan saya dengan Wage, mula-mula berlatar di halaman kantor Dewan Kesenian Kabupaten Banyumas. Di antara cahaya lampu sorot dan penataan panggung yang didesain untuk mengenang kematian penyair Rendra, ia membacakan puisi “Rick dari Corona” dengan memainkan dua vokal ?pria dan perempuan? yang berdialog dengan irama ceplas-ceplos untuk mendeskripsikan kegelisahan warga akar rumput di New York, Amerika.
Sedang pertemuan terakhir saya, terjadi beberapa bulan silam dalam acara pembacaan esai-esai jurnalis Uruguay bernama Eduardo Galeano yang diadakan salah satu BEM Fakultas Sastra. Malam itu, Wage tampil membacakan esai berjudul “Lima Perempuan Perkasa” yang diterjemahkan Halim HD dari buku Century of the Wind. Saya masih teringat, mengawali pembacaannya ia muncul di tengah penonton, berkata lantang bahwa musuh utama yang dipelihara oleh banyak manusia adalah ketakutan. Dengan gesture yang kerap mengepalkan tangan, ia mengisahkan lima perempuan yang melakukan aksi mogok makan di malam Natal sebagai bentuk protes terhadap merajalelanya kelaparan di Bolivia. Aksi ini lantas menginsiprasi ribuan rakyat Bolivia untuk melakukan aksi serupa yang berkembang sebagai aksi mogok kerja dan memuncak dalam bentuk protes turun ke jalan.
Di akhir pembacaan, Wage dengan tegas mengucapkan ending yang menjelaskan bahwa lima perempuan itu berhasil menjatuhkan rejim diktator Bolivia. Ia pun merepetisi ending itu dengan mengajak penonton untuk ikut mengucapkan secara bersamaan. Jika repetisi diasumsikan untuk mempertegas adanya sesuatu yang penting, mungkin Wage bermaksud untuk menyebarkan sugesti pada penonton bahwa gerakan massa yang marah, kecewa dan lapar tak akan dapat dibendung oleh rezim sekuat apapun.
Metode pembacaan yang dilakukan oleh Wage, saya kira menghadirkan apa yang disebut Konstantin Stanilavsky dengan the Feeling of true Measure dimana teks didramatisasikan dengan kadar atau takaran yang benar. Pada teks “Lima Perempuan Perkasa” semisal, teks yang memuat kisah pergerakan perlawanan massal ia siasati dengan cara pembacaan secara massal pula, yaitu pelibatan suara serta emosi penonton sehingga suasana aksi massa dalam teks menjadi terwakilkan.
Teks Sastra & Mata
Di Indonesia, pembacaan teks sastra yang direpresentasi sebagai pertunjukan memang telah berkembang sedemikan rupa dan telah melahirkan bintang-bintang panggung sastra dengan ciri khas masing-masing. Penyair Leon Agusta dalam esai bertajuk “Konsepsi Kepenyairan” (terkumpul dalam Dua puluh Sastrawan Bicara. Sinar Harapan: 1984) pernah mendaftar nama-nama penyair yang berhasil meninggalkan kesan tertentu ketika berada di atas panggung: Menyaksikan Rendra sungguh menakjubkan, penampilan Taufiq Ismail memikat dan mengasyikkan, Darmanto Yatman santai dan pintar menggelitik, dan Sutardji Calzoum Bachri tampak bringas, penuh “terror” dan tenggelam dalam ekstase.
Tetapi batas dinding panggung yang memisahkan pembaca dan pendengar teks sastra pun didobrak. Adalah Wiji Thukul yang mendekatkan diri pada publik dari rumah ke rumah, warung ke restoran, kampus ke kampus dan berkeliling ke Solo, Bandung, Yogya, Jakarta, Surabaya sampai ke Korea dan Australia untuk ngamen puisi dengan memposisikan diri berada sejajar dengan para pendengar (Aku Ingin Jadi Peluru. Indonesiatera: 2004. h.219-220). Bahkan, teks sastra pun dalam perkembanganya berhubungan mesra dengan kesenian pop, semisal Bimbo dan Chrisye yang melantunkan puisi Taufiq Ismail.
Menurut pandangan Afrizal Malna dalam prolog Sesuatu Indonesia, Personifikasi Pembaca yang Tak Bersih (Bentang Budaya:2000), pembacaan teks sastra semacam itu telah melampui pagar teks itu sendiri sebagai teks yang “menyaksikan” kepada teks yang “disaksikan”. Otoritas kebebasan pembaca di depan teks tercetak berkurang banyak ketika ia harus menyaksikan teks sebagai tontonan. Posisi pembaca teks berkedudukan lebih penting daripada teks dan teks semakin riuh oleh banyaknya unsur pertunjukan yang mengelilinginya.
Keriuhan yang mengelilingi teks memang tak dapat dihindari. Sejak awal, teks sendiri tak hadir secara netral pada pembaca melainkan tampil dalam tradisi kanonisasi atau korpus teks yang dibentuk menurut ideologi tertentu, yang bergerak dengan cara-cara tertentu di seputar lingkungan lembaga pendidikan. Kadangkala pula ketertarikan pada teks juga dipengaruhi riwayat capaian penulis yang ditanggapi sebagai parameter kualitas teks. Walaupun teks tak hadir secara netral, tapi mata pembaca bertemu langsung dengan setiap kata dalam teks yang dihubungkan dengan kata lain yang telah atau pun belum tersedia dalam kamus suatu bahasa.
Pertemuan mata pembaca dengan setiap kata dalam teks inilah yang tak terjadi pada pembacaan teks sastra yang direpresentasi sebagai pertunjukkan. Peran mata dialihkan untuk menghayati gerak tubuh pembaca dan bekerja serempak dengan telinga yang mendengar pelafalan atau lantunan teks sastra. Uniknya, pergeseran juga terletak pada wilayah tafsir; jika teks sejatinya berpotensi didapat lewat penghayatan dari membaca berulang-ulang, maka pada pembacaan sastra, tafsir teks justru berada pada gesture dan cara pelafalan si pembaca teks.
Maka disinilah Feeling of true Measure berkedudukan penting. Dan Wage Tegoeh Wijono adalah contoh dari lingkungan saya tinggal, yang saya kira kerap berhasil mengeksplorasi teks sastra yang menumpang pada bibir dan tubuhnya untuk diolah dengan kadar atau takaran yang benar untuk memikat mata dan telinga penontonnya. Bukan hal aneh jika laki-laki yang sehari-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu ini berhasil melakukannya, karena selain intim dengan membaca karya sastra dalam aktivitas sehari-hari, pekerjaannya yang berhubungan dengan masyarakat umum menjadi modal berharga sebagai pembentuk kesadaran keberlisanannya.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/abdul-aziz-rasjid/sastra-yang-menumpang-pada-bibir-tubuh/10151027679672489?ref=notif&notif_t=note_tag

Kabar Duka dari Sorga Pustaka


Kabar Duka dari Sorga Pustaka
Posted by PuJa on June 2, 2012
Bandung Mawardi
Suara Merdeka, 24 April 2oo9

Museum Radya Pustaka di Solo mengalami petaka dan nestapa. Koleksi buku-buku kuno raib tanpa ada jejak untuk bisa ditemukan dan menaruhnya kembali di rak-rak dalam museum. Berita tentang kehilangan ini memang mengejutkan tapi juga ikut memberi kesan kecut ketika mengingat kasus-kasus kontroversial yang pernah terjadi di Museum Radya Pustaka. Pertanyaan dan curiga tentu membuat kasus ini jadi dilema yang mengundang keprihatinan dan kekhawatiran.
Museum yang didirikan pada 28 Oktober 1890 oleh Adipati Sosroningrat IV ketika masa pemerintahan Pakubuwono IX itu merupakan situs sejarah, sastra, dan budaya tertua di Indonesia. Jejak-jejak historis tentang Jawa didokumentasikan melalui pustaka untuk bisa mendapati apresiasi dari generasi ke generasi. Peran sebagai “sorga pustaka” justru mengalami pengabaian untuk perawatan dan apresiasi. Fakta itu membuat museum terpahamkan sebagai pekuburan untuk pustaka dan ruang historis Jawa yang sepi meski memiliki kisah-kisah monumental.
Museum yang terletak Jalan Slamet Riyadi Solo sejak 1 Januari 1913 itu seperti meratap dan merana. Kasus kehilangan buku adalah kasus kehilangan ruh karena museum itu khas dengan koleksi buku-buku kuno. Kisah museum sebagai lembaga ilmu pengetahuan dan kebudayaan pada masa lalu mulai menjadi lahan untuk tindakan-tindakan ternoda. Pihak pengelola museum belum bisa membuat keterangan komplit mengenai buku-buku kuno yang hilang itu kemungkinan untuk studi atau komiditi menggiurkan oleh para kolektor.
Pihak pengelola justru menduga bahwa buku-buku yang hilang itu kecil kemungkinan untuk diperjual-belikan tapi untuk ngangsu kawruh. Pihak-pihak yang meminjam atau membawa buku-buku kuno itu mungkin ingin melakukan alih bahasa ke Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris (Suara Merdeka, 23/4/2009). Dugaan itu agak lumrah tapi mengesankan ada fakta besar yang memprihatinkan. Selama ini pakar-pakar yang tekun mempelajari khazanah literatur Jawa memang orang asing. Ketekunan itu mengalahkan perhatian sarjana-sarjana atau para peneliti dari negeri sendiri.
Pihak pengelola pun menghimbau pada peminjam untuk lekas mengembalikan buku. Himbauan ini jadi indikasi bahwa ada buku-buku yang mungkin dipinjam tapi belum kembali dan belum bisa dipastikan kalau ada pencurian atau penghilangan secara sengaja. Daftar buku-buku kuno yang hilang: Warna-Warni Sinjang (4 jilid), Smaradhana, Kakawin Barathayudha, Bausastra (4 jilid), Primbon Mangka Prajan, Serat Ong Ilaheng, Serat Jayalengkara Purwacarita, Serat Ambiyabahwi, Babad Surakarta, Babad Giyanti Dumugi Prayat, Serat Wiwahajarwa, Buku Gambar Songsong Keraton, Babad Purwa, dan lain-lain. Pengelola mengatakan buku yang hilang sekitar 20-an ketika dilakukan pendataan ulang. Buku-buku kuno itu merupakan dokumentasi tentang sejarah Jawa, sejarah Solo, batik, bahasa, wayang, falsafah kuno, lakon politik, dan spiritualitas.
Kehilangan buku merupakan indikasi kehilangan pengetahuan dan masa lalu. Buku-buku kuno itu sumber pengetahuan yang membuat sejarah memiliki gerak dan manusia memiliki nostalgia-utopia. Kasus ini bakal jadi pelik ketika publik sekadar sibuk mencari pihak yang salah. Pola ini biasa terjadi ketika memberi reaksi terhadap kasus-kasus yang terkait dengan warisan-warisan kultural. Tindakan mencari pihak yang bersalah dan proses hukum memang niscaya tapi ada beban berat yang mesti ditanggungkan. Beban itu adalah ikhtiar untuk merasa memiliki dan menikmati Museum Radya Pustaka sebagai sorga pustaka dan situs sejarah kultural.
Selama ini museum memang tampak sepi dari pengunjung dan apresiasi. Kebutuhan publik untuk membaca dan menikmati koleksi buku kuno di museum memang sedikit. Hal ini merupakan fakta yang membuat museum seperti rumah tua dan buku-buku kuno seperti benda-benda aneh dari masa lalu. Rasa memiliki dan menikmati itu butuh realisasi mulai dari keberadaan komite museum, mitra museum, program diskusi reguler, dan program publikasi jurnal atau buletin secara rutin dan intensif.
Kasus kehilangan buku bisa dijadikan tanda seru dan tanda tanya untuk semua pihak agar memiliki kesadaran terhadap pustaka. Kesadaran publik terhadap pustaka memang terkesan klise tapi susah direalisasikan. Keberadaan Museum Radya Pustaka kentara jadi tanda bahwa Kota Solo memiliki jejak panjang sebagai Kota Pustaka dan Kota Pujangga. Penamaan itu ingin memberi aksentuasi bahwa konstruksi dan alur peradaban memiliki faktor kunci dalam pustaka. Buku-buku yang hilang tentu harus dicari tapi kesadaran pustaka juga mesti lekas dapat perhatian dan dibuktikan.
Ki Padmasusastra dan Ki Ranggawarsito tentu patut jadi sosok-sosok fenomenal terkait dengan Museum Radya Pustaka. Ki Padmasusastra merupakan kepala perpustakaan pertama yang mengurusi koleksi buku di Museum Radya Pustaka ketika masih di Ndalem Kepatihan. Koleksi buku mengenai khazanah Jawa dipelajari dan diwartakan pada publik melalui jurnal terbitan museum (Wara Dharma). Ki Padmasusastra juga tekun menulis tentang bahasa, sastra, dan falsafah. Spirit untuk mengurusi museum tidak selesai dengan membersihkan atau mendata tapi juga menulis sebagai kontribusi untuk peradaban. Spirit ini kentara tak mendapati ahli waris atau penerus dari pengelola-pengelola museum.
Patung Ki Ranggawasito di halaman depan bisa dijadikan bukti ketekunan pengarang untuk membaca dan menulis. Pujangga keraton pada abad XIX ini patut jadi spirit untuk ikhtiar pembentukan masyarakat literasi. Patung itu secara lahiriah memang diam sejak diresmikan oleh Soekarno pada 1953. Pendirian patung itu memang tidak diniatkan sebagai penjaga abadi museum tapi simbol untuk peran Museum Radya Pustaka sebagai pusat dokumentasi pustaka dari para pengarang pada masa lalu.
Buku-buku kuno yang hilang jangan dijadikan alasan untuk sekadar prihatin atau pamer kecaman. Tindakan realistis yang mesti lekas dilakukan adalah melakukan pembenahan model pengelolaan museum dan pembuatan program-program yang konstruktif. Pelbagai pihak yang memiliki kepentingan mesti dilibatkan dalam ikhtiar menyemaikan museum sebagai pusat pengetahuan dan kebudayaan. Museum sebagai ruang diskusi publik merupakan ikhtiar kontributif yang mungkin dilakukan untuk apresiasi dan membuat museum tak seperti kuburan. Diskusi mengenai sejarah, sastra, seni, spiritualitas, dan wacana kebudayaan tentu memberi gairah untuk membuat museum memiliki aura dan terus menghembuskan nafas kehidupan. Museum Radya Pustaka butuh gairah untuk hidup dan bukan gairah untuk mati.
Dijumput dari: http://kabutinstitut.blogspot.com/2009/05/kabar-duka-dari-sorga-pustaka.html