Pages

Tuesday 10 April 2012

Gerak Teks Membaca Teks


Gerak Teks Membaca Teks
Posted by PuJa on April 9, 2012
Ahmad Khotim Muzakka *
http://www.seputar-indonesia.com/

APAjadinya kehadiran karya sastra tanpa ada pengkajian terhadap yang ditulis seorang pengarang? Berkemungkinan besar karya tersebut bakal usang meski mendapat apresiasi hangat dari sidang pembaca dengan pembuktian angka penjualan yang menjulang.
Namun, bagaimana menyiasati agar karya sastra tetap menempati posisinya sebagai “yang kontekstual” dan mampu “membacakan diri”kepada pembacanya.Inilah tantangan berat yang dihadapi dunia sastra. Buku Dari Zaman Citra ke Metafiksi memuat beragam tulisan mengenai itu.Penulis dalam buku ini,Adrianus Protiono, Arif Bagus Prasetyo, Arif Hidayat, Baban Banita, Bandung Mawardi, Bramantio, Irsyad Ridho, Katrin Bandel, Manneke Budiman, Ridha Al- Qadri,Tia Setia,Tirto Suwondo,dan Tjahyono Widijanto, mencoba membacakan interpretasi mereka dengan sangat impresif. Mereka membedah dengan pelbagai kajian dan alat kupas kebahasaan.
Karya-karya Nukila Amal mendapat apresiasi nyaring dari para penulis. Mengawali perbincangan tak biasa ini, Bramantio menjejali kita dengan ulasan panjangnya dalam Metafiksionalitas Cala Ibi: Novel yang Bercerita dan Menulis tentang Dirinya Sendiri(halaman 11–118). Karya Nukila Amal diulas lewat Dari Jagat Fantasi,Konsep-Konsep Sufistik Hingga Sihir Retorika: Telaah atas Novel Cala Ibi oleh Tjahjono Widijanto dan Arif Bagus Prasetyo menggarap Tamsil Tentang Zaman Citra: Perihal Segugusan Cerpen Nukila Amal.Pelbagai apresiasi ini menumbuhkan optimisme bahwa perhatian terhadap karya sastra bermutu akan jadi tradisi “kecil” dalam masyarakat pembaca sastra Indonesia.
Membaca buku ini, pembaca juga ditawari gelitikan demi gelitikan dari proses penulisan gagasan setelah melakukan pembacaan.Tia Setiadi menyajikan dua tulisan sekaligus lewat Benda-Benda,Bahasa,dan Kala yang mengulas buku Afrizal Malna,Teman-Temanku dari Atap Bahasa dan Religiusitas dan Erotika dalam Sajak-Sajak Acep Zam-Zam Noor. Pada tulisan pertama,dia menafsiri kata demi kata yang “dilemparkan” Afrizal Malna.Dia terkesan dengan jabaran Afrizal dalam sajak “Warisan Kita”. Bahkan, hingga pada penyimpulan “bahwa manusia hanyalah seserpih kata benda dalam sistem tata surya bahasa dan galaksi benda-benda”(halaman 133). Seirama dengan yang dilakukan Tia Setiadi,Bandung Mawardi mengulas dengan kekuatan kata yang membahana. Lewat Rumah, Puisi, Penyair (Kisah Rumah: Perpuisian Indonesia Modern) dan Humor yang Politis,Humor yang Tragis(Mengingat Yudhis,Menikmati Jokpin).
Pada yang pertama,dia mengajukan ragam problema mengenai rumah.Dia menandai imajinasi rumah yang selama ini dijadikan biografi kehidupan para penyair.Penyair yang diidentifikasi Bandung peka diksi rumah, yakni Hamzah Fansuri, pada akhir abad XVI,Chairil Anwar dalam puisi “Rumahku”, SitorSitumoranglewat “Rumah”, AD Donggo dengan “Rumah Asal”, “Kematian Rumah” Afrizal Malna,dan lain sebagainya.Kesadaran terhadap hal sepele ini memberi kesan tersendiri bagi Bandung tentang keabaian penyair terhadap eksistensi “rumah”ideologisdangeografis.
Sisi kehumoran Yudhis dipaparkan Bandung lewat puisi berjudul “Sajak Sikat Gigi”,berbunyi: Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur/ Di dalam tidurnya ia bermimpi/ Ada sikat gigi menggosokgosok mulutnya supaya terbuka// Ketika ia bangun pagi hari/ Sikat giginya tinggal sepotong/ Sepotong yang hilang itu agaknya/ Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali//. Bandung menilai puisi ini melakukan eksplorasi estetika dari peristiwa biasa dalam keseharian. Dalam buku Manusia dan Kritik Prof Dr R C Kwant mengurai ihwal kritik. Kritik tak boleh dilontarkan seseorang bila tak mengetahui bagaimana “yang seharusnya” objek yang dikritik.
Dalam struktur kebahasaan, kritik berasal dari bahasa Yunani krinein, artinya memisahkan, memerinci. Bagi saya, hampir semua tulisan dalam bunga rampai ini hanya mengimani satu sisi kritik, yaitu memerinci dan bukan memberikan gagasan yang seharusnya mengenai sastra yang dikritik. Berbeda dengan pengulas yang lain, Tirto Suwondo mengajukan pertanyaan penting bagi perkembangan sastra Indonesia. Dia menilai belum satu pun ditemukan novel polifonik sejak awal abad ke-20 hingga memasuki abad ke-21.Baginya, novel polifinik adalah novel yang mengandung banyak suara, kesadaran,dan gagasan.
*) Ahmad Khotim Muzakka, bergiat di Pesanggrahan Kalamende Semarang. /22 January 2011

0 comments:

Post a Comment