Pages

Monday 13 February 2012

Sajak-Sajak Dian Hardiana Republika


Sajak-Sajak Dian Hardiana
http://www.republika.co.id/

SURAT CINTA KETIKA HUJAN
: dea ayu

Kau adalah hujan yang tak pernah selesai
bukan pula hujan yang mengguyur kota
sebagai badai
sedang aku adalah dirimu yang lain
yang menjelma setelah hujan
ketika angin begitu tenang
dan burung kembali terbang.

Di matamu, tak ada perburuan
hingga dengan tenang setiap orang
menghafal usia, menyimpan jam
perempuan menenangkan bayi-bayi yang menangis
anak-anak berhamburan turun ke jalan, menari
bernyanyi, menjadikan suaranya
mendengung di udara.

Kau adalah hujan yang tak pernah selesai
basah dan kenang
meninggalkan pesan di atas kaca
juga sketsa wajah berwarna merah
wajah dengan senyum terkembang
mengunjungiku pada mimpi-mimpi buta
di malam gugup atau di siang yang murung.

Di dadamu, tak ada lagi pertemuan
percakapan menjadi ungu dan membosankan.

Setiap hujan, aku mengirim doa untukmu
(sebelum jantungku berhenti mengingatmu)
sebagai rindu yang dititipkan tuhan kepadaku
- surat cinta bagi kekasih yang jauh.

Bandung, 2008



NARCISSCUS

Tiba-tiba aku menjadi narcisscus
aku begitu mencintai diriku sendiri
bukan danau, bukan pula angin yang berbisik
tapi dirimu yang menuding
ketika danau beranjak kering dan angin
melempar sunyi.

Tiba-tiba aku menjadi narcisscus
aku tergila-gila pada bibir,
rambut, dan mataku sendiri
di sebuah malam kabut
jauh di utara, di antara
rumah-rumah sederhana.

Bandung, 2008



AKU MENEMUKAN WAJAHMU RETAK DI SEBUAH CERMIN

Di suatu malam yang tenang
ketika jengkrik berhenti berzikir
dan waktu tertahan mengalir
aku menemukan wajahmu retak di sebuah cermin.
Malam itu aku benar-benar dikejutkan
setelah begitu lama aku menunggu kedatangan.

Padahal kita harus menikah
pada hujan, pada bulan,
pada sebuah pertemuan.

Bandung, 2007



KOTA DI SEBUAH TIKUNGAN WAKTU

Seperti malam-malam kemarin ketika bulan lelap di ujung pohonan aku berjalan menyusur sepi di matamu bercakap dengan sepatu, mereguk udara berbatu-batu.

Tak pernah aku bayangkan tentang dingin yang berubah menjadi pedang ketika nyeri negeri ziarah tenggelam dalam lautan minyak tanah.

Kecuali di tubuhmu, entah darimana bermula di sebuah tikungan waktu aku tersedak mata merah, mulut terkunci kata-kata mengajak pulang mengeja kematian.





0 comments:

Post a Comment