Pages

Wednesday 11 April 2012

“Com a Luz de Dia”

“Com a Luz de Dia”
Posted by PuJa on April 10, 2012
Dias Novita Wuri
Koran Tempo, 11 Maret 2012

“RUPANYA kau sudah pulang.”
“Ya, dari tadi.”
“Mau makan? Masih ada sup kentang sisa tadi pagi. Ada di lemari es, tinggal dihangatkan saja.”
“Terima kasih. Aku sudah makan. Kau bagaimana?”
“Aku baru saja makan. Jadi bagaimana di tempat kerjamu hari ini?”
Mereka duduk berhadapan di sebidang kecil meja makan berselubung taplak kotak-kotak hitam dan kuning kenari, di sebuah dapur kecil yang sesak dijejali lemari es tua dan kompor besar yang menyatu dengan oven. Sepintas bau kurang sedap menguar dari dalam lemari es.
“Susunya basi.”
“Oh! Benar, aku lupa.”
Yang laki-laki bangkit menghampiri lemari es, mengambil botol kaca berisi cairan kental keabu-abuan lalu melemparkan benda itu ke tong sampah di sudut.
“Ingatkan aku untuk beli susu lagi.”
“Bagaimana di tempat kerjamu hari ini?”
“Kau sendiri, bagaimana di kantormu hari ini, Rena?”
Mereka duduk berhadapan lagi—Rena dan suaminya selama tujuh belas tahun, Ricardo. Mereka tinggal di apartemen dua kamar di kota Lisbon, dengan jendela-jendela tinggi bobrok yang menampilkan pemandangan jalan bata kelabu menurun dan baris pepohonan hijau di sebelah bawah. Jika berdiri di balkon dan berjinjit sambil menjulurkan leher sedapat mungkin, Estremadura di kejauhan bisa terlihat cukup jelas, benteng di atas bukit dan sebagainya itu.
Lemari es mendengung bising. Rena mendengarkan suara itu dengan tekun selama beberapa menit. Tetangga di apartemen sebelah sedang terbahak-bahak karena sebuah lelucon tidak lucu di televisi, sementara asap cerutu tebal diterbangkan angin dari ventilasinya ke ventilasi dapur Rena dan Ricardo. Baunya jauh lebih parah dari bau susu basi atau selapis tipis sampah organik busuk yang mengendap di dasar tong sampah. Ricardo menggerutu pelan.
“Kuharap bangsat itu cepat mati.” Ia mengetuk-ngetuk dinding yang membatasi dapur mereka dengan ruangan apartemen sebelah lalu berteriak, “Oi! Merokoklah di tempat lain!”
Tanggapannya hanyalah suara batuk berat orang yang paru-parunya sudah bermasalah, dan kini Rena beralih mendengarkan suara batuk itu. Ketika akhirnya ia muak mendengarkan, ia berkata, “Hariku di kantor seperti biasanya. Membosankan. Membuatku ingin bunuh diri.” Ia bekerja sebagai staf lokal di Kedutaan Besar Republik Korea, di mana tak seorang pun bisa berbahasa Portugis, dan di kantor nyaris tidak pernah ada yang bicara dengannya.
“Oh.” Dahi Ricardo berkerut. “Sebaiknya kau jangan bercanda soal bunuh diri itu. Tidak baik.”
Rena tertawa kering. “Ricardo, kau selalu bersikap terlalu serius. Bukankah kau sendiri tadi omong kalau kau berharap supaya bangsat di sebelah cepat mati? Tidak ada salahnya bergurau soal kematian, kan?”
“Itu berbeda,” kata Ricardo dengan nada letih yang tidak dapat disamarkannya. “Keluar dari mulutmu, aku jadi membayangkan yang tidak-tidak.”
“Hmm, kau tidak ingin aku mati.”
“Jelas tidak ingin.”
“Dan kau, jadi bagaimana di tempat kerjamu hari ini?” Ricardo bekerja sebagai manajer di sebuah supermarket besar di tengah kota.
“Seperti biasa. Lelah,” kata Ricardo.
“Oh.”
“Dan ada orang tolol yang tidak sengaja merobek kantong makanan anjing ukuran dua puluh lima kilo. Atau mungkin ia sengaja melakukannya. Mana kutahu.”
“Di mana Estella?” tanya Rena, menyebut anak perempuan mereka yang baru saja masuk sekolah menengah. Setiap hari, Estella jarang sekali pulang ke rumah lebih awal dari tengah malam. Rena membayangkan anak gadisnya berkeliaran di luar, mungkin mengisap ganja atau melempari jendela rumah orang dengan batu, berpacaran dengan sembarang laki-laki. Tapi ia selalu ada saat sarapan, tampak baik-baik saja. Ia bukan anak nakal. Nilai-nilainya di sekolah juga tidak bermasalah.
“Aku tak tahu.” Ricardo mengangkat bahu. “Mungkin bersama teman-temannya.” Ricardo tidak memiliki cukup tenaga untuk benar-benar mengkhawatirkan putrinya. Bukan salahnya.
“Aku butuh kacamata,” kata Rena.
“Pergilah ke dokter mata besok,” kata Ricardo.
Rena bangkit untuk menjerang air panas. Ia menurunkan dua cangkir, toples kaca berisi serbuk daun teh, dan kantong gula dari rak; berlama-lama menuangkan tiga sendok kecil serbuk daun teh serta satu sendok gula ke dalam masing-masing cangkir. Kemudian ia berdiri di depan kompor, menumpukan berat badan pada satu kaki, sebelah tangan berada di pinggang, menunggu ceret berbunyi.
“Kau mau biskuit lemon?” tanyanya pada suaminya.
“Ke mana biskuit coklatnya?”
“Habis.”
“Aku tidak suka biskuit lemon.”
“Tapi kau yang membeli biskuit lemon.”
“Baiklah,ambilkan saja beberapa.”
Ceret berbunyi. Rena menyeduh teh lalu duduk kembali di hadapan Ricardo. Mereka melakukan rutinitas ini setiap sore selama lima belas tahun belakangan: makan biskuit, minum teh, mengobrolkan hal-hal tak berguna. Setelahnya Rena memasak makan malam dan Ricardo pergi ke ruang tengah untuk menonton siaran berita di televisi, di lanjutkan dengan film-film horor murahan. Kipas angin berbunyi wer-wer-wer, bertiup kencang, menerbangkan lembaran-lembaran koran yang digeletakkan sembarangan di atas meja. Ricardo tertidur pulas di sofa sebelum makan malam tersedia. Selalu seperti itu, dan Rena selalu saja makan sendirian setiap malam, menyuapkan apa pun yang ada di piringnya sambil menatap kosong ke arah lemari es yang berdengung.
Tetangga mereka sudah berhenti merokok untuk sementara, tapi akan mulai merokok lagi dalam beberapa saat. Rena menyelesaikan santapannya, mencuci piring tanpa ribut-ribut, dan mandi. Pada pukul sepuluh ia sudah terlelap sendirian di ranjang dengan mengenakan jubah mandi dan rambutnya basah serta berbau sampo, sementara Ricardo bangun di tengah malam untuk menyantap makan malam yang sudah dingin, minum lebih banyak teh. Putri mereka baru tiba di rumah pada pukul dua pagi. Hari yang berlangsung normal di kediaman Rena dan Ricardo da Costa.
.
AKHIR pekan, Rena muncul di dapur dengan berpakaian rapi dan rambut tergerai, sepatu berhak tingginya mengetuk-ngetuk lantai. Ricardo sedang menandai sesuatu di koran pada bagian lowongan pekerjaan. Ia mendongak.
“Kau mau ke mana berpakaian seperti itu?”
“Kau sendiri mau ke mana?” Rena balas bertanya, memandang suaminya yang penampilannya tidak berbeda dari jutaan akhir pekan yang telah mereka lalui bersama. Ricardo mengenakan celana pendek butut serta kaus oblong, sebagaimana biasanya pada pukul tujuh pagi di hari Sabtu.
“Tidak ke mana-mana,” jawab suami Rena seraya mengangkat alis.
“Aku cuma mau cari angin!” bentak Rena, kemudian berlari kecil menuju kamar tidur dan membanting pintu. Di sana ia memelototi jendela selama lima menit penuh sebelum memutuskan pergi ke balkon. Karena sedang mengenakan sepatu berhak tinggi, ia tidak perlu terlalu berjinjit untuk bisa melihat Estremadura di kejauhan, tapi matanya sudah mulai terkena rabun jauh. Rena menghela napas untuk menenangkan diri, keluar dari kamarnya dengan mencolok, dan pergi keluar menuju jalan kelabu yang menurun tanpa mengatakan apa-apa lagi kepada suaminya.
.
MALAM itu termasuk malam yang langka ketika Ricardo tidak langsung jatuh tertidur di depan televisi selepas waktu minum teh sore. Ia ikut makan malam bersama istri dan putrinya, yang tinggal di rumah untuk alasan yang tak diketahui. Rena membuat kue telur tapi rasanya tidak begitu enak, jumlah gulanya tidak sesuai takaran yang seharusnya karena mereka sudah kehabisan. Meskipun demikian Ricardo tetap memakan habis kue-kue telur tersebut. Istrinya sedang bercerita mengenai seorang laki-laki Korea muda yang siangnya datang ke Kedutaan Besar untuk memperpanjang paspor.
“… mengenakan pakaian yang aneh dengan dasi, rambutnya putih seluruhnya.”
“Ia menghilangkan pigmen rambutnya, Mama,” kata Estella.
“Mengapa ada orang yang ingin melakukan itu terhadap rambut mereka?” tanya Ricardo. Ia menyesap segelas susu lambat-lambat.
“Karena di negaranya sedang tren.”
“Itu menggelikan,” kata Ricardo.
“Tidak menggelikan bagi mereka,” ujar Rena.
Sesudah makan malam, Rena dan Ricardo menonton televisi sementara Estella masuk ke kamarnya, menyalakan radio keras-keras.
“Biarkan saja,” kata Ricardo, mencegah Rena yang akan bangun dari sofa untuk memarahi putri mereka. Ia tidak ingin menyaksikan pertengkaran, terlalu melelahkan. Ia lebih memilih duduk dalam kedamaian dan menonton Quaresma yang sedang ditayangkan di televisi. Rena duduk membisu, tangannya bersedekap.
“Bagaimana di kantor hari ini?” tanya Ricardo kepadanya. Wajah Rena tampak keruh.
“Kau tidak pernah mendengarkan aku. Tadi waktu makan malam aku bercerita tentang pemuda yang menghilangkan pigmen rambutnya, ingat?”
Ricardo sudah lupa. “Aku lupa.”
“Kau selalu lupa.”
Hening.
“Aku mau tidur,” kata Rena, kemudian beranjak ke kamar. Ricardo mengikutinya tanpa menyadari bahwa itu satu hal yang sudah tidak dilakukannya entah sejak kapan. Mereka lalu duduk bersama di ranjang dengan kaki terjulur lurus, mencermati tembok. Suara dari radio Estella merembes masuk melalui celah dan retakan di langit-langit.
Tiba-tiba Ricardo terkenang perjumpaan pertamanya dengan Rena.
“Kau masih ingat waktu kita pertama kali bertemu dulu?” katanya.
“Kita sama-sama sedang berada di Douro, di Amarante. Kau berdiri di jembatan itu.”
“Mengapa kau ingin membicarakannya?” tanya Rena. Mereka tidak saling menatap. Rena merosot masuk ke dalam selimut tipis untuk membaringkan diri. Rasanya menyenangkan bagi punggungnya yang pegal karena duduk menunggui telepon sepanjang hari dan setiap hari.
“Kau mengenakan gaun musim panas yang sama seperti yang sedang kaupakai sekarang.”
“Oh ya?”
“Ya.”
“Mengapa itu penting?”
Ricardo ikut berbaring. “Entah. Aku senang melihat gaun ini lagi. Kemarilah.”
Rena menurut, dan mereka segera berbaring bersama dalam posisi berpelukan. Sudah lama sekali, kata-kata itu terbit di benak Rena, menyumbat emosinya. Mereka saling meraba seperti orang buta yang tengah mempelajari kebutaan, mengalami untuk pertama kali bagaimana rasanya menjadi buta. Mereka saling membuka diri dengan sekuat jiwa dan segenap hati, berusaha menemukan jalan setapak yang dulu sering mereka telusuri bersama baik dalam gelap maupun terang tanpa tersesat, namun kini mereka kesulitan menemukan jalan itu dan malah kian tertinggal di padang belantara dalam kebingungan. Mereka berciuman seperti tidak pernah saling mengenal, merasa takut, menarik diri, penasaran, ingin tahu dan tak ingin tahu.
Sudah lama sekali. Mengapa dulu aku mencintaimu? Mengapa dulu kau mencintaiku? Mengapa dulu kita saling mencintai? Mengapa dulu dan tidak sekarang? Bunga mereka telah mengering dan layu. Jalan setapak mereka telah lenyap. Tak ada apa-apa, tak ada apa-apa. Rena mengernyit dan meringis kesakitan. Oh sakit, sakit, hentikan! Mereka mencoba maju, menerjang kesakitan tanpa kenikmatan yang dulu pernah mereka huni dan cintai; ketabahan mereka patut dipuji. Tapi yang ada hanya rasa malu. Ranjang berderit-derit seperti cicit tikus. Rena malu, ia menarik selimut tipis itu menutupi perut dan dadanya yang polos. Ricardo akhirnya berhenti mencoba maju. Ia heran: betapa lega rasanya berhenti mencoba.
Mereka diam dan hanya saling memunggungi. Mereka berada di sisi yang berseberangan.
“Ricardo, aku punya kekasih,” kata Rena pelan. Tidak ada tanggapan, tapi ia yakin kali ini suaminya mendengarkan.
.
“AKU sudah mempertimbangkan segalanya.”
Rena dan Ricardo minum teh bersama di dapur mereka yang sempit sepulang kerja—Rena dari Kedutaan Besar Republik Korea yang menjemukan, Ricardo dari supermarket di tengah kota yang melelahkan.
Mereka makan biskuit lemon.
“Bangsat di sebelah merokok lagi,” ujar Rena.
“Ya. Rena. Aku sudah mempertimbangkan segalanya. Mengenai kita dan rumah tangga ini.”
“Baiklah.”
“Kita tidak bisa bercerai.”
Rena mengaduk-aduk teh di cangkirnya, sendoknya menyentuh dasar cangkir. “Tidak.” Mereka pemeluk agama Katolik tradisional, jadi bercerai sama sekali bukanlah pilihan. “Jadi apa yang kaupertimbangkan?”
“Aku ingin memberitahumu satu hal, Rena. Aku juga memiliki kekasih.”
Ketika Rena menengadah dari cangkir tehnya, ia terhantam suatu sensasi aneh. Ricardo melihat gejolak itu. Rena tampak berseri-seri dan berterima kasih, seolah versi dirinya yang lebih muda—dirinya yang berdiri di jembatan Amarante untuk bercermin pada aliran air—muncul kembali ke permukaan, menyapa Ricardo. Halo, apa kabar? Kabar baik.
“Benarkah?” bisik Rena, memejamkan mata.
“Ya.”
“Terima kasih, Ricardo.” Sekarang mata Rena mulai berkaca-kaca.
“Apakah kau mencintainya?”
“Ya.”
“Ceritakan tentangnya.”
Ricardo tersenyum. Istrinya menerima senyum itu dengan bahagia. Inilah akhir dan awal segalanya. “Ia… agak menyerupai dirimu. Rambut merah dan mata hitam. Ia luwes. Tungkai yang panjang, suara yang berat.”
“Di mana kalian bertemu?”
“Ia penyanyi fado. Kami bertemu di bar, malam Tahun Baru kemarin.”
Ricardo dan Rena saling berpandangan dan menggali. Mereka berdiri di tepi jurang pernikahan mereka, bertekad untuk pulang dengan selamat. Dan Ricardo, di atas segalanya, ingin sekali menyelamatkan Rena.
“Sekarang giliranmu. Ceritakan tentang kekasihmu.”
“Ia dari Madeira,” celoteh Rena penuh semangat, dan Ricardo terharu menyaksikan rona merah kembali ke dua belah pipi istrinya yang telah lama suram dan padam. “Namanya Hermínio. Ia lebih pendek beberapa inci darimu, berbahu lebar dan berambut gelap. Kami bertemu di toko buku. Oh, Ricardo, ia baik. Ia mencintaiku. Tak apa-apakah?” Rena bagaikan gadis kecil yang bercerita mengenai cinta pertamanya, sangat lugu dan gembira.
“Tak apa-apa. Mulai sekarang kita memilih jalan masing-masing.”
“Kau bercerita tentangku pada penyanyi fado-mu?” Rena bertanya penasaran. Hanya penasaran, tanpa embel-embel apa pun.
Ricardo berpaling dari istrinya.“Ia tahu aku pria menikah. Ia melihat cincin kawinku.” Pada saat itu, ia baru menyadari bahwa Rena tak lagi mengenakan cincin kawin, entah sudah berapa lama. Jadi memang benar. Ricardo selalu lupa, selalu tidak memperhatikan, selalu tidak mendengarkan.
“Bolehkah aku pergi akhir pekan ini, Ricardo?”
“Kau mau ke mana?”
“Oh, mungkin hanya ke Estremadura. Hermínio… ia menungguku pagi-pagi Sabtu besok. Ingin berjalan-jalan saja.”
“Rena, kau seharusnya tidak perlu meminta izinku.” Ricardo tersenyum. “Bersenang-senanglah.”
“Dan kau juga, pergilah ajak penyanyi fado-mu makan siang besok atau apa.”
“Baiklah, tentu saja.”
“Kita tidak akan membiarkan Estella mengetahui hal ini, bukan?”
“Tidak, tidak akan.” Ricardo setuju.
Semudah itulah. Keesokan harinya, Ricardo mengamati Rena berdandan di kamar mereka untuk menemui pria lain itu. Ia mengenakan gaun santai bergaris leher rendah yang memperlihatkan sebidang kecil tanda lahir di dadanya, lipstik yang sangat merah, serta sepatu berhak tinggi. Ia memakai parfum. Ricardo mengantarnya ke pintu, berkata bahwa setelah itu ia juga akan pergi berkencan dengan sang penyanyi fado. Rena terlambat menemui Hermínio, sekarang hari sudah beranjak siang.
“Kalian akan ke mana?” tanya Rena seraya melangkah pergi, tapi tetap menoleh kepada suaminya.
“Bar tempat kami bertemu,” jawab Ricardo. “Machado Fados Folclore.”
“Bagus! Bersenang-senanglah!” Setelah itu Ricardo mandi dan berganti pakaian, lalu pergi keluar rumah. Tapi ia tidak pergi menuju Machado Fados Folclore karena tidak ada yang menunggunya di sana, tidak ada janji makan siang, tidak ada sang penyanyi, tidak ada kekasih. Sejak tadi semua kata yang meluncur dari mulutnya adalah kebohongan yang menyedihkan. Ia kesepian dan tidak berbahagia, tapi ia sudah membuat istrinya bahagia. Jadi tak apa-apa.
Ricardo melantunkan sepotong puisi Jorge de Sena bagi dirinya sendiri sementara ia beranjak melalui jalan bata kelabu yang menurun.
Seberkas cahaya mungil kerlap kerlip silih-berganti.
Serupa yang pasti serupa yang padat serupa yang adil.
Semata-mata serupa mereka.
Namun bercahaya.
Tidak di kejauhan sana. Di sini.
Di tengah-tengah kita.
Bercahaya.
Dulu ia pernah sangat menyukai Jorge de Sena, tapi kini ia tak ingat lagi mengapa.
Catatan:
Com a luz de dia (Portugis), dalam cahaya siang hari.
Dias Novita Wuri tinggal di Jakarta. Pernah belajar di Sastra Rusia, Universitas Indonesia.
Dijumput dari: http://lakonhidup.wordpress.com/2012/03/13/com-a-luz-de-dia/

0 comments:

Post a Comment