Pages

Tuesday 10 April 2012

Mbah Tajib Pengamen Lagu Jawa


Mbah Tajib Pengamen Lagu Jawa
Posted by PuJa on April 9, 2012
Putri Utami *
__Radar Mojokerto, 18 Maret 2012

Saya menjumpai Mbah Tajib secara kebetulan ketika nyambangi bayi dan sekaligus mencari bahan untuk tugas skripsi pada Jum’at, 2 Maret 2012, ke rumah seniman senior yang akrab dipanggil Mbah Catur dan Riris D. Nugraini yang kini menjabat kepala desa Mojowarno Jombang. Di tengah perbincangan dengan tuan rumah, terdengar sayup suara siter menggalun. Mbah Catur menebak bahwa itu pasti Mbah Tajib pengamen siter langganannya yang sering mampir. Mbah Catur pun memanggil Mbah Tajib ke ruang tamu, dari peristiwa itulah catatan ini tertuang.
Bagi desa-desa di kawasan antara Cukir hingga Mojowarno tidak asing lagi dengan sosok Mbah Tajib, seorang yang berperawakan tanggung, bergigi ompong, memakai kopyah dan menenteng alat musik tradisional siter. Kakek lanjut usia yang mengaku kelahiran tahun 1930 tersebut kesehariannya berjalan mengamen keliling desa. Sesuai dengan alat musiknya, Mbah Tajib selalu menyanyikan tembang-tembang Jawa, parikan dan gandangan tidak ubahnya pelawak ludruk atau pesinden.
Yang menarik dari sosok Mbah Tajib sebagai seniman tradisional kelahiran desa Mengantuh, kecamatan Mojowarno tersebut dalam kiprah mengamennya tidak hanya menembang, tetapi diselingi dengan cerita semasa hidupnya. Maka tidak heran jika di tengah menyanyikan tembang Mbah Tajib seketika brebes mili (berlinangan air mata) karena teringat jaman susah waktu penjajahan Jepang dan Belanda. Pada tembang Caping Gunung misalnya, Mbah Tajib menceritakan kondisi tentara pejuang gerilya Indonesia yang tersebar di setiap desa “mergo Suroboyo dibom,” (cerita Mbah Tajib mengenang peristiwa 10 Nopember 1945). Tentara yang menginap di perkampungan hanya mengharap makan dari jatah pemberian warga desa yang dipandang mampu (baca:kaya) waktu itu. “Saking kepingine ngucapno maturnuwun nyang wargo deso, tentara gerilya sering ujar; besok lek wes merdeko, kulo tak dolan mriki. Tapi ora iso, obo wes merdeko poro tentara keburu dipensiun. Mulane nyipto lagu Caping Gunung, supoyo eling jaman berjuang biyen,” cerita Mbah Tajib di sela melantunkan lagu Caping Gunung.
Inilah yang membedakan Mbah Tajib dengan penyanyi moderen dalam membawakan lagu. Meski beberapa tahun belakangan tembang Caping Gunung digarap dengan musik orkes melayu, tetapi tidak bisa membuat pendengar tersentuh hatinya. Sebab penyanyi moderen tidak mengalami memori sejarah sebagaimana yang dialami Mbah Tajib selama hidupnya. Selain itu, sebagai orang lawas, Mbah Tajib tidak bersedia menyanyikan lagu-lagu moderen. Ia mempunyai alasan tersendiri, “mergo syair sakniki boten cocok kaleh geguritane Sunan Kalijogo, kulo boten wantun, mergo tembang niku isine piwulang.” Itulah alasan Mbah Tajib hanya menyanyikan lagu Jawa.
Pemandangan serupa Mbah Tajib pasti dijumpai di berbagai wilayah Indonesia. Kengenesan khas nasib seniman yang hidup di negara dengan iklim pemerintahan kurang mendukung kiprah seniman, kecuali sebatas kepentingan. Meski Mbah Tajib tidak setenar WS. Rendra, namun bergaris nasib sama, yakni jiwa kesenimanannya tidak dihargai oleh pemerintahan negara yang dihuni dan dipatriotinya. Keterjungkirbalikan sikap pemerintah Indonesia tergambar dalam potret peristiwa meninggalnya WS. Rendra yang tidak dilayat oleh kepala negara. Padahal meninggalnya Mbah Surip, seniman yang kondang dadakan di akhir hayatnya justru dihadiri presiden. Sedangkan Mbah Surip selama hidupnya mondok di bengkel kesenian yang dibangun WS. Rendra.
Demikian juga keterpurukan nasib yang dialami WS. Rendra dan Mbah Tajib tidak sebanding Leo Tholstoy. Jiwa militansi berkesenian Leo Tolstoy hingga ditentang keluarga dan bercerai dengan istri sebab hartanya didermakan untuk penerbitan buku murah dalam rangka meringankan minat baca. Akhirnya Leo Tolstoy meninggal di trotoar jalan sebagai gelandangan.
Kesamaan Mbah Tajib dengan Mbah Surip justru pada kepolosannya dalam berkesenian. Seperti dirumuskan oleh Tjahyono Widijanto (sastrawan bersaudara kembar Tjahyono Widarmanto asal Ngawi yang keduanya kini mendosen di STKIP setempat) dalam esai bertema Mbah Surip (dimuat DAMAR, majalah kampus, edisi September 2009), Tjahyono Widijanto menilai bahwa kepolosan dan kegampangan lagu Mbah Surip nyata menghenyakkan hukum panggung hiburan yang selama ini terkesan: waow, klip mewah, rapi, indah, jelimet, gemerlap, mendayu, bernarasi cinta putri raja, mimpi, ilusi dll, yang kesemuanya meninabobokan masyarakat. Kehadiran Mbah Surip dengan penampilan sederhana, gampang, tidak ngoyo, rilek, tidak ber-make up diri, menjadikan masyarakat seperti berkaca pada problematika keseharian. Masyarakat yang mengaca pada dirinya sendiri.
Begitu juga kepolosan Mbah Tajib, gigi palsu yang dibelikan anaknya membuat tidak nyaman dalam bernyanyi. “Lanek damel untu palsu niku, obahe lambe boten enak disawang tiyang.”
Pada misinya Mbah Tajib juga mengeksplorasi beberapa bahasa selain Jawa. Dengan harapan supaya gampang menjelaskan artikulasi bahasa yang dinyanyikan ke yang dipandang memerlukan. Cara demikian disebabkan jam terbang Mbah Tajib yang kerap ditanggap anak pondok Tebuireng, terutama santri dari luar Jawa. Teori adaptasi dengan kawan bergaul tersebut, Mbah Tajib meniru cara Jepang dan Belanda yang juga menjajahkan bahasanya di Jawa. Untuk mencontohkan pengaruh bahasa penjajah, Mbah Tajib lalu menyanyikan lagu berbahasa Jepang dan Belanda yang dinyanyikan prajurit dalam latihan baris-berbaris (saya sulit mencatatnya).
Selaku orang tua yang kenyang makam garam, isi cerita Mbah Tajib tergolong berbobot, menyikapi penjajahan Belanda dan Jepang misalnya, ia menyimpulkan “mulane politik iku sampek akhir jaman, gak iso entek! Lanek gak gelem politik, yo ayo ngamen koyo aku iki!”
Jiwa berkesenian Mbah Tajib berpengaruh pada keharmonisan rumahtangganya, terhitung hingga melewati usia 80 tahun, ia tetap kompak dengan istri dalam menyelesaikan masalah. Namun sang istri tidak diajak riwa-riwi berkesenian seperti dulu lagi. Sang istri kini menekuni pekerjaan sebagai jasa tukang pijat. Menyuplik sikap pengertian sang istri yang ditirukan Mbah Tajib, “owala pakne, riko wes ojo ngamen, suworo riko iku wes gak penak, dungaknoae aku sedino oleh pasien ping pindo, cukup tak gae ngingoni riko.”
Tidak hanya jiwa kesenimanan Mbah Tajib yang loyal, kedalaman spiritualitas juga tegar. Ini terdengar ketika ia mengudal wirid, “sejatine ingsun iku dzatulloh, sifatulloh…dst, aku lanang iki yo mergo dzatulloh, sifatulloh,” ilmu thariqat yang dilakoninya dari KH. Adlan Ali Tebuireng.
Ganjil rasanya menyimak keberadaan Mbah Tajib jika dihadapkan dengan ketimpangan wakil rakyat di Indonesia. Alangkah bernilainya jika satu waktu ia diundang dan ditanggap menyanyi di hadapan seluruh wakil rakyat daripada sekedar acara sidang anggota dewan yang ujung-ujungnya hanya mengatur aliran uang ke kantong sendiri.
____________________
*) Putri Utami, sedang mendalami Bahasa dan Sastra Indonesia di kampus STKIP PGRI Jombang, angkatan 2008. Beralamat rumah di: JL. Agus Salim, desa Losari, kecamatan Ploso-Jombang (PO. Primus).

0 comments:

Post a Comment