Pages

Tuesday, 3 April 2012

Eksotisme Wangi-Wangi Sajak Gani


Eksotisme Wangi-Wangi Sajak Gani
Posted by PuJa on April 2, 2012
Syamsudin Noer Moenadi *
http://www.sastradigital.com/

Harian Analisa Medan, dan Harian Kendari Pos
ADALAH Syaifuddin Gani, penggiat seni, tinggal di kota Kendari, Ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, yang saat ini namanya mulai mengepak dalam peta kepenyairan Indonesia. Karyanya tersebar di beberapa media cetak, dan pada April 2011 menerbitkan sebuah antologi sajak, diberi judul Surat dari Matahari, yang berisi 66 sajak.
Surat dari Matahari, dipakai sebagai judul antologi tersebut, ditulis di Bekasi (suatu kota yang jaraknya 20-an kilometer dari Jakarta) tahun 2005, menarik untuk diselami. Sajak itu sederhana, pilihan katanya tidaklah rumit, mudah dimengerti, serta metaforanya tidak membuat berkerut kening. Justru menurut saya, sajak itu adalah titik awal kegelisahan Gani, sapaan akrabnya, dalam melakukan perjalanan ataupun pengembaraannya menapak Pulau Jawa. Gani merasakan betapa suasana tempat yang baru dipijak terasa penuh “airmata langit dan gerimis yang jatuh bersuara parau” ketimbang di tanah Sulawesi yang tidak lain “di pulau–pulau terjauh, bintang bergetaran, perahu-perahu menjauh, lelampu bertangisan“ (Sajak Wangi-Wangi).
Sebagaian besar, malah paling banyak, sajak Gani yang terhimpun pada antologi pertamanya ini, ditulis di Kendari, Sulawesi Tenggara, juga di Jakarta, Makassar, Yogyakarta, Surabaya (Tanjung Perak), dan Tarakan (Kalimantan). Dan Gani sendiri lahir di Kampung Salubulung, Mambi, Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Karenanya, saat menulis sajak, wajarlah jika Gani tidak ubahnya seorang perekam lingkungan yang piawai.
Gani pun sesungguhnya bukan termasuk seorang penjelajah maupun pengembara sejati yang gemar menyusuri pelosok Indonesia. Setidaknya sajak yang ditulisnya lebih berkutat pada perjalanan yang dilakukan di seputar Sulawesi. Hal ini jelas terdeteksi dengan mencantumkannya nama daerah (tertera) dalam sajaknya. Membaca antologi Surat dari Matahari, terkesan sekali Gani sangat mencintai daerah Sulawesi yang memberikan jiwa serta roh dalam berkarya. Gani merasakan, meresapi energi itu dan mampu memotret wilayahnya dengan hati, juga kegelisahan yang membara. Gani tidak sekadar menulis mengenai kekaguman daerah, melainkan ungkapan perasaan yang gundah dan lara.
Sajak “Wangi-Wangi” salah satunya. Bahwa kata–kata yang dipilih terasa sendu. Untaian kalimat ditulis Gani secara mengalir, lembut, dan bertenaga. Suasana pun menjadi gemetar. Seperti kita tahu, sekarang ini Wakatobi ialah daerah wisata yang menjadi perbincangan masyarakat dunia. Banyak turis dari berbagai negara Asia, Eropa, Australia, dan Amerika (Serikat), tidak terkecuali turis lokal, asal Indonesia tentunya, terkagum-kagum dengan eksotisme Wakatobi. Bagaimanapun Wakatobi menjadi satu di antara jantung terumbu karang dunia, dan surga bagi para penyelam.
Wakatobi sebetulnya gabungan nama dari empat gugus pulau besar. Yakni: Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko, yang 97 persen merupakan kawasan perairan. Jumlah pulau yang berada di bagian selatan dari ibukota Sulawesi Tenggara, tercatat sebanyak 142 gugus pulau. Gugusan pulau di Wakatobi itu banyak memiliki pantai pasir putih. Begitu eksotik. Hambaran pasir yang kelok-kelok, serta permukaan laut di sekitar pesisir gugusan pulau terlihat warna biru muda yang begitu indah nian.
Wangi-Wangi bukan laporan jurnalistik. Tapi sajak yang ditulis Gani dengan nuansa eksotisme, ditambah pilihan kata-kata yang tertata rapi. Tidak memperlihatkan emosi yang gemertak. Gani tidak menyodorkan data maupun angka. Sebaliknya menorehkan gumam kepedihan sekaligus keindahan yang pilu. Maka kalimat yang dihimpun dalam sajak Wangi-Wangi itu beraroma nestapa. “Ombak membuih, gugur jua di pangkuan karang, pepasir memutih, pudar dalam tangisan malam.“
Andaikata Anda ke Wakatobi, pastinya pertama kali mendarat di Pulau Wangi-Wangi. Maklum fasilitas di pulau ini belum memadai. Buat Jakarta, penerbangan dari Jakarta menuju Wakatobi–dilayani Express Air-memperlukan waktu lebih empat jam dengan sekali transit di Makassar. Melalui laut pun tentu bisa, yaitu melalui Tanjung Priok menuju Makassar- Baubau- dan langsung Wakatobi.
Atau dari Jakarta ke Kendari, penerbangan langsung dengan Lion Air. Terus dari Kendari ke Kota Baubau, via laut, lantas-masih menempuh perjalanan laut setiap saat dari Baubau ke Wanci–ibukota Wakatobi dengan kapal kayu. Harga tiket kelas tidak terlalu mahal, mencapai seratus ribu rupiah, dan untuk yang menggunakan kamar, seratus limapuluh ribu rupiah. Jarak tempuh Baubau–Wanci dengan kapal kayu mencapai 12 jam.
Sementara dengan kapal cepat Baubau-Wanci, setiap hari dua kali, bisa ditempuh 5 jam. Bisa pula dari Baubau ke Lasalimu dengan keadaraan roda empat selama dua jam, lalu naik kapal cepat Lasalimu-Wanci selama satu jam atau kapal kayu Lasalimu–Wanci selama dua setengah jam. Apabila Anda naik pesawat terbang dari Jakarta, maka pesawat akan mendarat di Bandara Matahora, Wangi-Wangi, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara.
Bagi Gani pulau Wangi-Wangi tidak lain kenangan yang memukau dan menggoreskan jejak. “Pangkal teluk merah dan memar, dirongong persenggaman alam, gadis-gadis berdaging samar, lambaikan senyum tangiskan salam. Kutinggal dermaga wangi-wangi, angin gemetar meraungkan nafasmu wangi, tahun depan, angin timur mengarak kenangan, aku datang mengepang rambutmu jadi delapan.“
Sajak Wangi-Wangi ditulis Gani pada April 2008, jadi sudah tiga tahun lalu. Pastilah keadaan Wakatobi telah berubah, sertamerta turis yang datang makin banyak jumlahnya. Wakatobi merupakan satu-satunya kabupaten yang keseluruhan wilayahnya masuk ke dalam teritori Balai Taman Nasional Wakatobi seluas 1,39 hektar. Berdasarkan Operation Wallacea yang dilakukan sejak tahun 1996, diketahui Taman Nasional Wakatobi memiliki 942 spesies ikan dan 750 spesies dari 850 spesies terumbu karang dunia dengan bentuk topografi slope, flat, drop-off, atol dan underwater cave.
Melalui Wangi-Wangi Gani merekam kemolekan Wakatobi dengan kegundahan. Memang, di Wakatobi, Gani bertamasya sesaat. Tiga tahun setelah dijepret Gani, perubahan telah terjadi dan bergerak cepat. Andaikata Gani datang kembali, niscaya pangling. Pariwisata telah membuat Wakatobi menjadi semerbak. Sebagai tempat pariwisata pilihan, Wakatobi laris manis, serta dilirik investor maupun pengusaha travel. Para pengusaha travel, sekarang ini– apalagi di musim liburan, sengaja mengiming-iming eksotisme. Di sana telah tumbuh resort mewah yang betul-betul memanjakan gaya hidup.
Sebaliknya gambaran eksotisme Sulawesi Tenggara yang ditampilkan Gani lewat antologi Surat dari Matahari, berisi 66 sajak, itu tak dilebih-lebihkan. Malah menawarkan jiwa yang memelas dan nestapa. Betapa eksotisme Gani merupakan guman yang lirih, mengingatkan bahasa penyair Amir Hamzah, Linus Suryadi Ag, atau Kirjomulyo. Betapa saya membaca beberapa sajak di antologi tersebut terseret arus perih. Kata dan kalimat yang dipilih bergulir tanpa beban makna. Namun mempunyai beban makna. Bacalah, “di perempatan mandonga, waktu lalu lalang tersantuk-antuk, berpusar pada sebuah budaran, yang dilumuri muntahan-muntahan waktu.“
Lalu bait sajak berjudul “Perempatan Mandonga” diteruskan dengan hentakan , “mau kemana tuan? ke punggolaka, menguburkan sukmaku yang sekarat, kenapa anda tergesa-gesa? akh, ke tobuha, menamatkan jiwaku yang keok, siapa yang bersesakan di mobil angkutan? mungkin para ode dan para bio menyeret kekalahan, ke pelabuhan.“ Benar-benar saya tergelincir ngilu membaca sajak karya Gani. Benar-benar saya terpana dengan eksotisme yang dicuatkan. Kata-kata dalam sajaknya terasa bersahanya, berguman datar, dan mengulum bersama hati yang terdalam. Itulah pujian saya, serta selamat menyair, Gani. ©
*) Syamsudin Noer Moenadi, Dosen, Penikmat Sajak. Tinggal di Jakarta.
Dijumput dari: http://media.kompasiana.com/buku/2011/09/07/eksotisme-wangi-wangi-sajak-gani/

0 comments:

Post a Comment