PAHLAWAN
Posted by PuJa on April 3, 2012
Sam Edy Yuswanto
__Radar Surabaya, 13 Nop 2011
Saparua, Maluku, 4 April 1817 M
Malam kian hening. Gelap kian terasa kelam tanpa purnama berjelaga di angkasa raya. Pula, tak terlihat setitik pun kerlip bintang di atas sana. Mendung yang bergulung ingin menguasai luasnya lelangit, menambah gerahnya hawa seisi mayapada hingga menyusupi celah-celah dinding kayu sebuah rumah di sebalik bukit yang dikelilingi rerimbun pepohon dan ilalang.
Setahun silam, saat Belanda kembali menguasai Maluku, warga kembali dibuat menderita. Mereka dipaksa kerja rodi, tanpa sepeser pun upah. Semua hasil rempah-rempah yang telah susah payah mereka tanam dengan kucur keringat, wajib disetor pada pemerintah Belanda. Hingga akhirnya, penduduk Maluku mulai hilang kesabaran, lantas menyatukan kesepakatan ingin melawan kesewenangan pemerintah Belanda itu. Dan perlawanan mereka membuahkan hasil. Rakyat Maluku bisa merebut kembali pulau Saparua. Kemenangan itu membuat semangat mereka untuk memberontak kaum penjajah kian berkobar. Persis bara api yang terguyur hujan bensin dari langit.
“Pokoknya kita rapatkan barisan, usir penjajah itu hingga tak tersisa dari tanah kelahiran kita ini!”
“Setuju!” serempak.
Sepuluh pria (empat usia baya, selebihnya pemuda) sejak bakda Isya, di sebuah rumah kayu beratap daun rumbia, tengah serius merancang target selanjutnya; merebut kembali benteng Duurstede yang berhasil dikuasai oleh Belanda. Dan, pertemuan di malam kelam itu memutuskan; lusa, mereka akan mulai melancarkan aksi pemberontakan pada kolonial Belanda. Thomas Matulessy—pemuda terkenal paling gigih menyuarakan pemberontakan—yang didaulat untuk memimpin pasukan mereka.
***
Saparua, Maluku, 16 Mei 1817 M
Langit di malam tanggal tujuh belas tampak bersih. Tak ada gemulung awan yang berusaha menodai lelangit yang terlihat benderang. Bulan yang nyaris sebulat purnama kian mentasbihkan bahwa malam itu memang pantas dinobatkan sebagai malam cerah buat berpora; merayakan kemenangan penduduk Saparua yang telah sukses merebut kembali benteng Duurstede yang sebelumnya dikuasai oleh tentara Belanda.
Gelak tawa sesekali memecah hening malam yang lumayan dingin. Ah, mereka baru menyadari, telah lama mereka tak bisa sebebas itu tertawa, menikmati waktu dengan santai dan tenang, diiringi semilir angin malam yang mampu mengusir gulana yang menggerahkan jiwa kaum yang telah lama teraniaya.
Wajah-wajah mereka terlihat menggurat puas, setelah bertarung mati-matian dengan senjata seadanya, akhirnya mereka bisa mengalahkan dan mengusir semua tentara Belanda yang menguasai benteng itu. Terlebih, Residen Van den Berg, yang terkenal garang dan bisa menembak sesiapa yang berani membangkang perintahnya juga tewas dalam perlawanan mereka tadi siang.
“Hahaha, akhirnya mampus juga bule keparat itu,” seru Edo tergelak. Ia sangat puas telah menghabisi Van den Berg dengan tangannya sendiri. Telah lama ia mengeram dendam pada bule yang beberapa waktu lalu berhasil menembak mati ayahnya sepulang dari menjala ikan di pantai.
“Iya, semoga tubuhnya hangus jadi abu neraka!” sahut Glenn, pemuda yang juga terkenal gigih menyuarakan perlawanan pada pemerintah Belanda.
Pesta pora yang diisi dengan acara membakar ikan laut itu berlanjut hingga udara Subuh mulai menyemilir di kepulauan Saparua.
Sementara di tempat lain, tanpa mereka sadari, tentara Belanda tengah serius merencanakan sesuatu. Tewasnya pimpinan mereka, Residen Van den Berg, membuat tentara Belanda murka bukan buatan.
“Harus kita balas kekalahan kita ini!” teriak satu di antara mereka.
“Ya, jangan sampai harga diri kita diinjak-injak oleh orang-orang berotak bebal itu!” sahut yang lain.
“Tenang, jangan gegabah, dalam beberapa minggu ini, kita pikirkan secara matang, kita gempur mereka dengan perlawanan yang lebih kuat, kita rebut kembali benteng Duurstede dari kekuasaan mereka!” sahut Van Holden, pimpinan baru yang menggantikan pemimpin lama mereka yang tewas terhunus panah bertubi-tubi yang diselancarkan oleh warga Saparua.
“Saya ada usul, bagaimana kalau Thomas Matulessy dan beberapa orang yang berpengaruh dari mereka kita culik, baru sisanya kita habisi,” usul seorang pria bertubuh kurus-jangkung seraya menyemburkan asap cerutunya ke angkasa.
“Hoi, ide brilliant itu, friend! Ya, ya. Kita culik Thomas Matulessy, tapi kalau menurutku, kita coba ajak kerjasama dulu dia, siapa tahu dia mau bergabung dengan kita.” Sahut yang lain.
“Betul, saya setuju! Bagaimana pun Thomas itu bukan orang sembarangan. Otaknya bukan sembarang otak manusia. Sayang sekali, jika dia langsung kita habisi,” ujar Van Holden, mulutnya yang penuh asap cerutu perlahan melengkungkan senyum licik.
Udara gigil pada malam bercuaca terang itu rupanya tak mampu mendinginkan bara kesumat yang tengah menggemuruh di raga para tentara Belanda yang barusan kalah telak melawan penduduk Saparua. Mereka terus merembug cara paling tepat untuk merebut kembali benteng Duurstede.
***
Tiga bulan kemudian…
“Ha-ha-ha! Akhirnya perlawanan kita berhasil dengan gemilang! Ha-ha-ha!” Van Holden tak hentinya terkakak atas kemenangan pasukan tentaranya yang dua kali lipat lebih banyak dari sebelumnya. Setelah tiga bulan lamanya benteng Duurstede dikuasai oleh penduduk Saparua, akhirnya benteng tersebut bisa direbut kembali.
“Tapi tunggu dulu, kita jangan sampai terkecoh dan puas dengan kemenangan ini. Aku yakin, mereka pasti sedang merencanakan perlawanan yang lebih hebat untuk bisa menguasai benteng ini kembali!” ujar seorang tentara berbadan tinggi-tegap.
“Ya, ya, ya, kamu benar. Bagaimana pun juga, kita tidak boleh meremehkan mereka. Kalau begitu, mulai besok, kita adakan operasi besar-besaran, kita bunuh saja warga yang nekat melawan kita!” sahut Van Holden dengan seringai liciknya. Para tentara yang lain tanpa dikomando langsung mengamini perkataan pimpinan mereka.
Beberapa minggu kemudian, penduduk Saparua benar-benar down, merasa kalah telak. Orang-orang berpengaruh yang seharusnya menjadi pemimpin mereka kian berkurang tersebab diculik dan ditembak mati di tempat saat operasi besar-besaran digerakkan oleh beratus tentara Belanda yang tiap hari—bahkan malam—mengelilingi semua wilayah Maluku. Bahkan Thomas Matulessy, saat tengah bersembunyi di sebuah rumah di daerah Siri Sori, berhasil ditangkap. Entah, bagaimana nasibnya kini. Apakah masih hidup atau langsung dihabisi.
***
Ambon, 4 Desember 1817 M
“Sampai kapan pun aku tidak akan pernah bersekongkol dengan kalian!” teriak Thomas berapi-api, membuat wajah Van Holden gusar dan kalap. Bagaimana tidak? Telah berhari ia memendam kesabaran, berharap Thomas berubah fikiran dan mau bersekutu dengan tentara Belanda. Bahkan berkali Thomas diiming-imingi janji manis; akan diberi jabatan tinggi dan gaji besar, tapi tak sedikit pun pendiriannya goyah. Bahkan meminta jeda waktu untuk merenungkan tawaran itu pun tidak. Dengan tegas Thomas langsung mengatakan ‘Tidak.’
“Oke, baiklah jika itu keputusanmu,” wajah Van Holden menyaga. Dadanya gemuruh oleh kobar amarah.
Namun, ia masih mempunyai harapan. Mungkin esok. Ya, mungkin esok saat pengadilan Belanda memutuskan hukuman yang berat baginya, Thomas bisa jadi akan berubah pikiran. Bisa saja, kan? Bukankah tidak ada sesuatu hal mustahil di dunia ini? Harapan-harapan itu masih terus berlesatan dalam benak Van Holden.
***
Ambon, 15 Desember 1817
Pengadilan kolonial Belanda akhirnya menjatuhkan vonis hukuman gantung pada Thomas. Sehari sebelum hukuman itu diterakan, Van Holden dengan dada berdebar mendatangi kamar di mana Thomas ditahan.
“Lebih baik aku mati daripada menjadi antek penjajah!” sembur Thomas, saat tuk kesekian kali ia dirayu janji manis oleh Van Holden.
Muka Van Holden merah menyala. Tempurung kepalanya serasa disesaki asap. Kesabarannya benar-benar aus sudah.
“Bangsat!” murkanya seraya melayangkan tamparan ke wajah Thomas berkali-kali. Thomas nyaris muntah saat perutnya yang kurus ditinju dan ditendang oleh Van Holden.
***
“Apa tidak sebaiknya, kita renungkan tawarkan itu,” lirih suara Edo malam itu saat dua teman lainnya sudah terlelap.
“Hei, kamu takut hukuman gantung itu, Kawan? Ka… kamu rela menjadi kanibal sanak saudaramu?” sorot mata Thomas meruncing dan berkilat.
“Bu… bukannya begitu, aku hanya…,” dengan wajah merunduk.
“Do, dengar, belum tentu tentara Belanda itu akan benar-benar melunaskan janjinya. Sebagaimana yang sudah-sudah, mereka hanya ingin memanfaatkan kita saja, setelah itu kita akan dihabisi. Do, percaya sama aku, mati demi membela harga diri itu lebih mulia di sisi Tuhan,” potong Thomas, bagaimana pun ia terus berusaha menguatkan sahabatnya yang mulai gundah dengan iming-iming manis yang dijanjikan oleh Van Holden.
***
Ambon, 16 Desember 1817
Dan, pada hari ini, hukuman gantung itu benar-benar dilaksanakan di depan benteng Victoria, di kota Ambon. Thomas, Edo, dan dua kawan seperjuangan lainnya terlihat berwajah tegar dan siap menyambut maut yang tinggal menunggu detik lagi akan memangkas kujur raga mereka.
Betapa Van Holden langsung dibikin tercekat saat menyaksikan prosesi eksekusi itu. Samar-samar pandangan Van Holden seperti melihat cahaya putih laksa kilat yang mencelat dari atas kepala Thomas dan kawan-kawannya beberapa menit setelah lingkaran tali itu menjerat leher-leher mereka. Dengan tengkuk bergidik, buru-buru ia tinggalkan tempat yang menurutnya penuh dengan roh gentayangan itu.
“Oh, tidak, aku terlalu berhalusinasi,” gumam Van Holden tanpa sudi menoleh ke belakang lagi.
***
Puring, Kebumen, 28 Oktober 2011
Cerita ini terinspirasi dari kisah perjuangannya Kapitan Pattimura
Catatan:
Thomas Matulessy: nama lain dari Kapitan Pattimura.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/sam-edy/pahlawan-cerpen-ini-dimuat-di-radar-surabaya-13-nopember-2011/308870245790270
0 comments:
Post a Comment