Sastrawan Misterius
Posted by PuJa on February 16, 2012
Tri Budhi Sastrio
http://www.balipost.co.id/
PERNAH melihat orang memperhatikan bunga melati yang sedang mekar selama delapan jam terus menerus? Mungkin tidak pernah. Banyak orang suka memperhatikan bunga melati yang indah dan harum kalau sedang mekar. Tetapi kalau delapan jam terus menerus, menatap, tersenyum, bahkan tidak jarang seperti bercakap-cakap dengan sang melati, ini pasti bukan suatu hal yang biasa. Bahkan, orang pasti bilang itu kalau tidak edan ya sinting. Tetapi Patria tidak edan dan tidak sinting. Dia waras, paling tidak begitulah katanya berkali-kali.
”Siapa yang mengatakan aku sinting, maka merekalah yang sinting. Siapa yang mengatakan aku edan, jelas dia sendirilah yang edan. Aku waras! Aku tidak edan dan juga tidak sinting! Tentang merenung berjam-jam di depan bunga melati? Huh… cuma mereka yang tahu menghargai keindahan saja yang bisa mengerti tingkahku. Jiwa-jiwa kasar, jiwa-jiwa tak mengerti keindahan ciptaan Tuhan, jangan harap mengerti tindakanku!” begitu Patria sering mengungkapkan pernyataan pribadinya pada teman-teman dekatnya.
Salah seorang teman dekatnya, yang mempercayai pernyataannya, adalah aku. Aku juga percaya pada semua alasannya. Dan bukan itu saja, aku juga memujanya. Buah pikirannya, yang kadang-kadang dituangkan dalam tulisan-tulisannya, yang selama ini memang harus kuakui belum pernah dipublikasikan karena rupanya belum ada penerbit atau redaksi yang mengerti jiwanya, selalu menarikku hingga jauh ke alam khayal yang aku sendiri kadang-kadang tidak menyadarinya. Bahasanya lembut dan enak dibaca, sedangkan isinya meledak-ledak penuh semangat. Makin sering aku membaca tulisannya, makin teringatlah aku padanya. Bahkan kalau dia tidak menulis sampai berminggu-minggu lamanya, aku gelisah. Jiwa dan batinku gelisah. Aku perlu dan harus membaca tulisannya. Pernah, karena tidak tahan menahan kegelisahan hatiku, aku mendesak dia menulis sesuatu. Apa saja, kataku waktu itu. Pokoknya aku bisa membaca. Dan apa katanya padaku?
”Kau pikir menulis bisa dipaksa-paksa!” katanya sambil memandang mukaku tajam-tajam. Aku sampai-sampai menundukkan kepala. Mukaku terasa panas kena tatapan tajam matanya. ”Menulis tidak bisa dipaksa-paksa, Bung!” katanya. ”Kau mungkin berpikir aku seperti penulis-penulis terkenal itu, ya? Yang katanya, sibuk menyelesaikan pesanan tulisan dari berbagai instansi atau bahkan dari berbagai surat kabar dan majalah? Huh, kau salah besar kalau beranggapan begitu. Di mataku penulis semacam itu betapa pun terkenalnya, tidak ada artinya sama sekali. Menulis adalah indah. Kepandaian menulis manusia diturunkan langsung oleh dewa-dewa, untuk mengungkapkan segala perasaan dan keindahan. Jadi bagaimana mungkin keindahan bisa dipesan? Keindahan tidak bisa dipesan! Keindahan tidak bisa dipaksa! Keindahan harus dihayati, dikumpulkan, diseleksi, baru kalau sudah benar-benar perlu, keindahan itu bisa dituangkan ke atas kertas!”
Aku mendengarkan semua keterangannya dengan muka serius. Tetapi diam-diam harus kuakui bahwa aku tidak mengerti apa yang dia lontarkan itu. Kata-katanya mungkin terlalu tinggi bagi diriku. Yang bisa kutangkap dengan jelas hanyalah gaya berbicaranya, meledak-ledak, hampir sama dengan gaya tulisannya. Sejak kena teguran itu, aku tidak pernah mendesak-desak dia untuk menulis. Kalau menulis ya kubaca, kalau tidak menulis sampai berminggu-minggu, ya aku diam saja. Meskipun aku terpaksa diam dalam kegelisahan.
Pagi ini, ketika aku bertandang ke rumah Patria, kembali kulihat dia duduk di depan rumpun melati. Beberapa bunga melati yang mekar menebarkan bau harum yang halus. Sudah sepuluh hari lebih Patria tidak menulis sesuatu. Aku mendekat dari belakang, dan berdiri di dekatnya. Dia, seperti biasanya, tidak bergeming dengan sikapnya. Bunga melati di depannya seakan-akan dikhawatirkan hilang, kalau dia menoleh ke arahku.
”Betapa bahagianya kalau aku mengerti makna melati yang mekar silih berganti ini,” desisku pelan. Aku yakin Patria mendenar desisanku, kecuali pikirannya tidak berada di kepalanya waktu itu. ”Bunga kuncup, kemudian mekar, adalah peristiwa alam biasa. Apanya yang aneh?” aku lanjutkan desisanku, karena kulihat dia tidak bergeming. Kulihat Patria sedikit bereaksi, bahkan kemudian menoleh ke arahku. Matanya yang keruh tetapi bersinar tajam itu seakan-akan menyambar tengkukku. Tetapi aku mencoba untuk tetap tenang.
”Kau bilang mekarnya bunga melati bukan sesuatu yang aneh?” tanyanya setelah puas menatap aku. Aku mengangguk. ”Kau bisa membuat kuntum kuncup melati menjadi mekar?” tanya tajam.
Aku melengak. Sialan, tidak kuduga dia mengajukan pertanyaan tidak karuan semacam itu. Siapa yang bisa membuat sebuah bunga mekar, kecuali menunggu? Lagipula tanpa diusahakan pun, kuntum bunga akan mekar sendiri kalau sudah tiba waktunya. Ini hukum alam, bukan?
”Tanpa kita mekarkan dia sudah mekar sendiri,” jawabku.
”Aku bertanya padamu, bisa tidak engkau membuat kuncup melati mekar?” ulang Patria, tidak memperdulikan jawabanku. ”Aku tidak bisa,” kataku. ”Tetapi untuk apa? Bisa pun aku tidak akan melakukan itu! Untuk apa? Tanpa kita bantu, tanpa kita paksa, kuncup melati dan kuncup semua bunga, pasti akan mekar sendiri!”
”Huh, jadi jelas engkau tidak bisa, bukan?” kata Patria dengan suara mengejek.
”Kalau engkau, manusia yang menganggap dirinya makhluk serba bisa, tidak mampu memekarkan kuncup bunga, mengapa engkau beranggapan mekarnya bunga melati bukan sesuatu yang aneh? Sesuatu yang ajaib? Sesuatu yang hebat? Sebaiknya kau jangan asal bicara, Bung!”
Kembali dia memanggilku dengan sebutan ”Bung”. Padahal kemarin dia masih memanggilku dengan namaku sendiri. ”Ribuan kuntum bunga mekar setiap hari. Ini sudah berlangsung sejak bumi ini diciptakan!” kataku. ”Apanya yang harus dibuat aneh dengan ini? Mungkin cuma engkau sendiri yang menganggapnya aneh, Patria!”
”Pasti bukan aku sendiri!” jawab Patria cepat. ”Aku yakin masiha ada orang yang merasa dan berpikiran seperti aku, terutama orang yang benar-benar mau menggunakan akal budi dan perasaannya. Orang yang benar-benar mau berpikir dan mencoba mengerti keindahan alam. Tidak seperti engkau, Bung!”
Aku menarik nafas panjang. Harumnya bunga melati kembali kurasakan. Berdebat dengan Patria, kadang-kadang menyenangkan, tetapi tidak jarang menjengkelkan. Seperti pagi ini umpamanya. Diam-diam aku dibuatnya jengkel. Aku ikut duduk di sisinya. Sisa-sisa embun di rumput kurasa mulai menembus celana panjangku. Tetapi apa peduliku dengan embun, sementara di sisiku ada orang keras kepala, yang sialnya justru orang yang kukagumi.
”Kau lihat melati-melati yang mekar ini!” kata Patria. ”Perhatikan juga kuncup-kuncup yang belum mekar itu. Paduan yang indah, bukan?”
”Bukan cuma melati yang punya keindahan dan keadaan seperti itu!” jawabku seenaknya. ”Ribuan bunga juga punya keadaan seperti itu. Mawar, kenanga, dahlia, aster, anyelir, dan semua bunga, juga seperti melati ini. Kau tampaknya memuja sekali bunga melati?”
”Mengapa tidak?” Patria balas bertanya. ”Hanya orang bodoh dan orang tolol yang tidak akan mengagumi melati.” ”Bagaimana kalau aku tidak mengaguminya?” tanyaku kesal.
”Kau tanya saja dirimu sendiri, masuk golongan yang mana engkau. Yang bodoh atau yang tolol?”
Hampir saja aku marah waktu itu. Tetapi belum sempat aku marah, mataku tertarik pada seseorang yang tiba-tiba saja ada di depanku. Hai, siapa dia ini, seruku dalam hati. Juga kapan munculnya? Meskipun aku berbicara dan berdebat dengan Patria, tetapi aku yakin aku tidak melihat orang ini datang. Kulirik Patria. Dia pun rupanya sama seperti aku. Terkejut dan heran melihat kehadiran orang itu.
Orang itu tersenyum pada kami berdua dan berkata, ”Boleh aku ikut duduk bersama dan berbincang-bincang dengan kalian?” Bibirnya kulihat bergerak aneh, tidak seperti suara yang terdengar di telinga kami. ”Aku mendengar perdebatan kalian sangat menarik.”
Patria mengangguk lebih dahulu, baru kemudian aku.
”Boleh saja, mari silakan duduk!” kata Patria.
Orang itu tersenyum. Senyum paling aneh yang pernah kulihat. Aku tidak bisa atau sulit sekali menggambarkan senyum itu, bahkan bedanya dengan senyum kebanyakan orang juga sulit kukatakan. Tetapi naluriku mengatakan bahwa senyum itu tidak sama dengan senyum kami.
Orang itu melangkah mendekat ke arah kami dan kemudian duduk. Langkahnya dan cara duduknya juga tidak seperti kami. Kulirik kembali Patria. Apakah dia merasakan hal seperti yang kurasakan ini?
”Kalian sedang mengagumi bunga melati, bukan?” katanya setelah duduk.
”Cuma aku,” kata Patria. ”Sedangkan dia,” sambil menunjuk ke arahku, ”menganggap mekarnya melati biasa-biasa saja sama seperti mekarnya bunga-bunga yang lain.”
Orang itu kulihat mengangguk-angguk. Aku lebih banyak memperhatikan orang itu daripada memperhatikan Patria yang langsung membuka kartunya dan kartuku.
”Tidak aneh kalau kalian berdua berbeda pendapat seperti ini!” kata orang itu kemudian. ”Dulu sewaktu masih hidup, aku juga seperti itu.”
Aku terkejut setengah mati. Dulu waktu masih hidup? Jadi sekarang sebenarnya dia sudah mati? Tetapi Patria kulihat biasa-biasa saja. Bangsat, sialan, gerutuku dalam hati. Tulikah telinganya, atau tumpulkan otaknya sampai-sampai kata-kata yang begitu gamblang dan jelas tidak dimengerti?
”Aku dulu juga seperti engkau…” orang itu melanjutkan sambil kepalanya melirik ke arah Patria. ”Aku cinta, kagum dan bahkan tergila-gila pada bunga!” Orang itu sama sekali tidak melirik ke arahku. ”Bahkan aku sampai menceraikan istriku karena dia tidak suka pada bunga. Aku merasa tindakan benar. Bunga diciptakan tidak untuk disia-siakan, bukan?”
22 September 2002
0 comments:
Post a Comment