Pages

Tuesday 10 April 2012

Kritik Sastra Katrin Bandel


Kritik Sastra Katrin Bandel
Posted by PuJa on April 9, 2012
Zahir
http://banyuarum.blogspot.com/

Tahun-tahun terakhir ini, dunia sastra Indonesia geger dengan datangnya dua isu “perempuan” dan seks. Isu perempuan dan seks dalam arti pengarang perempuan yang semakain menjamur, maupun isu tentang seks sebagai tema karya sastra yang sedang ngetren sekarang ini. Meskipun tergolong muda tidak sedikit dari mereka (pengarang perempuan) mendapatkan penghargaan sastra dari pengamat dan kritikus sastra dan Klaim-klaim sebagai pendobrak tabu dan lain sebagainya.
Katrin Bandel dalam buku kumpulan esei-eseinya yang berjudul Sastra, Perempuan, Seks mencoba merespon klaim-klaim yang selama ini yang cenderung memuja-muja pengarang perempuan, sebagai penulis hebat, baru atau sebagai “sastrawangi” dan lain sebagainya. Benarkah karya mereka demikian hebat sehingga pantas dihebohkan seperti itu?
Ide awal buku memberikan gambaran secara umum bagaimana seharusnya pengarang sastra, karya sastra, dan pembaca teks (karya sastra) dalam menjelajahi dunia sastra. Para ahli sastra sering mengatakan,-yang menetukan makna sebuah karya sastra bukanlah pengarangnya, tetapi pembaca. Pengarang bias disebut “sudah mati”(the author is dead), pengarang tidak berkuasa lagi dengan apa yang telah ditulisnya, teks sepenuhnya menjadi milik pembaca. Karya sastra sebenarnya adalah taman tempat bermain-main, dan berimajinasi dengan bebas(14). Dia memberikan contoh Supernova karya Dee yang menjadi bahan diskusi interaktif menarik dengan pembaca Supernova di hompage truedee.
Esei kedua dalam buku ini, “ Dukun dan Dokter dalam SastraIndonesi” memuat sastra pasca-kolonial dan budaya hibrid Indonesia yang sangat sedikit peminatnya dan jarang diperhatikan oleh pengarang perempuan. Katrin mengambil tema Perdukunan dan kedokteran, karena di Indonesia , perdukunan dan kedokteran tidak pernah menjadi dua kekuatan oposisi yang berhadapan secara frontal seperti dalam novel Lourdes karya sastrawan Prancis Emile Zola (1894). Dalam konteks zamannya waktu itu, Zola menegaskan lewat Lourdes bahwa “keajaiban” yang terjadi di Laurdes sebetunya dapat dijelaskan secara medis sebagai sesuatu alami dan tidak ada ajaibnya. Sedangkan dalam karya sastra Indonesia pengarang masih ragu-ragu dalam mengungkap hal semacam itu, lihat saja seperti Ni Rawit, Ceti penjual orang kaya AA. Pandji Tisna (1935), Siti Nurbaya karya Marah Rusli (1922), Para Priyayi karya Umar Kayam (1992) disamping itu tokoh dukun dikonotasikan dengan hal-hal negative, ilmuny palsu dan takhayul sepeti dalam novel Salah Asuhan karya Abdoel Moeis (1928). Namun, cerpen karya Idrus (1948) memberikan hal yangsanagt berbeda dengan sastrawan sastrawan diatas tadi. Idrus dengan sangat tajam menyoroti persoalan negara pascakolonial seperti Indonesia.
Beberapa judul esei Katrin tidak lepas membahas masalah sastra pascakolonial, esei Nyai Dasimah dan Nyai Ontosoroh: Sebuah Intertektualitas Pascakolonial, memuat masalah Intertektualitas antara Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan salah satu cerita nyai dalam buku Tempoe Doeloe karya Pramoedya Ananta Toer, Tjerita Njai Dasima karya G. Franscis, ada kemiripan antara Njai Dasima Nyai dan Ontosoroh salah satu tokoh utama dala Tetralogi Buru karya Pram. Namun, Nyai Ontosoroh versi Pram sebagai “Nayi” yang sama sekali baru: cerita nyai lebih ditekankan kritik terhadap budaya Jawa dan kolonialisme. Cerita dalam novel ini ini juga memberikan gambaran tentang perempuan dan seks, tetapi masih tergolong “cerita porno” kuno, tidak, seperti sekarng ini.
Bahasan tentang sastra pascakolonial juga dalam esei, “Tetapi Kutukanku Akan Terus Berjalan”. Esei ini sebagai respon terhadap Maman S. Mahayana ketika mengkritisi novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan dengan tidak adil. Maman menganggap itu adalah novel “ngawur”, novel itu menceritakan sejarah versi Eka sendiri, dan penciptaan versi alternatif sejarah Indonesia dengan gaya mimpi atau gaya main-main. Versi sejarah Eka bukan berdasarkan pad fakta sejarah, tapi itu adalah sejarh produk fantasi. Lebih parah lagi, Maman menggapa novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan, sebagai novel gagal. Esei Katrin yang berjudu Dirgrace J.M. Coetzee membahas tentang sastra colonial dan pascakolonial, gender, dan pengalaman perempuan yang dipersoalkan (121).
Salah satu aspek politik sastra Indonesia yang lain dibahas dalam esei Sastra Koran di Indonesia. Menurut Katrin koran di Indonesia menempati tempat yang luar biasa yaitu sebagai publikasi sastra, sehingga karya sastra yang dimuat di koran di sebut “sastra koran”. Berbeda dengan di Jerman “sastra koran”itu tidak ada, karya sastra hanya dimuat di media-media tertentu.
Kritik-kritik Katrin terhadap kaya sastra pengarang perempuan dan seks sebagai tema karya sastra, pada bagian keenam sampai terakhir buku ini. Dalam esei keenam, Religiusitas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia , “religi” disini dipahami sebagai konsep yang mencakup segala macam kepercayaan akan adanya hubungan manusia dengan kekuatan supranatural. Pengrang perempuan tidak seperti yang dituduhkan selama ini, bahwa mereka sama sekali telah meninggalkan moral dan agama. Religiusitas disini bukan dalam arti yang sempit, seperti dalam empat novel karya tiga Pengarang perempuan Indonesia yaitu Dee , Ani Sekarningsih, Clara Ng.
Esei Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, kisah tragis keluarga yang tidak bahagia. Dalam masslah pendobrakan, pendobrakan tabu ala Eka ada yang baru, tidak seperti pendobrakan tabu ala Ayu utami. Meskipun ini termasuk novel psikologi tokoh Lelaki Harimau tidak dapat sepenuhnya dipahami dan dijelaskan secara psikologi. Plot yang menunjukkan rumitnya hubungan manusi inilah merupakan pendobrakan tabu yang sebenarnya (99).
Esei Vagina yang Haus Sperma: Heteronormatifitas dan Felosentrisme Ayu utami, mengangkat katya Ayu Utami Saman (1998) dan Larung (2001), karya-karya ini lebih dikenal sebagai “keterbukaan baru” dalam membicarakan seksualitas. Namun, di dalamnya ada ambivalensi. Represi seksualitas karya Ayu Utami memiliki pesan yang eksplisit, yaitu membicrakan seks dengan sangat terbuka, provokatif, menolak felantropisme pad umumnya mengakui orientasi seksual yang plural. Reperesi hubugan homoseksualitas perempuan dengan perempuan Saman dan Larung ternyata, justru mereproduksi tereotipe yang sangat tidak menguntungkan bagi perempuan.
Esei yang berjudul Incest, sebenarnya adalah judul karya Wayan Artika yang ber-setting budaya local Bali, karya ini bias dianggap “biasa-biasa saja”, tetapi membuka gejolak yang begitu hebat dan berakibat buruk bagi Wayan Artika sebagi penulis novel Incest. Incest, merupakan ungkapan seksual yang paling keras terhadap larangan seksual yang lain. Incest dalam kasus ini bukan hanya sekedar istilah antropologi yang diskriptif, melainkan sebuah penilain yang mengandung penolakan dan kritikan.
Bagian terakhir buku ini ditutup dengan esei yang berjudul Nayla: Potert Sang Pengarang perempuan sebagai Selebriti. Esei ini berisi kritik-kritik tajam pada Djenar Maesa Ayu, sebagai pengarang Nayla. Novel Nayla, eksplorasi seksualitasnya memang sangat terbuka. Namun, plot ceritanya tidak tersusun secara kronologis atau plotnya melompat-lompat, plot cerita novel ini sama sekali tidak jelas kontibusinya bagi seluruh novelnya, eksplorasi psikologi novel Nayla kurang meyentuh. Perujukan karya-karya Djenar yang lain dalam novel Nayla dan karya karya lainay bias dipahami sebagai bagian dari “pemainan gaya” untuk “mencanggihkan” karya belaka(155).
Meskipun buku ini kumpulan tulisan Katrin yang sudah dipublikasikan di berbagai media massa dan dengan tema-tema sangat beragam pula, mengambil judul Sastra, Perempuan Seks, (setidaknya) menjadi “katakunci” munculnya dalm melihat fenomena pengarang perempuan yang butuh pengamatan kritis dan adil dari pengamat-pengamat,kritikus dan penikmat sastra. Untuk perkembangan sastra Indonesia , argumen-argumen dan kritik tajamnya merupakan sebuah kehormatan dan kontribusi sangat besar bagi sastra Indonesia .
Judul : Sastra, Perempuan, Seks
Penulis : Katrin Bandel
Penerbit : Jalasutra, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, 2006
Tebal : xxii + 166 Halaman
___26 Maret 2012
Dijumput dari: http://banyuarum.blogspot.com/2012/03/kritik-sastra-katrin-bandel.html

0 comments:

Post a Comment