Pages

Thursday 5 April 2012

Rahasia dan Godaan Puisi


Rahasia dan Godaan Puisi
Posted by PuJa on April 4, 2012
Ribut Wijoto
http://terpelanting.wordpress.com/

Ajaib! Puisi, tulisan dengan minimalitas kata, sanggup meraih kompleksitas hidup. Kecermatan paparan kisah dan kerasnya bangunan konflik antar tokoh dalam beratus lembar halaman novel, disejajari oleh puisi yang hanya terdiri satu atau beberapa lembar halaman.
Puisi pun, tidak seumur penciptanya, mampu menerobos sekat-sekat zaman. Misalnya puisi “Bukan Beta Bijak Berperi” dari Rustam Effendi. Sejak perang kemerdekaan hingga kini masih terasa kebagusannya.
Apakah yang terjadi pada kinerja puisi? Mengapa puisi mampu menempuh keajaiban? Masih adakah kemungkinan lain bagi gagasan penampakan puisi? Untuk mengapresiasi pertanyaan-pertanyaan tersebut, tulisan ini mengadopsi beberapa pemikiran Jean Baudrillard. Sejauh berguna bagi kinerja puisi.
Baudrillard dikenal sebagai tokoh paling provokatif dekade terkini. Pemikiran tentang simulakra—penisbian nilai guna dan nilai tukar—serta sikap nihilisme ekstremnya merombak pemahaman manusia atas kenyataan. Gejala demikian tentu tidak patut diabaikan dalam diskusi puisi.
Disebabkan berangkat dan akan berakhir pada puisi, pemikiran Baudrillard tidak dapat diharapkan tersaji ketat. Bahwa setiap pemikiran layak dan sah untuk dipertambah-reduksi, diperkaryakan, dan digesek-gesek dengan khasanah lain. Baudrillard berkarib-tengkar dengan puisi.
Keabadian Rahasia
Puisi “Genesis” (antologi Nonsens, 2000: 52-53) karya Sitok Srengenge hanya berkisah hubungan laki-laki dan perempuan. Naluri ular nyembul di pinggul perempuan menggelinjang, jemari lelaki mencengkeram gunung. Sebuah kisah klasik, bahkan klise. Tapi, puisi ini bagus dan cerdas.
Pada puisi Sitok Srengenge, mungkin sekali, kalau tidak benar sama sekali, telah beroperasi keajaiban kinerja sebuah rahasia. Puisi ada sebab ia rahasia.
Rahasia. Ini adalah lawan dari komunikasi, dan tidak dapat dibagi (Baudrillard, 1990: 23). Kata-kata yang tidak menginformasikan makna sebenarnya. Kata-kata bergerak ke mana saja, di seputar makna tanpa pernah mengungkapkan makna itu sendiri. Para pelaku terangsang, selalu terangsang, bertukar pendapat. Terlibat aktif merakit perangkat makna agar terkenali. Tapi setiap usaha untuk mengungkapkan makna akan sia-sia, tiada kata untuk membuka rahasia. Setiap gerak kata berposisi di luar makna.
Larik puisi Sitok Srengenge tersebut menggambarkan adanya peristiwa. Lanskap seksualitas. Siapa pelakunya, bagaimana detailnya, bertempat di mana, adakah orang lain di situ: tidak terkomunikasikan. Rahasia melingkup. Pembaca hanya berhak terjun ke sumur adegan, tanpa mampu mengenali seluk beluknya.
Posisi ketidakkenalan inilah yang membuat puisi jadi luar biasa. Pembaca, ketika terjun, merasakan kesendirian yang lengkap. Tidak diusik dan tidak mengusik orang lain. Pembaca boleh memilih orang-orang imajiner, tempat imajiner, atau pola adegan imajiner. Bertanggung jawab atas diri pribadi. Karena puisi adalah rahasia, pembaca pun terbang dalam sayap-sayap kerahasiaan.
Rahasia. Baudrillard, sambil bersepakat dengan Kierkegaard, mengambil analogi rahasia pada daya pancar seorang gadis. Seorang lelaki tertarik pada gadis sebab seorang gadis muncul padanya sebagai rahasia. Perhatian pria terangsang untuk menjamah dan memecahkan rahasia tersebut.
Apakah seorang gadis, pemilik daya pancar adalah seorang gadis yang selalu bersembunyi di rumah? Atau, gadis yang kalau berpergian senantiasa memakai cadar? Bukan. Gadis berdaya pancar adalah gadis yang tidak canggung bergaul, baik di lingkungan perempuan maupun laki-laki.
Sang gadis berkomentar terhadap fenomena yang mesti diberi komentar. Tubuhnya dirias selayaknya gadis lain. Rahasia gadis merebak, justru, karena membuka diri. Rahasia ada bukan karena dirahasiakan tetapi karena memang rahasia terletak di ketiadaan.
Adegan seksual dalam puisi Sitok Srengenge bersifat rahasia justru karena kejelasan gambarannya. Saking jelasnya, ketika dimasuki, pembaca tidak menemukan sisi gelap sedikitpun. Jalinan kata yang menolak untuk didefinisikan. Setiap usaha untuk mendefinisikannya hanya akan mempersempit potensi teks. Menjelma pemaksaan struktur. Menciptakan wacana percabulan pesona rahasia puisi.
Kepalsuan Godaan
Kalimat-kalimat dalam puisi Sitok Srengenge seakan dekat dengan perihal paling terang dari pengalaman, sekaligus jauh dari klaim atas fakta. Pada dataran inilah berlaku prinsip-prinsip bujuk-rayu. Puisi tidak terletak pada aras kefitrahan tetapi pada kepalsuan. Seakan-akan benar. Puisi seakan mengajak mencari kebenaran, padahal yang ditawarkan berputar-putar makin jauh dari tujuan.
Kepalsuan ini menyebabkan setiap ideologi besar, setiap klaim atas kebenaran, senantiasa menjaga jarak dengan puisi. Ketika puisi masuk dalam ideologi maka ideologi tersebut menjadi seakan-akan benar. Padahal kebijakan ideologi adalah penerimaan kebenaran secara mutlak. Kebenaran ideologi bagi ideologian tidak mungkin terbantah.
Puisi justru sebaliknya, prinsip tanpa kebenaran mutlak dijadikan sandaran operasional. Atas dasar ini, puisi sering mendekati dan meminjam wacana-wacana mapan. Sitok Srengenge, misalnya, mengambil dari Al Kitab, Genesis.
Usaha godaan tentu bukan tanpa pamrih. Ia menanti-nantikan rusaknya setiap tatanan keilahian, termasuk tatanan produksi dan hasrat… Setiap wacana diancam dengan penjungkiran tiba-tiba, terserap ke dalam tanda-tandanya sendiri tanpa jejak makna (Baudrillard, 1990: 3). Sementara puisi menampakkan diri terhadap ideologi dalam rupa memabukan: godaan. Ajakan yang sulit diabaikan.
Wanita Penggoda
Baudrillard membagi godaan dalam dua wilayah penjaga gender. Wanita penggoda dan pria penggoda. Di sini, pembicaraan puisi cukup dengan kasus pertama, wanita penggoda. Kasus kedua masih terlalu sulit merepresentasikan kinerja puisi.
Perilaku godaan termasuk perilaku penuh jebakan. Menggoda berarti menjauhkan obyek dari kebenaran. Jebakan tertinggi wanita penggoda adalah ketika ia berkata: “Katakanlah padaku siapa aku,” ketika dia tidak peduli pada apakah dia, ketika dia adalah hampa, tanpa usia ataupun searah (Baudrillard, 1990: 138-139). Pria ditantang atau pun dipaksa untuk merespon godaan. Wanita penggoda hadir dalam suatu proyek yang belum selesai. Tanggung jawab pria untuk menyelesaikannya.
Agar pria tergoda, masuk dalam permainan, wanita penggoda mesti mengkesankan rapuh. Struktur permainan tawaran wanita penggoda seakan terbuka untuk direlief ulang. Pria akan menandaskan kegagahannya lewat permainan ini. Aturan-aturan mainnya pun dapat diotak atik. Mudah disesuaikan dengan kemampuan andal pria. Wanita penggoda bersiap menggelar diri. Pasrah dijadikan lahan permainan hasil tentuan pihak pria tergoda.
Wanita penggoda terus membuka diri. Segala tindakan dilakukan asal permainan nyata berlangsung. Pria ditantang atau diseret-paksa mendaftar pada pertaruhan, dengan besar kemungkinan hanyalah kemenangan. Wanita penggoda tidak akan sungkan-sungkan untuk berseru: “Masuk sajalah, tidak ada siapa-siapa di sini. Bahkan, diri kami juga tak ada” –meminjam kalimat puisi Afrizal.
Adapun puisi, mengacu pada wanita penggoda, menawarkan dirinya kepada pembaca. Operasional penafsiran tematik. Puisi membuka diri terhadap pelekatan tema-tema penafsiran. Pembacalah yang diminta memasukkan tema aktual. Puisi memang hadir sebagai sebuah tubuh, tetapi tubuh yang tersusun dari kekosongan tema. Puisi mengundang pembaca untuk mengisi kekosongan tersebut.
Wanita penggoda dan puisi sama-sama menantang atau memaksa pihak lain terlibat aktif dalam permainan penafsiran. Keduanya memusar, memusari pihak-pihak agar terjun pada kedalaman sumur godaan. Perbedaan keduanya hanyalah pada perangkat-perangkat godaan.
Wanita mengundang pria dengan tubuh, dengan tata gerak, dengan perhatian, dan dengan totalitas penampakan. Semuanya, semua yang ada pada wanita, adalah palsu.
Puisi mengundang pembaca dengan kata-kata, dengan ritme, dengan kisah, dan dengan seluruh konsep tentang puisi. Ini juga palsu.
Tubuh wanita yang dapat ditemui di beranda rumah, di keramaian jalan, di kampus, apalagi di malam-malam agak remang bukanlah tubuh yang sebenarnya. Tubuh yang dikenakan untuk menghapus tubuh sebenarnya. Sebuah strategi godaan. Wanita sadar akan tranformasi ini ketika, di depan cermin, mereka harus menghapus mereka sendiri untuk memakai make-up, dan ketika, dengan memoleskan make-up, mereka memaksa diri mereka masuk ke dalam penampakan murni yang hampa akan makna (Baudrillard, 1990: 149). Tetapi, penghadiran tubuh palsu wanita penggoda tidak pernah berlari jauh dari tubuh sebenarnya. Ada jejak-jejak tubuh alami.
Pada lipstik yang dikenakan wanita masih dapat direka-telusuri rupa bibir dari seorang wanita. Pertama, lipstik dipasangkan pada permukaan bibir. Kedua, lipstik mengikuti konstruksi-konstruksi bibir. Ketiga, lipstik mengambil warna dari warna-warni bibir. Keempat, lipstik berusaha melebihi pesona bibir. Upaya penghancuran diri dimaksudkan agar pria tergoda dan masuk mencari makna utuh diri wanita.
Begitu juga tata gerak wanita penggoda. Ketika mata wanita dikerjap-kerjapkan, dibinarkan, dibikin bercucurkan air, dibikin sayup, mengerdip, membelalak, menyorot amat tajam. Tata gerak tersebut terjadi berkat latihan rutin seumur hidup. Tujuannya jelas, perhatian pria ingin diserobot. Sebuah kesengajaan yang cepat terbongkar kepalsuannya bila dipersandingkan dengan tata gerak mata seorang gadis berusa 21 tahun, yang tolol sejak lahir. Begitulah, totalitas penampakkan wanita bukan merupakan penampakan alami.
Kata-kata dalam puisi juga hasil penghancuran dari kata-kata yang sebenarnya. Puisi dengan persekongkolan lariknya membawa kata berputar menjelajah makna-makna baru. Ini sejalan dengan pendapat aliran Formalisme Rusia, terutama G. Von Spett (1923) tentang kebenaran jenis ketiga.
Karya sastra (baca: puisi) memproduksi kebenaran puitik, kebenaran jenis ketiga. Kebenaran pertama adalah empirik atau yang terjadi dalam kenyataan. Kebenaran kedua adalah akal atau masuk dalam kategori rasionalitas. Ironisnya, kebenaran puitik tidak harus berhubungan langsung dengan dua jenis kebenaran lainnya. Yang sering terjadi, puisi berupaya merapuhkan dua jenis kebenaran tersebut.
Kepalsuan godaan. Puisi “Pleuvisme De Kuta” (antologi Menguak Tanah Kering, 2000: 23) milik Deni Tri Aryanti misalnya. Payung-payung pendopo agung tampak kian gemetar, seperti lidah api. Menghadapi baris puisi demikian, pembaca digoda menjelaskan sebuah kalimat yang tidak utuh. Kerja tafsir. Pembaca dengan referensi literal—arti kamus—dari tiap kata tertantang menggerakan teka-teki antar kata.
Begitu proses penafsiran berlangsung, pembaca terjebak dalam ritus permainan tanpa akhir. Jebakan simulakra. Kata yang merujuk pada benda tertentu dan peristiwa tertentu menjadi pecah. Setiap kata di puisi tersebut jadi terasing dari makna aslinya.
Pesona puisi membetot pembaca dan membuatnya tidak bisa keluar. Rakitan kata puisi, saking rapuhnya, sanggup menerima bermacam-macam alur kisah dan bermacam-macam tema penafsiran. Tumpah ruah makna dapat direngkuh. Ialah justru dengan kesederhanaannya, justru dengan kepalsuannya terhadap kata.
Adanya kompleksitas alur dan tema, tumpah ruah makna dapat dipahami sebagai ketiadaan makna. Sama seperti runutan logika: karena semua motor bagus maka tidak ada motor bagus. Semuanya buruk. Pada kebenaran puisi tersebut, kealamiahan/ keyakinan kebenaran empirik dan kebenaran akal dihapus. Pembaca, dengan begitu, terus tergoda memproduksi makna. Tragis! Sama seperti seorang pria yang berusaha meniupkan ruh pada wanita dalam pikiran. Sia-sia. Tetapi, kegiatan ini tetap harus dijalani sebab hasrat tidak dapat dicegat.
Rahasia itu indah, godaan itu indah; puisi belum saatnya untuk mati.
–––––– Studio Gapus
Dijumput dari: http://terpelanting.wordpress.com/page/9/

0 comments:

Post a Comment