Pages

Saturday 21 January 2012

Al-Qur’an dan Al-Hadits Dalam Persepektif Muhammad Iqbal


Al-Qur’an dan Al-Hadits Dalam Persepektif Muhammad Iqbal
Posted by PuJa on January 21, 2012
Nurul Ichwan
http://cdiswalisongo.wordpress.com/

Muhammad Iqbal merupakan seorang penyair, pujangga, mujtahid, politikus dan juga seorang filsuf besar abad ke-20. Ia lahir di Sialkot, Punjab, India, 9 November 1877 – meninggal di Lahore, 21 April 1938 pada umur 60 tahun. Ia terlahir dikeluarga yang agamis, Ayahnya bernama Nur Muhammad seorang tokoh sufi, sedang Ibunya, Imam Bibi, juga dikenal sebagai muslimah yang salehah. Nenek Moyangnya berasal dari Khasmir yang sudah tiga ratus tahun sebelum kelahirannya telah memeluk islam dengan kuat.
Pada usia sekolah, Iqbal belajar Al Qur’an di surau. Di sinilah Iqbal banyak hafal ayat-ayat Al Qur’an yang selanjutnya jadi rujukan pengembangan gagasannya dalam pembaharuan ke-Islamannya.
Pendidikan formalnya ia tempuh sampai ke negeri Eropa. Setelah menamatkan sekolah dasar, ia melanjutkan studinya ke Lahore untuk mendapatkan gelar magister nya. Ia lulus pada tahun 1897 dengan memenangkan beasiswa dan dua medali emas karena penguasaannya dalam bahasa Arab dan Inggris. Di kota itu juga dia berkenalan dengan Thomas Arnold (seorang orientalis) yang mendorongnya untuk melanjutkan studi di Inggris. Di tahun 1905, ia pergi ke Inggris dan masuk ke Universitas Cambridge untuk mempelajari filsafat. Dua tahun kemudian ia pindah ke Munich di Jerman. Karena saat itu di Universitas Cambridge belum dapat memberikan gelar kesarjanaan filsafat lebih tinggi dari pada M.A. Di Universitas Munich inilah dia mendapat gelar Ph.D (philosophy doctor) dengan tesisnya yang berjudul: The Development of Methaphysies in Persia.
Iqbal juga seorang tokoh yang semasa dengan M. Abduh (1849-1905), dan pembaharu lainnya dari pakistan/india; A. khan (1908M), Amir Ali (wafat 1928M), dan al-Maududi (1903-1980). Mereka semua membawa bendera yang sama, yaitu untuk memperbaharui cara berfikir dan cara hidup kaum muslim, sebagai suatu reaksi terhadap membeku dan melemahnya tradisi yang terancam oleh gempuran Barat.
Al-Qur’an
Al-Qur’an yang merupakan sumber hukum pertama (mashdarul ahkam as-syar’iyah) umat muslim, menyimpan berjuta inspirasi hidup yang progresif dan non statis. Karena ia adalah sholih likulli zaman wa makan. Namun, al-Qur’an hanya akan sebagai kitab yang normatif dan statis ketika tidak ada pemahaman yang komperhensif dan kontekstuil dari pemegangnya (muslim).
Iqbal menganggap bahwa umat islam tidak sepenuhnya memahami apa yang menjadi tujuan diturunkannya al-Qur’an. Menurutnya “The Qur’an is a book which emphazhise ‘deed’ rather than ‘idea’“ (al Qur’an adalah kitab yang lebih mengutamakan amal daripada cita-cita). Dia dapat berkembang sesuai dengan perubahan zaman, pintu ijtihad tidak pernah tertutup.
Menurut M. Iqbal, ijtihad adalah pokok dinamisme dalam Islam, karena hal ini berhubungan erat dengan masalah waktu. Dunia ini berubah/ berkembang secara terus menerus dengan kejadian-kejadiannya yang baru, sehingga mengharuskan manusia menciptakan fikiran-fikiran baru yang logis dalam segala kehidupan untuk mengendalikan dunia.
Tujuan sebenarnya al Qur’an adalah membangkitkan kesadaran manusia yang lebih tinggi dalam hubungannya dengan Tuhan dan alam semesta. Memang, al-Qur’an tidak memuatnya secara detail, maka manusialah dituntut pengembangannya. Ini didalam rumusan fiqh dikembangkan dalam prinsip ijtihad, oleh iqbal disebut prinsip gerak dalam struktur Islam.
Disamping itu al – Qur’an memandang bahwa kehidupan adalah satu proses cipta yang kreatif dan progresif. Oleh karenanya, walaupun al-Qur’an tidak melarang untuk mempertimbangkan karya besar ulama terdahulu, namun masyarakat juga harus berani mencari rumusan baru secara kreatif dan inovatif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mereka hadapi. “Akibat pemahaman yang kaku terhadap pendapat ulama terdahulu, maka ketika masyarakat bergerak maju, hukum tetap berjalan di tempatnya”. Dia mengkritik sebab kemunduran Islam karena kurang kreatifnya umat Islam. Konkritnya bahwa pintu Ijtihad telah ditutup. Sehingga umat Islam hanya bisa puas dengan keadaan yang sekarang didalam kejumudan.
Hal ini bukan berarti Iqbal mengesampingkan untuk bermadzhab dan patuh terhadap al-Qur’an secara tekstual. Iqbal yang dididik dalam lingkungan sufistik tetap melihat ada dimensi-dimensi didalam al Qur’an yang sudah merupakan ketentuan yang baku dan tidak dapat dirubah serta harus dikonservasikan, sebab ketentuan itu berlaku konstan. Iqbal hanya tidak ingin menjadikan al-Qur’an sebagai teks dogma semata.
Dari lingkungannya yang sufistik, ia dapat dengan mudah mengamati kehidupan para mulla terkait dengan kehidupan dunia dan progresifitas hidup. Menurutnya para mullah dan sufi telah membawa umat Islam jauh dari maksud al Qur’an sebenarnya. Pendekatan mereka tentang hidup menjadi negatif dan fatalis. Terdapat pandangan pemisahan antara kehidupan dunia dan agama yang menyeret umat untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Akibatnya, hukum pun menjadi statis dan al-Qur’an tidak mampu di jadikan sebagai referensi utama dalam hal menjawab setiap problematika
Al-Qur’an mengajarkan keseimbangan kedua sisi kehidupan tersebut, tanpa membeda-bedakannya. Baginya, antara politik, pemerintahan dan agama tidak ada pemisahan sama sekali. Inilah yang dikembangkannya dalam merumuskan ide berdirinya negara Pakistan yang memisahkan diri dari India yang mayoritas Hindu.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kemunduran umat islam dalam persepektif iqbal dikarenakan:
Kebekuan dalam berfikir/ pemikiran. Hukum Islam seakan telah sampai kepada keadaan statis. Hal ini di perkuat oleh kaum konservatif yang berpendapat bahwa rasionalisme yang di lakukan kaum Mu’tazilah akan menimbulkan disintegrasi yang mengakibatkan terganggunya kestabilan politik. Alasan inilah yang di manfaatkan kaum konservatif untuk membuat umat tertunduk dan diam.
Karena umat Islam pada umumnya telah terpengaruh oleh konsep Zuhud yang ada dalam ajaran Tasawuf. Menurut konsep tersebut, perhatian harus di pusatkan terhadap Tuhan dan hal-hal yang berada di balik alam materi, hal inilah yang akhirnya menjadikan soal kemasyarakatan dalam Islam.
Selain itu, sama seperti pembaharu-pembaharu lain, bahwa kemunduran umat Islam selama 700 tahun terakhir dikarenakan runtuhnya kota Baghdad sebagai pusat kemajuan pemikiran umat Islam di pertengahan abad 13 (1258 M).
Al-Hadits
Diskursus Hadits sejak dahulu memang mengalami banyak perselisihan dan keraguan dari sebagian golongan. Kajian Hadits tak hanya dilakukan oleh kaum muslimin, dari kalangan orientalis pun melakukan kajian-kajian mendalam terhadap otentitas dan kandungan hadits. Hanya saja yang menjadi pembeda dari kajian-kajian tersebut adalah tujuan pengkajiannya.
Kaum muslim mengkajinya karena rasa tanggung jawab yang besar tehadap agama, untuk menggali kepastian hukum ataupun sejenisnya. Sedangkan orientalis mengkajinya hanya untuk kepentingan ilmiah. Bahkan terkadang hanya untuk mencari kelemahan ajaran Islam itu lewat ajaran Islam itu sendiri.
Berkembangnya masa dari zaman sahabat yang mendapatkan hadits lagsung dari Rasul SAW. hingga masa tabi’in dan seterusnya, menjadikan hadits mengalami pergeseran konteks ruang dan waktu. Sehingga muncullah berbagai aliran madzhab fiqih yang tak lepas dari tempat berdomisilinya mujtahid tersebut. Akhirnya, Iqbal menyimpulkan bahwa dia tidak percaya pada seluruh hadist koleksi para ahli hadist.
Iqbal dalam hal ini (pemahaman posisi hadits) sepaham dengan Syah Waliyullah, yaitu cara Nabi dalam menyampaikan Da’wah Islamiyah adalah memperhatikan kebiasaan, cara-cara dan keganjilan yang dihadapinya ketika itu. Selain itu juga Nabi sangat memperhatikan sekali adat istiadat penduduk setempat. Dalam penyampaiannya, Nabi lebih menekankan pada prinsip-prinsip dasar kehidupan sosial bagi seluruh umat manusia, tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Jadi peraturan-peraturan tersebut khusus untuk umat yang dihadapi Nabi. Untuk generasi selanjutnya, pelaksanaannya mengacu pada prinsip kemaslahatan.
Kajian-kajian iqbal terhadap hadits sampai pada sintesa bahwa harus ada pembedaan antara hadits hukum dan hadits bukan hukum. Pandangan tersebut sejalan dengan pemikiran ahli ushul yang mengatakan bahwa hadist adalah penuturan, perbuatan dan ketetapan Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan mengenai kebiasaan-kebiasaan Nabi yang bersifat khusus untuknya, tidak wajib diikuti dan diamalkan.
Iqbal dengan pemikirannya berusaha menanamkan semangat pembaharuannya pada dunia islam yang ia anggap sedang mengalami stagnasi, baik secara keilmuan, politik dan ekonomi. Goresan penanya yang terabadikan dalam buku-buku nya mampu menjadi senjata yang lebih tajam dari pada pedang dan mampu menembus peradaban, yang akhirnya sampai pada kita saat ini. Gerakannya lebih nyata sehingga dilanjutkan generasi selanjutnya. Tak heran Ali Syari’ati, Asghar Ali Enginer, dan lainnya pun mewarisi sepirit Iqbal.
Pemikiran M. Iqbal tidak akan habis untuk dikaji dalam sekali duduk. Farietas keahlian dan pemikirannya yang progresif terhadap bidang-bidang keilmuan tertentu membawanya sebagai seorang pembaharu dalam dunia pemikiran islam. Selayang pandang tulisan ini hanya sebagai bentuk sedikit usaha untuk memahami pemikiran Iqbal dan kemudian mengaktualisasikannya.
Referensi :
Harun Nasution, DR, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta : 2003.
Muslim Ishak, DRS, Muhammad Iqbal, Matahari, Yogyakarta : 1979.
- – – – – – – – -, Sejarah dan Perkembangan Theology Islam,
http//nicohendrick.wordpress.com/2009/11/18/pemikiran-pembaharuan-muhammad-iqbal/
__________________21/06/2011
Dijumput dari: http://cdiswalisongo.wordpress.com/2011/06/21/al-qur%E2%80%99an-dan-al-hadits-dalam-persepektif-muhammad-iqbal/

0 comments:

Post a Comment