Pages

Saturday, 31 December 2011

Sekilas “Riwayat Negeri Debu”


Sekilas Riwayat Negeri Debu
Oleh Yopi Setia Umbara

Ketangkasan Jefta H. Atapeni dalam merekonstruksi pengalaman juga kedalaman pengetahuan, membuat puisi-puisinya begitu kaya referensi dan tentu saja nikmat untuk dihayati. Dalam antologi puisi Riwayat Negeri Debu (Kiara Publishing, 2011) ia menunjukan pula bagaimana keintimannya dengan bahasa. Kelihaiannya memadukan pengalaman dan kemampuannya berbahasa, menjadikan puisi-puisinya bukan sekadar pengalaman yang ditulis ulang. Melainkan, menjadi sebuah karya yang memiliki nilai estetis.
Di dalam setiap pengalaman Kakak Jefta yang kemudian berbunga puisi, ia menyuguhkan renungan-renung
an tentang kehidupan. Pada setiap aku lirik dalam puisi-puisinya ia menimbang hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan tentu saja manusia dengan Tuhannya. Sehingga setiap pengalaman tersebut tampak sebagai kesadaran aku lirik sebagai mahluk sosial dan sebagai hamba Tuhan yang taat.

Seperti dalam puisi “Lanskap Hidup” (hal. 87) Kakak Jefta mencurahkan kegelisahan hidup manusia hidup laksana laut yang terbentang di mata/beriak, bergelora menerpa semua perahu/ dengan segala daya berlayar mencari hawa kedamaian//…di tengah laut semakin gelap dan pekik bergelora/ perahu-perahu terus berlayar/jala yang dilepas adalah doa dan mantra, iman dan sihir/dan matahari tinggal symbol untuk aku baca dan terka/dengan mata tertutup dan bibir terkatup…//…pada matahari yang padam, laut yang gelap/saat risau ini membatu/aku temui semua dunia lain dalam hymne dan wahyu:/bila tiba waktunya aku pun kembali berlabu/pada dermaga awan di tanganNya.
Pada puisi tersebut Kakak Jefta mengilustrasikan hidup laksana laut dengan manusia hanya sebagai bagian paling kecil dari sebuah kehidupan yang begitu luas. Aku lirik dalam puisi ini menunjukan pula kesadaran sebagai bagian kecil dari laut yang dilayarinya. Maka, dari kesadaran itulah, aku lirik pada “Lanskap Hidup” senantiasa berserah atas hymne dan wahyu. Sehingga bila tiba waktunya aku lirik akan kembali berlabu (mungkin maksudnya berlabuh) padaNya.
Selain kesadaran pada persoalan pokok manusia, Kakak Jefta juga menonjolkan sensitivitasnya sebagai penyair pada hal-hal yang eksotis dan misteri. Pada beberapa puisinya dapat dilihat bagaimana Kakak Jefta seringkali tersentuh oleh eksotisme sebuah tempat, atau sesuatu cerita di balik sebuah tempat yang pernah ia singgahi pada suatu waktu. Di mana bagi setiap penyair, sebuah tempat yang eksotis adalah berkah baginya untuk menciptakan karya. Atau, dengan kata lain, puisi selalu tiba-tiba mendatanginya dari tempat-tempat demikian.
Misalnya, pada puisi “Requiem Pantai Ketapang”, “Labirin Kota Karang”, atau bahkan pada puisi “Di Gunung Tengkorak”. Pada puisi-puisi tersebut, Kakak Jefta bukan hanya mengilustrasikan suasana tempat-tempat tersebut bagi pembaca, tapi lebih dari itu, sebagai penyair ia tampak mencoba berkomunikasi dengan lanskap, ruang, dan waktu di mana puisi hinggap padanya. Lantas setiap kata-kata yang tersusun dalam baris-baris puisinya menjadi refleksi bukan lagi sebatas impresi.
Di balik itu semua, pada sebagian puisi-puisinya tampak pula bahwa Kakak Jefta adalah penyair yang melakolis dan romantis. Kelembutan kata-kata khas para pecinta dapat dibaca pada puisi “Ziarah Puisi, Pengantin Hujan”, “Risau Alam Pegunungan”, atau “Kepada Langit Kepada Cahaya”. Tentu saja, bahwa puisi-puisi itu tidak sekadar ekspresi rasa cintanya pada arti yang sempit, akan tetapi suatu ekspresi cinta yang bermakna lebih luas. Walau, barangkali latar belakang puisi itu tercipta disebabkan adanya sosok-sosok tertentu.
Selain itu, Kakak Jefta juga tampak cukup gigih menciptakan puisi-puisi yang berdasarkan pada sejarah, cerita rakyat, atau sebuah legenda. Kegigihan seperti demikian tentu saja sangat menarik. Bahkan, Goethe sekali pun terpengaruh oleh teori Herder mengenai volkslied (lagu/puisi rakyat), sehingga membuat Goethe begitu terbuka pada kebinekaan khazanah sastra, pada semua genre, dan pada sastra semua bangsa.
Puisi “Mata dan Menara Kebebasan”, “Tragedi 1943”, atau “Cerita Lain Tentang Batu Badaun” adalah beberapa puisi yang berlatar belakang cerita rakyat, sejarah, dan legenda yang disajikan ulang dalam puisi oleh Kakak Jefta. Di mana dalam puisi-puisi tersebut, tentu saja diberikan sentuhan imajinasi. sehingga, puisi-puisi tersebut bukan jadi sekadar sebagai cerita yang ditulis ulang. Melainkan, menjadi sebuah karya yang menawarkan pemaknaan lain.
1. Sekilas Riwayat Negeri Debu, pengantar peluncuran antologi puisi Riwayat Negeri Debu karya Jefta H. Atapeni, disampaikan di Hall B Gd. FPBS UPI, Bandung, 7 Desember 2011

Friday, 30 December 2011

Teater Sunda Kiwari Gelar FDBS XII

Teater Sunda Kiwari Gelar FDBS XII
Selasa, 27/12/2011 - 18:47 — indra
festival drama | Festival | FDBS | Bandung | Agenda Sastra
Teater Sunda Kiwari kembali menggelar Festival Drama Basa Sunda (FDBS) XII/2012. Kali ini FDBS digelar di Gedung Kesenian (GK) Rumentangsiang, Jln. Baranangsiang Bandung, 12 Maret - 5 April 2012.

"Kami menargetkan jumlah peserta FDBS bisa mencapai lebih dari 76 grup," kata Ketua Teater Sunda Kiwari, Dadi P. Danusubrata kepada wartawan di GK Rumentangsiang Bandung, Senin (26/12).

Dikatakan, FDBS sudah digelar sejak 1990 dan jumlah peserta selalu meningkat. Hal itu menunjukkan apresiasi masyarakat, terutama di kalangan generasi muda terhadap seni teater dan bahasa Sunda sangat tinggi.

"Grup-grup teater Sunda di berbagai daerah sangat menunggu FDBS sebagai ajang evaluasi dan apresiasi pada seni teater dan bahasa Sunda," ujarnya.

Namun untuk penyelenggaraan FDBS XII, ia mengatakan, hingga saat ini belum ketahuan berapa peserta yang sudah mendaftar karena sebelumnya telah digelar FDBS tingkat remaja (pelajar). Walaupun demikian, peserta tahun lalu sebanyak 76 grup sudah disurati. "Umumnya mereka sudah menyatakan kesiapannya mengikuti FDBS XII," tandasnya.

Selain itu, ungkap Dadi, tidak menutup kemungkinan FDBS XII diikuti grup teater remaja atau sekolah. "Mengingat seni teater di sekolah, terutama teater bahasa Sunda perkembangannya cukup menggembirakan," tambahnya.

Menurut Dadi, dipisahkannya kategori remaja dengan umum ini karena ada masukan dari berbagai kalangan termasuk dewan juri.

Sajak-sajak Faisal Syahreza

Mencintaimu lagi

Seperti untuk kesekian kali
Aku mencintaimu lagi
Bagai bebatuan di dasar
sungai nadimu
begitu deras rasa rindu
menghujaniku dengan puisi
dan merasa tak sempurna
bila aku
tak menyempatkan
berdoa untuk bola matamu
untuk setiap tatapannya
yang mampu melemparkanku
pada jurang dan ngarai asing
yang sulit dilacak

seperti untuk kesekian kalinya
aku selalu teguh
bersabar menyayangimu
seperti induk burung
mengajari anaknya terbang
dengan rasa kasih
paling dalam

Aku akan senang sekali
Bila suatu saat aku
Mencintaimu dan menyayangimu
Tanpa harus
Kau curiga
Aku mau apa-apa darimu
Sebagaimana
Bumi percaya
Bahwa langit
Tak akan menimpahinya
Dengan segala kesemestaannya.

Habis waktu

Bila sudah habis
Segala cintaku untukku
Aku akan gali oase
Dalam kalbuku
Hingga
Lahirlah
Mata air yang
Mampu membasahi
Rentang waktu yang kemarau
Karena kebencianmu
Padaku.
Begitu kerontang
Tatapanmu, bagai
Angin di gurun paling
Jauh di belahan dunia sahara.

Habis usia

Dan pada tanah
Aku mencoba menemukan
Bagian dari garis catatan tuhan
Sebagaimana aku
Adalah cakar
Mencari kebencian pada luka
Sebagaimana
Kuku tajam
Yang lupa
Pada keperihan
Ditorehkan waktu.

Habis hujan

Segalanya sirna
Tak ada lagi
Kemarau pada matamu
Yang tersisa
Adalah tubuhmu yang
Kuyup oleh peristiwa.
Aku ingin menjadi
Sesuatu yang basah
Oleh ciuman terakhirmu
Di penghujung
Waktunya.
Dan aku tak akan
Menghilang lagi
dari hadapanmu,
bila kau ingin
menikamku
dengan tangisanmu.


Di malam menyiram kembang

Di suatu malam aku terbangun
Seperti terganggu oleh
Suara letupan peluru
Yang meledak menembus
Kegelapan
Dan angin terasa
Hambar sekali
Saat itu,
Aku mulai
Asing di tengah legam malam
Tersudut di kesunyian

Aku tahu
Wajahmu lekat
Di ingatanku
Bagai musim
Panen di kebun kopi
Yang wanginya tak
Bisa kabur
Dan selalu tercium
Karena meruap di udara

Aku tak
Menganggapmu
Sebagai kembang kopi
Itu, karena bagiku
Engkau lebih
Serupa biji coklat
Yang dikulum di lidahku
Tak habis-habis
Lidahku
Melilit tubuhmu
Dan semakin terjebak
Aku untuk semakin
Mengusung namamu
Kemudian
Aku yakini
Bahwa memang
Malam itu aku
Terjebak di balai-balai
Rumahmu
Kau di sana cantik sekali
Menyirami berupa-warna
Kembang-kembangan.
Rumah puisiku

Bagiku
Mencintaimu
Lebih membuatku
Terasa menjadi lelaki rumahan
Karena aku
Semakin lapar, dan menghuni
Kamar dan balai
Semakin tahu
Bibir kering
Dan menglupas
Lupa kau cium ini
Adalah luka di ruang tamu

Dan aku semakin
Merasa punya tubuh yang
Kekar, di hadapanmu
Bila kau sedang telanjang, di ranjang
Dan dadamu menyambutku
Serupa pantai
Menyambut ombak

Dan akulah
Lautanmu,
Yang selalu
Berharap
Dilayari olehmu
Di badai
Yang entah kapan
Aku akan memperkosamu
Tenggelamkan
Dan kemudian kau hamil
Melahirkan anak-anakku
Puisi-puisku
Juga
Ribuan kesenyapan
Di mulut rahimmu
Begitu betah
Aku tinggali sebagai rumah terakhir.

Akulah anak dari sepi

Akulah anak dari sepi
Yang selalu menghitung
Gugur daun di halaman
Menengok ke luar jendela
Berharap seseorang pulang
Ke hatinya, sebagai kekasih

Aku serupa
Malaikat yang hinggap
Di atap rumah mengamati
Orang-orang mengaji
Kemudian terbang ke langit
Membawa pesan pada Tuhan

Aku kemudian
Merasa sendiri terbang
Dan menyelam
Di kedalaman
Lautan kepedihan.

Sajak cinta

Betapa tidak setiap harinya
Aku jatuh cinta padamu
Seperti halnya
Kutatap wajahmu yang dulu
Ketika pertama bertemu
Aku masih tetap seorang
Lelaki yang menyisir rindu
Sampai meluapkan
Puisi yang tak terwadahi
Dan menujum pada sirat rona
kecantikanmu

Aku selalu gagu
Mengucapkannya padamu
Mungkin karena aku
Selalu kehabisan kata-kata
Dan mulai lupa
Betapa aku
Selalu jatuh cinta
Seperti halnya
Kupu-kupu
Yang tak mau jauh dari
Bunga-bunga di pinggir tebing, tumbuh
Sulit dipetik sesiapapun.

2006 - 2008

Biodata lengkap


Faisal syahreza, lahir di Cianjur, sedang merampungkan pendidikannya di UPI, Bahasa dan Sastra Indonesia. Puisinya tergabung di antologi sastra senja, SELALU ADA RINDU (2006, DKJ). Puisi dan cerpennya dimuat surat kabar daerah maupun nasional (Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Padang Ekspres, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Suara Karya, Jurnal Sastra Lazuardi, Majalah Sastra Horison Dll) Kini bergiat di Arena Studi Apresiasi Sastra (ASAS UPI) dan Sanggar Sastra Remaja Indonesia, Horison. Juga mengasuh komunitas penulis muda di Rumah Tumbuh.

Buku antologi puisi tunggalnya Gunung Padang, Selatan Kota (2008, FSC) dan Kumpulan Cerpennya Laut Puspita (2008, FSC) dan tergabung di Sastra Senja Dewan Kesenian Jakarta, SELALU ADA RINDU 2006. Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Mengasuh Komunitass Penulis Muda di Rumah Tumbuh, dan anggota Dewan Kesenian Cianjur, dari Komite Sastra dan Forum Sastra Cianjur (FSC).

PUISI GURIH SYAHREZA FAISAL



PUISI GURIH SYAHREZA FAISAL
Oleh Sarabunis Mubarok

“Hal-hal sederhana membentuk kesempurnaan,
tapi kesempurnaan bukanlah hal yang sederhana”

Saya pernah berseloroh di antara kawan-kawan Sanggar Sastra Tasik (SST), bahwa setidaknya ada tiga hal yang pernah mempengaruhi kehidupan manusia di muka bumi, yaitu agama, bumbu, dan energi. Kontan kawan-kawan saya tertawa karena hal tersebut sepintas terdengar lugu dan kocak.

Bumbu, pada beberapa abad silam telah menggerakkan bangsa Eropa untuk merambah berbagai kawasan di dunia, pun ke indonesia. Bangsa Spanyol, Portugis dan Belanda rela jauh-jauh datang ke Maluku hanya untuk mendapatkan rempah-rempah. Lada, kemiri, cabai, lengkuas, jahe, kencur, kunyit dan sejenisnya, pada masa itu menjadi barang yang sangat berharga. Demi memuaskan lidah, pada masa itulah bangsa Eropa melakukan ekspansi besar-besaran, yang kemudian membawa akibat, Nusantara terjajah selama ratusan tahun.

Di Indonesia sendiri, makanan memiliki sejarah yang sangat panjang dan beraneka ragam seiring dengan keanekaragaman budaya di masing-masing daerah. Maka wajar saja jika nasi yang menjadi makanan pokok hampir di semua daerah, menyandang berbagai istilah khusus dalam rangkaian proses memasaknya. Sawah kebunnya, padi pohonnya, gabah bulirnya, beras dagingnya, tepung bubuknya. Setelah dimasak memilik banyak nama pula; nasi, tumpeng, wuduk, liwet, bubur, kupat, lontong, dan sebagainya.

Begitupun dengan tumbuhan, ada ratusan ribu spesies yang tumbuh di indonesia. Tentu saja banyak hal mengerikan ketika kita berbicara tentang alam. Keserakahan manusia menyebabkan tumbuhan satu persatu menuju kepunahan. Hutan terus dibabat, pohon-pohon mulai menuliskan biografinya untuk dikenang di buku-buku catatan.

Dan tiga hari yang lalu, saya menerima sebuah buku tentang berbagai makanan dan tumbuh-tumbuhan. Tapi bukan buku resep atau catatan keanekaragaman hayati, melainkan sebuah antologi puisi, berjudul “Hikayat Pemanen Kentang” karya Mugya Syahreza Santosa, penyair muda potensial asal Cianjur, Jawa Barat.

Meskipun dalam tiga atau empat tahun terakhir ini banyak penyair yang menulis puisi bertema kuliner, buku Syahreza ini masih cukup menarik untuk disimak. Secara umum bukunya bercerita tentang dua hal, yaitu tumbuhan dan makanan. Ditulis dengan tuturan bahasa yang sederhana, tidak njlimet, enak dibaca dan dipenuhi banyak rima meskipun pola rimanya tidak terlalu beraneka.

Tiga puisi pembuka dalam antologi “Hikayat Pemanen Kentang” bertema umbi-umbian. Dari tiga sajak inilah saya menemukan Syahreza benar-benar mengakrabi umbi-umbian, terutama kentang dan singkong. Diawali dengan sebuah puisi berjudul ‘Musim Panen Pekebun Muda” dan dan ‘Pemanen kentang”. Dua puisi ini menghadirkan metafor sederhana dengan diksi-diksi yang cukup akrab di telinga, namun mampu menyiratkan makna-makna yang mampu menghentak rasa, membawa pembaca pada kesadaran akan sebuah kebersahajaan.

Dan meskipun bersubjek orang ketiga, dua puisi yang bercerita tentang musim panen ini terasa kuat mengeluarkan empirisme penyairnya. Ada kegembiraan atas sebuah hasil dari proses yang memerlukan kesabaran. Juga ada ritual sederhana sebagai bentuk kebersyukuran. Semoga memang sejembar itu adanya, meskipun saya tidak mendengar jeritan tanah yang diracuni pupuk kimia, atau rintihan daun yang disiram insektisida.

Puisi ketiga berjudul “Singkong”. Ada sebuah samar kenangan yang melecut dari masa kanak. Dengan aku lirik yang cukup kuat, Syahreza berhasil mendedahkan kasih sayang dalam sebuah kesederhanaan.

Saya mungkin tidak terlalu tertarik pada diksi-diksi dalam sajak ketiga ini. Namun ada sebuah ironisme yang terbaca di akhir bait ke dua, seperti memberi jawaban atas dua puisi sebelumnya. Kalimat yang menjelaskan bahwa singkong yang dihadapinya bukan singkong yang sama dengan singkong yang telah membesarkannya, seolah memberitahukan kepada pembaca bahwa kanak-kanak inilah yang kini jadi pekebun muda, mengikuti jejak ibu-bapaknya.

Selain tiga puisi pembuka, saya tertarik pada dua puisi lainnya yang berjudul “Rebung” dan “Hikayat Gairah Aur”. Dua sajak yang bercerita tentang pohon bambu muda dan bambu tua ini seperti hendak membangun kontradiksi, dan mengisyaratkan sebuah ironi. Dua sajak ini seolah ingin mengingatkan pembaca pada nasib yang tengah dan akan dijalani.

Berikut nasib bambu muda pada larik puisi “Rebung”: bertahanlah rebung-rebung di rumpun aur itu/ hidup kalian memang akan sampai di situ/. Sedang pada puisi “Hikayat Gairah Aur” tertulis: Jangan tebas mereka, jangan potong pula/ sebab jauh di dalam hatinya/ dikandung gairah, menggenang cinta/ sepanjang hayatnya/. Begitulah penyair menuliskan aur muda yang ditakdirkan menjadi sayur, dan gairah aur tua yang akan sampai di liang kubur.

Selain lima puisi tersebut, puisi-puisi tentang tanaman lainnya sangat terasa lokalitasnya. Ada sehimpun kedekatan penyair dengan kehidupan sehari-harinya. Saya kira masih sangat terbuka jika tema-tema tersebut didalami lebuh jauh, sehingga menghasilkan puisi yang lebih menarik, agar tak terasa terburu-buru, dan tdak terbaca sekedar curahan emosi sepontan semata.

Selain puisi-puisi bertema tanaman, di bagian akhir antologi ini dimuat tiga belas puisi kuliner. Meskipun sangat terasa seperti memindahkan resep masakan ke dalam bentuk puisi, setidaknya puisi-puisi ini mengajak pembaca untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah kita makan. Pembaca juga seperti sengaja diajak menemukan hal-hal menarik pada setiap proses memasak, sampai makanan tersaji di meja makan. Pembaca juga diajak berkenalan pada berbagai perabotan dapur, bahan baku dan bumbu-bumbu.

Dari ketiga belas puisi kuliner ini, puisi ”Petunjuk Dapur” terasa lebih menonjol. Baik dari bentuk pengucapan maupun gagasan yang ingin disampaikan. Memasak rupanya sebagian dari proses hidup yang tengah bergejolak dalam batin penyairnya. Sebuah gairah masa muda dengan jujur disampaikan dalam larik berikut: sebuah cobek dan ulek/ menunggu dosa kita lumat/ dan digantikan jadi pahala/ itupun kalau bisa//.

Sedikit mengherankan memang, karena tak banyak laki-laki yang bisa atau setidaknya mengerti tentang proses masak-memasak. Apalagi saya yang taunya cuma makan saja, hehehe…

Sarabunis Mubarok,
Sastrawan dan pemerhati sastrawati
Aktif di Sanggar Sastra Tasik (SST)
dan komunitas Azan

Profil dan Sajak Edgar Allan Poe



Edgar Allan Poe (lahir 19 Januari 1809 – meninggal 7 Oktober 1849 pada umur 40 tahun) adalah penyair, cerpenis, editor, kritikus, dan salah satu pemimpin Gerakan Romantik Amerika. Dikenal karena karya-karya macabre-nya, Poe merupakan salah satu praktisi awal penulisan cerita pendek di Amerika dan perintis karya fiksi detektif dan kriminal. Ia juga mendapat pengakuan atas kontribusinya pada genre cerita fiksi ilmiah. Poe meninggal pada usia 40 tahun karena sebab-sebab yang kurang jelas, terutama diduga karena alkohol, obat bius, kolera, rabies, dan hal-hal lain.
Beliau dilahirkan dengan nama Edgar Poe di Boston, Massachusets; beliau menjadi yatim piatu segera setelah ibunya meninggal dalam usia muda setelah ayahnya meninggalkan mereka. Poe kemudian diambil oleh John dan Frances Allan di Richmond, Virginia, tapi mereka tidak pernah secara resmi mengadopsinya. Dia terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Virginia selama satu semester dan tidak melanjutkan karena masalah biaya. Sesudah mendaftar dalam angkatan darat dan gagal sebagai perwira kadet, Poe meninggalkan keluarga Allan. Awal karirnya dimulai dengan sederhana, dengan koleksi cerpen anonim, Tamerlane and Other Poems (1827), disebut hanya dengan 'seorang Boston'.

Sajak-sajak Edgar Allan Poe
Download

Download Ebook Sajak-sajak Lengkap Pablo Neruda




Pablo Neruda (lahir di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago, Chili, 12 Juli 1904 – meninggal 23 September 1973 pada umur 69 tahun) adalah nama samaran penulis Chili, Ricardo Eliecer Neftalí Reyes Basoalto.
Neruda yang dianggap sebagai salah satu penyair berbahasa Spanyol terbesar pada abad ke-20, adalah seorang penulis yang produktif. Tulisan-tulisannya merentang dari puisi-puisi cinta yang erotik, puisi-puisi yang surealis, epos sejarah, dan puisi-puisi politik, hingga puisi-puisi tentang hal-hal yang biasa, seperti alam dan laut. Novelis Kolombia, Gabriel García Márquez menyebutnya "penyair terbesar abad ke-20 dalam bahasa apapun". Pada 1971, Neruda dianugerahi Penghargaan Nobel dalam Sastra.
Pada masa hidupnya, Neruda terkenal karena keyakinan-keyakinan politiknya. Sebagai seorang komunis yang vokal, ia pernah sebentar menjadi senator untuk Partai Komunis Chili di Kongres Chili sebelum terpaksa mengasingkan diri.
Nama samaran Neruda diambil dari nama penulis dan penyair Ceko, Jan Neruda; belakangan nama ini menjadi nama resminya.


Kehidupan

Tahun-tahun awal
Neruda dilahirkan di Parral, sebuah kota sekitar 300 km di selatan Santiago. Ayahnya, José del Carmen Reyes Morales, seorang pegawai kereta api; ibunya, Rosa Neftalí Basoalto Opazo, seorang guru sekolah yang meninggal dua bulan setelah ia dilahirkan. Neruda dan ayahnya segera pindah ke Temuco, dan di sana ayahnya menikahi Trinidad Candia Malverde, seorang perempuan yang sembilan tahun sebelumnya melahirkan anak untuknya, anak lelaki bernama Rodolfo. Neruda juga bertumbuh dengan saudara tirinya, Laura, salah seorang anak ayahnya dari perempuan lain.
Neruda muda dipanggil "Neftalí", nama almarhumah ibunya. Minatnya dalam tulis-menulis dan sastra ditentang ayahnya, namun ia mendapatkan dorongan dari orang lain, termasuk Gabriela Mistral yang kelak mendapatkan Hadiah Nobel, saat itu kepala sekolah putri setempat. Karyanya yang pertama diterbitkan ditulisnya untuk harian setempat, La Mañana, pada usia 13 tahun: Entusiasmo y perseverancia ("Antusiasme dan Kegigihan"). Pada 1920, ketika ia mengambil nama samaran Pablo Neruda, ia sudah banyak menerbitkan puisi, prosa, dan jurnalisme.

Veinte poemas
Pada tahun berikutnya (1921), ia pindah ke Santiago untuk belajar bahasa Prancis di Universidad de Chile dengan maksud menjadi guru, namun ia segera menghabiskan waktunya sepenuhnya untuk menulis puisi. Pada 1923 kumpulan puisinya yang pertama, Crepusculario ("Buku Senja"), diterbitkan, dan tahun berikutnya terbit Veinte poemas de amor y una canción desesperada ("Dua puluh Puisi Cinta dan Nyanyian Putus Asa"), kumpulan puisi cinta yang kontroversial karena sifatnya yang erotik. Kedua karyanya itu mendapatkan pujian kritis dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Selama dekade-dekad berikutnya, Veinte poemas terjual berjuta-juta kopi dan menjadi karya Neruda yang paling terkenal.
Reputasi Neruda makin berkembang di dalam maupun di luar Chili, namun ia hidup dalam kemiskinan. Pada 1927, karena putus asa, ia menerima jabatan sebagai konsul kehormatan di Rangoon, yang saat itu merupakan bagian dari kolonial Burma, tempat yang belum pernah didengarnya sebelumnya. Kemudian ia melakukan kerja serabutan di Kolombo (Sri Lanka), Batavia, dan Singapura. Di Jawa ia bertemu dan menikahi istrinya yang pertama, seorang Belanda pegawai bank yang tinggi badannya, bernama Maryka Antonieta Hagenaar Vogelzang. Sementara menjalani tugas diplomatik, Neruda banyak membaca puisi dan bereksperimen dengan berbagai bentuk puisi. Ia menulis jilid pertama dari kumpulan puisinya yang dua jilid Residencia en la tierra, (Menetap di Negeri) yang mencakup banyak puisi surealis, yang belakangan menjadi terkenal.

Perang Saudara Spanyol
Setelah kembali ke Chili, Neruda mendapatkan pos diplomatik di Buenos Aires dan kemudian di Barcelona, Spanyol. Belakangan ia menggantikan Gabriela Mistral sebagai konsul di Madrid, dan di sana ia menjadi pusat dari kalangan sastra yang hidup, bersahabat dengan penulis-penulis seperti Rafael Alberti, Federico García Lorca, dan penyair Peru, César Vallejo. Seorang anak perempuan, Malva Marina Trinidad, dilahirkan di Madrid; namun ia kemudian mengalami banyak masalah kesehatan sepanjang hidupnya yang singkat. Pada masa ini pula, Neruda perlahan-lahan menjadi kian terasing dari istrinya dan kemudian tinggal dengan Delia del Carril, seorang perempuan Argentina yang dua puluh tahun lebih tua daripadanya dan akhirnya menjadi istri keduanya.
Ketika Spanyol semakin tenggelam dalam perang saudara, Neruda menjadi sangat terlibat dalam politik untuk pertama kalinya. Pengalaman-pengalamannya dengan Perang Saudara Spanyol dan sesudahnya mengubahnya dari o u individualistic, yang terpusat ke dalam menjadi orang yang mempunyai komitmen sosial dan solidaritas yang lebih besar. Neruda menjadi seorang komunis yang serius dan bertahan demikian hingga akhir hayatnya. Politik kiri radikal dari teman-temannya sesama penulis, maupun dari del Carril, merupakan factor-faktor yang mendukung, tetapi dorongan yang paling penting adalah hukuman mati atas García Lorca oleh pasukan-pasukan yang setia kepada Francisco Franco. Melalui pidato-pidato dan tulisan-tulisannya Neruda memberikan dukungannya terhadap pihak Republik, lalu menerbitkan kumpulan puisinya yang berjudul España en el corazón ("Spanyol di dalam Hatiku"). Istri dan anak Neruda pindah ke Monte Carlo; dan ia tidak pernah lagi bertemu dengan mereka. Ia tetap tinggal dengan del Carril di Prancis.
Setelah pemilihan Presiden Pedro Aguirre Cerda pada 1938, yang didukung Neruda, ia diangkat menjadi konsul khusus untuk emigrasi Spanyol di Paris. Di sana Neruda diberikan tanggung jawab untuk apa yang disebutnya “misi yang paling mulia yang pernah saya laksanakan”: mengirim 2.000 pengungsi Spanyol, yang telah ditampung oleh Prancis di kamp-kamp yang kotor, ke Chili di sebuah kapal tua yang bernama Winnipeg. Neruda kadang-kadang dituduh mengutamakan kaum komunis untuk beremigrasi, sementara yang lainnya yang juga pernah berjuang di pihak Republik, diabaikan. Yang lainnya menyangkal tuduhan-tuduhan itu, sambil menunjukkan bahwa Neruda hanya memilih beberapa ratus pengungsi secara pribadi, dan sisanya dipilih oleh Dinas Evakuasi Pengugnsi Spanyol, yang dibentuk oleh Juan Negrín, Presiden pemerintahan Republik Spanyol di pengungsian.

Meksiko
Pos diplomatik Neruda berikutnya adalah sebagai Konsul Jenderal di Mexico City, dan di sana ia tinggal dari 1940 hingga 1943. Ketika di Meksiko, ia menceraikan Hagenaar, menikahi del Carril, dan kemudian mendengar bahwa anak perempuannya telah meninggal, pada usia 8 tahun, di Belanda yang diduduki Nazi, karena berbagai masalah kesehatannya. Ia pun menjadi sahabat dari pembunuh Stalinis Vittorio Vidali [1]. Setelah gagalnya upaya pembunuhan terhadap Leon Trotsky tahun 1940, Neruda, atas permintaan Presiden Meksiko Manuel Ávila Camacho, mengatur visa Chili untuk pelukis Meksiko, David Alfaro Siqueiros, yang dituduh sebagai salah satu anggota komplotan itu. Hal ini memugnkinkan Siqueiros, yang saat itu dipenjarakan, meninggalkan Meksiko dan berangkat ke Chili. Di sana ia tinggal di rumah pribadi Neruda. Sebagai ganti atas bantuan Neruda, Siqueiros menghabiskan waktu satu tahun melukis dinding di sebuah sekolah di Chillán. Dalam memoarnya, Neruda menolak tuduhan-tuduhan bahwa ia bermaksud menolong seorang pembunuh dan menyebutnya sebagai "pelecehan sensasionalis politik-sastra".

Kembali ke Chili
Pada 1943, setelah kembali ke Chili, Neruda melakukan perjalanan ke Peru, dan di sana ia mengunjungi Machu Picchu. Keindahan benteng Inka itu kelak mengilhaminya menulis Alturas de Macchu Picchu, sebuah puisi yang satu buku tebalnya ditulis dalam 12 bagian yang diselesaikannya pada 1945. Puisinya ini menandai kesadaran dan minatnya yang kian berkembang terhadap peradaban kuno bangsa Amerika: tema-tema yang kelak dijelajahinya lebih lanjut dalam puisinya Canto general. Dalam karyanya ini, Neruda memuji keberhasilan Machu Picchu, tetapi juga mengutuk perbudakan yang telah memungkinkan pembangunannya.. Dalam Canto XII, ia berseru kepada orang-orang yang telah mati selama berabad-abad sebelumnya agar dilahirkan kembali dan berbicara melalui dirinya. Martin Espada, penyair dan professor tulisan kreatif di Universitas Massachusetts, memuji karya ini sebagai maha karya, dan menyatakan bahwa “tidak ada lagi puisi politik yang besar daripada ini.”.

Mendukung para diktator
Didorong oleh pengalaman-pengalamannya dalam Perang Saudara Spanyol, Neruda, seperti banyak intelektual kiri dari generasinya, akhirnya mengagumi Uni Soviet yang saat itu dipimpin Joseph Stalin, sebagian karena peranannnya dalam mengalahkan Jerman Nazi. Pada 1953 Neruda dianugerahi Hadiah Perdamaian Stalin. Pada saat kematian Stalin pada tahun yang sama, Neruda menulis sebuah ode untuknya, seperti juga yang pernah ditulisnya (pada Perang Dunia II) untuk Fulgencio Batista dan belakangan Fidel Castro [2]. Neruda akhirnya menyesali dukungannya untuk pemimpin Rusia itu, setelah Pidato Rahasia Nikita Kurschev pada Kongres ke-20 Partai pada 1956. Di dalam pidatonya itu Kruschev mengecam "kultus individu" yang mengelilingi Stalin dan menuduhnya melakukan kejahatan-kejhatan selama Pembersihan Besar, Neruda menulis dalam memoarnya “Saya telah ikut menyumbangkan bagian saya dalam kultus individu itu,” sambil menjelaskan bahwa “pada masa-masa itu, kami melihat Stalin bagaikan sang penakluk yang telah menghancurkan tentara Hitler.” Tentang kunjungannya berikutnya ke Tiongkok pada 1957, Neruda kelak menulis: "Yang menjauhkan saya dari proses revolusioner Tiongkok bukanlah Mao Tse-tung melainkan Mao Tse-tungisme", yang dinamainya Mao Tse-Stalinisme: "pengulangan sebuah kultus terhadap dewa Sosialis". Namun demikian, meskipun ia kecewa terhadap Stalin, Neruda tidak pernah kehilangan keyakinannya terhadap komunisme dan tetap setia kepada “Partai”. Karena kuatir akan memberikan peluru kepada lawan-lawan ideologisnya, belakangan ia menolak untuk mengutuk secara terbuka penindasan yang dilakukan Soviet terhadap para penulis pembangkang, seperti Boris Pasternak dan Joseph Brodsky: suatu sikap yang bahkan para pendukungnya yang paling gigih pun tidak bersedia terima.

Senator
Pada 4 Maret 1945 Neruda terpilih menjadi senator dari Partai Komunis untuk provinsi-provinsi utara, yaitu Antofagasta dan Tarapacá di Gurun Pasir Atacama yang kering dan kejam. Ia secara resmi bergabung dengan Partai Komunis Chili empat bulan kemudian.
Pada 1946, kandidat pemilu presiden dari Partai Radikal, Gabriel González Videla meminta Neruda untuk menjadi manajer kampanenya. González Videla didukung oleh sebuah koalisi partai-partai sayap kiri dan Neruda berkampanye dengan gigih atas namanya. Namun demikian, begitu mendapatkan jabatan, González Videla berbalik melawan Partai Komunis. Titik perpisahan bagi Senator Neruda terjadi ketikga ia menindas dengan penuh kekerasan pemogokan para buruh tambang yang dipimpin komunis di Lota pada Oktober 1947. Para buruh yang mogok itu digiring ke penjara-penjara militer di pulau dan kamp konsentrasi di kota Pisagua. Kritik Neruda terhadap González Videla memuncak dalam sebuah pidato dramatisnya di Senat Chili pada 6 Januari 1948 yang diberi judul Yo acuso ("Aku menuduh"), dan dalam isi pidatonya itu ia menyebutkan keras-keras nama-nama para buruh tambang dan keluarga mereka yang dipenjarakan di kamp konsentrasi itu.

Pembuangan
Beberapa minggu kemudian few weeks later, Neruda bersembunyi dan ia beserta istrinya diselundupkan dari rumah ke rumah, disembunyikan oleh para pendukung dan pengagumnya selama 13 bulan berikutnya. Sementara dalam persembunyian, Senator Neruda disingkirkan dari jabatannya dan pada September 1948 Partai Komunis sama sekali dilarang berdasarkan Ley de Defensa Permanente de la Democracia (UU untuk Mempertahankan Demokrasi secara Permanen), yang disebut oleh para kritikusnya sebagai Ley Maldita ("UU Terkutuk"), yang menghapuskan lebih dari 26.000 orang dari daftar pemilih, dan dengan demikian mencabut hak-hak mereka untuk memilih. Kehidupan Neruda di bawah tanah berakhir pada Maret 1949 ketika ia melarikan diri menyeberangi Pegunungan Andes ke Argentina dengan menunggang kuda. Ia hampir tenggelam ketika menyeberangi Sungai Curringue. Kelak ia mengisahkan kembali pelariannya dari Chili dalam kuliah Hadiah Nobelnya.
Begitu keluar dari Chili, ia hidup selama tiga tahun berikutnya di pembuangan. Di Buenos Aires seorang sahabat Neruda, novelis Miguel Ángel Asturias yang belakangan mendapatkan Hadiah Nobel, menjadi atase kebudayaan di kedutaan besar Guatemala. Antara keduanya ini ada beberapa kesamaan, karena itu Neruda pergi ke Eropa dengan menggunakan paspor Asturias. Pablo Picasso mengatur masuknya ia ke Paris dan Neruda melakukan penampilan kejuatan di sana di hadapan Kongres Kekuatan Damai Dunia yang tercengang. Sementara itu, pemerintah Chili menyangkal bahwa penyair itu bias melarikan diri dari negerinya.
Tiga tahun berikutnya dihabiskan Neruda dengan berkeliling di seluruh Eropa dan melakukan perjalanan ke India, RRC, dan Uni Soviet. Perjalanannya ke Meksiko pada akhir 1949 diperpanjang karena ia mengalami serangan flebitis. Seorang penyanyi Chili yang bernama Matilde Urrutia dipekerjakan untuk merawatnya, dan keduanya mulai mengadakan affair, dan bertahun-tahun kemudian berakhir dengan pernikahan. Pada masa pembuangannya, Urrutia membayang-bayangi Neruda dan mereka mengatur pertemuan-pertemuan setiap kali hal itu memungkinkan.
Sementara di Meksiko, Neruda juga menerbitkan puisi epiknya yang panjang Canto General, sebuah katalog sejarah, geografi, dan flora serta fauna Amerika Selatan dalam gaya Whitmania, disertai oleh pengamatan dan pengalaman Neruda. Banyak daripadanya berkaitan dengan masa hidupnya di bawah tanah di Chili, yaitu masa ketika ia menyusun sebagian besar dari puisi itu. Malah, ia membawa naskahnya bersamanya ketika ia melarikan diri dengan menunggang kuda. Sebulan kemudian, sebuah edisi yang lain yang terdiri dari 5.000 kopi dengan berani diterbitkan di Chili oleh Partai Komunis yang telah dilarang, berdasarkan naskah yang telah ditinggalkan Neruda.
Pada tahun 1952 ia tinggal di sebuah vila milik sejarahwan Italia, Edwin Cerio di pulau Capri yang dijadikan fiksi dalam film yang terkenal Il Postino ("Tukang Pos", 1994).

Kembali ke Chili
Pada 1952, pemerintah diktatur González-Videla hampir rontok, karena diperlemah oleh berbagai skandal korupsi. Partai Sosialis Chili sedang dalam proses mencalonkan Salvador Allende sebagai kandidatnya untuk emilu presiden September 1952 dan sangat mengharapkan kehadiran Neruda — yang kini merupakan tokoh sastra sayap kiri Chili yang paling terkemuka — untuk mendukung kampanye itu.
Neruda kembali pada Agustus tahun itu dan bergabung dengan Delia del Carril, yang telah mendahuluinya beberapa bulan kemudian, namun perkawinan mereka berada di ambang kehancuran. Del Carril akhirnya mengetahui hubungannya dengan Mathilde Urritia dan meninggalkannya pada 1955, lalu kembali ke Eropa. Neruda yang kini bersatu dengan Urrutia, menghabiskan sisa hidupnya di Chili, kecuali kunjungannya ke luar negeri yang sangat banyak jumlahnya dan penugasannya sebagai duta besar Allende untuk Prancis dari 1970 hingga 1973.
Pada saat ini, Neruda menikmati kemasyhurannya di seluruh dunia sebagai seorang penyair, dan buku-bukunya diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama dunia. Ia juga sangat vokal dalam masalah-masalah politik, dengan berani menentang AS pada masa krisis misil Kuba (belakangan dalam decade itu ia pun berulang-ulang mengutuk AS karena Perang Vietnam). Tetapi menjadi salah seorang intelektual kiri yang paling bergengsi dan lantang pun mengundang oposisi dari lawan-lawan ideologisnya. Kongres untuk Kebebasan Budaya, sebuah organisasi anti komunis yang diam-diam dibentuk dan didanai oleh CIA, memilih Neruda sebagai salah satu target utamanya dan melakukan kampanye untuk meruntuhkan reputasinya, dengan menghidupkan kembali klaim lama bahwa ia telah ikut terlibat dalam serangan terhadap Trotsky di Mexico City pada 1940. Kampanye itu menjadi kian intensif ketika diketahui bahwa Neruda menjadi salah satu kandidat untuk Hadiah Nobel 1964, yang akhirnya diberikan kepada Jean-Paul Sartre.
Pada 1966, Neruda diundang menghadiri konferensi PEN Internasional di New York City. Resminya ia dilarang masuk ke AS karena ia komunis, namun penyelenggara konferensi, penulis drama Arthur Miller, akhirnya berhasil meyakinkan pemerintahan Johnson untuk memberikan visa kepada Neruda. Neruda membacakan puisi di gedung-gedung yang padat, dan bahkan merekam beberapa pembacaan puisinya untuk Perpustakaan Kongres. Miller belakangan mengatakan bahwa Neruda menjadi komunis pada tahun 1930-an sebagai akibat dari keterasingannya yang berkepanjangan dari "masyarakat borjuis". Karena kehadiran banyak penulis Blok Timur, pengarang Meksiko, Carlos Fuentes belakangan menulis bahwa konferensi itu menandai "permulaan dari berakhirnya" Perang Dingin.
Sekembalinya ke Chili, Neruda singgah di Peru, dan membacakan puisi di depan khalayak yang menyambutnya hangat di Lima dan Arequipa. Ia pun diterima oleh Presiden Fernando Belaúnde Terry. Namun demikian, kunjungannya menimbulkan akibat yang tidak menyenangkan. Pemerintah Peru sebelumnya telah menentang pemerintahan Fidel Castro di Kuba. Pada Juli 1966 datang pembalasan terhadap Neruda dalam bentuk surat yang ditandatangani lebih dari 100 intelektual Kuba yang menuduh Neruda berkolusi dengan musuh dan menyebutnya contoh dari “revisionisme pro-Yankee yang pengecut” yang marak saat itu di Amerika Latin. Masalah ini menyakitkan Neruda karena sebelumnya ia secara terbuka mendukung revolusi Kuba. Sejak itu ia tak pernah berkunjung lagi ke pulau itu, meskipun mendapatkan undangan pada 1968.
Setelah kematian Che Guevara di Bolivia pada 1967, Neruda menulis sejumlah artikel yang menyesali kematian seorang “pahlawan besar”, namun diam-diam ia mengutuk petulangan Guevara.
[sunting]Tahun-tahun terakhir
Pada 1970, Neruda terpilih sebagai kandidat presiden Chili, namun akhirnya ia memberikan dukungannya kepada Salvador Allende, yang belakangan menang pemilu dan dilantik pada 1970 sebagai kepala negara sosialis pertama yang terpilih secara demokratis. Tak lama kemudian, Allende mengangkat Neruda sebagai duta besar Chili di Prancis (dari 1970-1972; penempatan diplomatiknya yang terakhir). Neruda kembali ke Chili dua setengah tahun kemudian karena kesehatannya memburuk.
Sementara kerusuhan 1973 berlangsung, Neruda, yang saat itu sekarat karena kanker prostat, merasa hancur karena serangan-serangan yang kian meningkat terhadap pemerintahan Allende. Kudeta militer akhirnya yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet pada 11 September menyebabkan harapan Neruda akan Chili yang sosialis dan demokratis akhirnya terkubur. Tak lama kemudian, ketika rumah dan halamannya digeledah di Isla Negra oleh tentara Chili, yang dihadiri sendiri oleh Neruda, ia membuat pernyataan yang terkenal:
Carilah — hanya ada satu benda yang berbahaya untuk kalian di sini — puisi.
Neruda meninggal karena leukemia pada malam 23 September 1973, di Klinik Santa María, Santiago. Setelah kematiannya, rumah Neruda yang di Valparaiso maupun Santiago dijarah dan dirusak. Istrinya memindahkan jenazahnya untuk dibaringkan di rumah pasangan itu di La Chascona, Santiago, yang berantakan, karena baru saja diserang habis-habisan oleh tentara, sebagai cara untuk mengalihkan perhatian dunia dari perilaku junta Pinochet yang sedang berkuasa. Pemakamannya berlangsung di bawah pengawasan polisi dengan besar-besaran, dan para pengunjung memanfaatkan kesempatan ini untuk memprotes rezim Pinochet.
Matilde Urrutia kemudian menyusun dan menyunting catatan kenangan yang telah dikerjakan Neruda hanya beberapa hari sebelum kematiannya, untuk diterbitkan. Catatan-catatan ini dan aktivitas-aktivitasnya yang lain menyebabkan Urrutia terlibat konflikd engan pemerintahan Pinochet, yang terus-menerus berusaha mengurangi pengaruh Neruda terhadap kesadaran kolektif bangsa Chili. Memang, puisi-puisi Neruda dilarang di Chili oleh pemerintah junta hingga dipulihkannya demokrasi pada 1990. Kenangan Urrutia sendiri, My Life with Pablo Neruda (Hidupku bersama Pablo Neruda), diterbitkan secara anumerta pada 1986.
Neruda mempunyai tiga rumah di Chili; kini ketiganya dibuka untuk umum sebagai museum: La Chascona di Santiago, La Sebastiana di Valparaíso, dan Casa de Isla Negra di Isla Negra, tempat ia dan Matilde Urrutia dikebumikan.

Soneta II

Soneta II diambil dari kumpulan Cien sonetos de amor ("100 Soneta Cinta") yang terbit pada 1959.
Amor, cuántos caminos hasta llegar a un beso,
qué soledad errante hasta tu compañía!
Siguen los trenes solos rodando con la lluvia.
En Taltal no amanece aún la primavera.
Pero tú y yo, amor mío, estamos juntos,
juntos desde la ropa a las raíces,
juntos de otoño, de agua, de caderas,
hasta ser sólo tú, sólo yo juntos.
Pensar que costó tantas piedras que lleva el río,
la desembocadura del agua de Boroa,
pensar que separados por trenes y naciones
tú y yo teníamos que simplemente amarnos,
con todos confundidos, con hombres y mujeres,
con la tierra que implanta y educa los claveles.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

Kasihku, berapa banyak jalan harus kutempuh untuk mendapatkan ciuman,
berapa kali aku tersesat kesepian sebelum menemukanmu!
Kereta kini melaju menembus hujan tanpa diriku.
Di Taltal musim semi belum kunjung tiba.
Tapi aku dan engkau, kasihku, kita bersama-sama,
bersama dari pakaian hingga tulang,
bersama di musim gugur, di air kita, di pinggul,
hingga akhirnya hanya engkau, hanya daku, kita berdua.
Bayangkan betapa semua bebatuan itu diangkut sungai,
mengalir dari mulut sungai Boroa;
bayangkan, betapa bebatuan itu dipisahkan oleh kereta dan bangsa
Kita harus saling mencinta,
sementara yang lainnya semua kacau, laki-laki maupun perempuan,
dan bumi yang menghidupkan bunya anyelir.

Terjemahan dari teks Inggris oleh David Short

Puisi-puisi Pablo Neruda

Download

Tentang Kecantikan Itu

Tentang Kecantikan Itu
Posted by PuJa on December 30, 2011
Bre Redana
Kompas, 27 Des 2011

Ada hal menarik dari pertunjukan monolog Inggit oleh Happy Salma di Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung, tanggal 22 Desember 2011. Pertunjukan yang naskahnya ditulis oleh Ahda Amran dan disutradarai Wawan Sofwan ini bagus. Selama dua jam lebih Happy membawa penontonnya terpaku, terpesona pada Inggit Garnasih (1888-1984), yang seolah merasuk pada aktris asal Sukabumi ini. Siga kasurupan, roh Inggit ngageugeuh dina ragana.
Bahkan bagi mereka yang antusias pada sejarah, dari berbagai cerita mengenai Inggit—istri Sukarno pada masa sebelum Indonesia merdeka—ada hal khusus bisa tertangkap di situ, yakni Inggit sebagai persona, sebagai pribadi, dengan sifat dan karakternya. Itulah yang jarang terungkap pada penulisan sejarah, termasuk biografi. Sejarah, kadang menjadi—istilah Fukuyama—ODAA alias “one damned thing after another”.
Dalam pentas monolog Happy, Inggit bukan hanya tampil dalam lintasan sejarah berikut peristiwa yang dialaminya—yang sebagian bisa kita tangkap lewat buku karya Ramadhan KH atau Cindy Adams—melainkan juga bagaimana wanita ini menyikapi situasi, baik situasi politik, rumah tangga, cinta.
Keberhasilan Happy menjadi Inggit membuat beberapa penonton berkaca-kaca matanya. Beberapa ibu menonton sambil tak tahan mengeluarkan kegemasannya—bagaimana setelah ikut menyertai Sukarno dalam pembuangan segala, sampai Bengkulu Sukarno berpaling pada wanita lain, yang kita kenal sebagai Fatmawati. Yang mengharukan bukan kelembekan Inggit, tapi justru ketegarannya. Ketika Sukarno memintanya untuk berpengertian, bahwa Sukarno ingin menyunting wanita lain, Inggit menggunakan haknya untuk berkata tidak.
“Ceraikan aku dan kembalikan aku ke Bandung,” katanya.
Dalam sejarah kita mengenal, Inggit melewatkan hari tua di Bandung dalam kehidupan sederhana, sebagai pembuat jamu dan bedak. Dia memanggil Sukarno “Engkus”. Tatkala Sukarno wafat tahun 1971, di depan peti jenazah Soekarno yang disemayamkan di Wisma Yaso, Jakarta, Inggit berucap lirih: “Engkus, geuningan Engkus the miheulaan Inggit. Kasep, ku Inggit didoakeun… (Engkus, rupanya Engkus mendahului Inggit. Cakep, Inggit mendoakanmu).”
***
Pentas itu telah menghidupkan Inggit. Pertanyaan yang terus mengganggu—dan kian membuat penasaran—bagaimana Inggit senyatanya, pada masa mudanya, yang membuat Sukarno kepincut? Di sini boleh jadi setiap orang bermain dengan ruang imajinasi yang tersedia.
Sukarno dari Surabaya datang ke Bandung untuk melanjutkan sekolah pada usia sekitar 20 tahun. Inggit lebih tua 13 tahun darinya, dan pada saat Sukarno datang ke Bandung dan idekos di rumahnya, Inggit sudah menjadi istri pedagang bernama Sanusi. Itu adalah perkawinan kedua Inggit. Sebelumnya, dia menikah dengan Kopral Residen bernama Nataatmadja.
Seorang istri pedagang, berhadapan dengan aktivis pergerakan, intelektual, bagaimana kira-kira perasaan Inggit? Bahkan begitu menginjak rumah setelah dijemput Sanusi di stasiun. Sukarno langsung mendaratkan pujian kepada calon ibu kosnya itu. Dia memuji bunga merah hiasan sanggul Inggit.
Padahal bunga itu kuning. Pemuda ini ngawur. Hanya saja, siapa tidak terpincut oleh rayuan gombal pemuda tampan ini?
Rumah yang semula sepi, menjadi ramai sejak kedatangan Sukarno—waktu itu namanya masih Kusno. Tamunya adalah para aktivis pergerakan, seperti Hatta, Sjahrir, dan lain-lain. Inggit suka melihat Sukarno dengan mata berbinar-binar. Mungkin dengan senyum semanis Happy itu.
Seorang wartawan kawakan yang pernah dekat dengan Bung Karno—tak perlu saya sebut namanya—menceritakan Sanusi sering meninggalkan Inggit sendirian dengan Bung Karno dengan alasan berdagang di luar kota. Baiklah, anggap saja ini ruang imajinasi yang tersedia. Wartawan tadi bilang, katanya Bung Karno pernah bercerita, “Bayangkan. Di malam Bandung yang dingin itu, hanya berdua dengan wanita cantik yang sudah matang.”
Bung Karno kemudian menikahi Inggit. Bersama Inggit inilah masa formatif Sukarno. Inggit menemaninya belajar malam-malam, sambil membuat jamu. Dengan jualan jamu dan bedak itu pula Inggit menopang ekonomi kehidupan mereka berdua.
Ketika Sukarno dibuang ke Ende, Inggit menyertai. Begitu pula ketika Sukarno dibuang ke Bengkulu. Selama 20 tahun Inggit satu-satunya wanita bagi Bung Karno.
Kita hanya bisa mengira-ngira, bagaimana kira-kira sosok wanita yang sebenarnya begitu penting hidupnya bagi Sukarno ini. Ingat, selama 20 tahun berarti Sukarno hanya dengan Inggit. Setelah periode Fatmawati, tidak lama kemudian muncul perempuan-perempuan lain, sampai tumbangnya Bung Karno di tahun 1965.
Dengan kata lain, selama 20 tahun pertama Bung Karno dengan satu wanita, bernama Inggit. Pada 20 tahun berikutnya, ibaratnya Bung Karno dengan 20 wanita…
Jelas, Inggit bukan wanita biasa.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/12/tentang-kecantikan-itu.html

HAMBA KEBUDAYAAN DAMI N. TODA *

HAMBA KEBUDAYAAN DAMI N. TODA *
Posted by PuJa on December 30, 2011
Yohanes Sehandi **
Majalah Mutiara (Jakarta) edisi Nomor 347, 22 Mei–4 Juni 1985

DALAM dunia kritik sastra Indonesia modern, nama Dami N. Toda termasuk kritikus sastra Indonesia yang diperhitungkan setelah nama kritikus besar Indonesia, H.B. Jassin, mulai meredup pengaruhnya. Di samping nama Dami N. Toda, ada kritikus sastra Indonesia lain yang juga berbobot, antara lain Umar Junus, Hary Aveling, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo.
Di tengah ributnya masyarakat sastra Indonesia mempertanyakan kehadiran novel-novel absurd karya Iwan Simatupang, puisi-puisi suasana mistik milik Sutardji Calzoum Bachri, dan teater mini kata W.S. Rendra, di saat itulah Dami N. Toda tampil ke permukaan, menjembatani masyarakat sastra Indonesia dengan karya-karya sastra Indonesia modern yang “sarat” diwarnai dengan bentuk-bentuk pengucapan yang baru. Karya-karya Dami N. Toda berupa kritik sastra terhadap bentuk-bentuk pengucapan baru itu terhimpun dalam buku yang diresensi ini. Buku ini berjudul Hamba-Hamba Kebudayaan (1984), diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, dengan tebal 166 halaman.
Catatan: Dami N. Toda lahir pada 29 September 1942 di Pongkor, Manggarai, Flores, meninggal dunia pada 10 November 2006 di Hamburg, Jerman. Karya-karya kritik sastra Dami dalam bentuk buku, antara lain: Puisi-Puisi Goenawan Mohamad (berisi telaah/kritik sastra, 1975), Novel Baru Iwan Simatupang (skripsi sarjana UI, berupa telaah/kritik sastra, 1980), dan Hamba-Hamba Kebudayaan (himpunan kritik sastra dari berbagai media, 1984). Dami pun mengumpulkan cerpen Iwan Simatupang yang tercecer dalam satu kumpulan cerpen dengan judul Tegak Lurus dengan Langit (1983). Puisi-puisi Dami dapat dinikmati dalam buku antologi puisi Penyair Muda di Depan Forum (1974) dan Tonggak III (Editor Linus Suryadi AG, 1987), serta kumpulan puisi pribadinya berjudul Buru Abadi (2005).
Buku berbobot dengan gambar kover motif tenunan ikat daerah ini, berisi 11 artikel kritik sastra Dami yang telah dimuat di berbagai majalah dan surat kabar di Indonesia. Ke-11 artikel kritik sastra itu adalah (1) Kesibukan Hamba-Hamba Kebudayaan; (2) Kritik Sastra Indonesia Mencari Kambing Hitam; (3) Teater Baru Indonesia; (4) Catatan Teoretik Sekitar Penciptaan Novel 1970-an; (5) Iwan Simatupang (1928-1970), Manusia Hotel Salak Kamar 52; (6) Tahap Perkembangan Wawasan Estetik Perpuisian Indonesia; (7) Puisi Indonesia dalam Dekade Terakhir; (8) Pada “Malam Chairir Anwar” KNPI Pusat, 29 April 1980; (9) Menonton dan Mendengar Puisi Konkret; (10) Willy yang Mencari, Terluka, dan Berang; dan (11) Puisi-Puisi Luka Sutardji Calzoum Bachri.
Lewat artikel-artikel yang berbobot dalam buku ini, kritikus sastra Dami N. Toda menemu dan mengungkapkan “kebaruan-kebaruan” estetika sastra Indonesia modern, baik dalam penciptaan novel dan  puisi, maupun dalam penciptaan teater atau drama. Untuk itu, Dami memusatkan perhatian pada  karya-karya Iwan Simatupang (novel), Sutardji Calzoum Bachri (puisi), dan karya-karya W.S. Rendra (teater).
Dalam menelaah karya-karya sastra itu, Dami N. Toda sengaja menghindari penerapan  metode kritik sastra tertentu, karena menurut Dami suatu metode belum tentu dapat dengan utuh menelusuri keunikan suatu karya sastra. Bagi Dami, kritik sastra yang baik perlu cara kerja intrinsik dan ekstrinsik. Di samping kritik sastra bergulat dengan isi dan bentuk dari dunia yang ditemukan pengarang, juga harus menghubungkan cakrawala sastra dengan cakrawala luar sastra yang memungkinkan nilai karya sastra itu komunikatif.
Pada waktu menelaah novel-novel absurd (eksistensial) Iwan Simatupang, Dami terlebih dahulu menelusuri secara mendalam kehidupan pribadi Iwan, kemudian barulah diungkapkan wawasan esetetika karya-karya sastra Iwan. Novel-novel Iwan mengangkat pembacanya ke dunia tak berbenda, dunia spiritual, tak terpahamkan, dan penuh relativisme, karena yang tampak hanya bayang-bayang imajinasi belaka. Realitas imajinasi ini tak berbentuk, tidak mempunyai awal, tengah, dan akhir.
Tokoh-tokoh dalam novel Iwan Simatupang bukan lagi tokoh fisik, seperti dicirikan berpsikologi darah dan daging seperti halnya pada teori novel lama yang hanya terbatas pada realitas formal saja. Karena dalam novel Iwan terjadi perubahan hakikat tokoh, maka konsekuensi logisnya terjadi pula perubahan pada nama tokoh, wawasan alur, dan juga dalam hal latar atau setting. Akhirnya Dami menyatakan penilaian, novel-novel Iwan membawa “kebaruan” estetika penciptaan novel dalam sastra Indonesia modern.
Di samping menelaah novel-novel Iwan, Dami N. Toda mengupas dengan cukup kritis kebaruan estetika perpuisian Indonesia modern, terutama kebaruan yang terdapat dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri. Menurut Dami, sejak lahirnya kesusastraan Indonesia modern (sekitar tahun 1920-an), baru ada dua “titik ekstrim” dalam wawasan estetika perpuisian Indonesia sampai dengan saat ini (1984). Titik ekstrim pertama berasal dari Chairil Anwar (muncul tahun 1940-an), dan titik ekstrim kedua berasal dari Sutardji Calzoum Bachri (muncul tahun 1970-an).
Chairil Anwar bertolak dari “kepercayaan” pada kekuatan kata yang membentuk puisi. Sebaliknya, Sutardji bertolak dari “penampikan kata” sebagai alat rasional estetika satu-satunya, sambil memberikan kepercayaan kepada daya fantasi. Menurut Dami, dalam menulis puisi Sutardji sangat cermat memperhitungkan elemen kata konvensional yang otonom, kata buntungan, elemen bunyi, bahkan tanda-tanda baca, dan cara menuliskan kata-kata. Dengan gigih Dami mempertahankan pendapatnya bahwa kesadaran terhadap kemandirian elemen-elemen tersebut merupakan “dasar kreativitas berkarya”  penyair Sutardji Calzoum Bachri, bukan sekadar kegenitan licentia poetica!
Dalam artikel yang berjudul “Teater Baru Indonesia,” Dami N. Toda mencoba mengungkapkan pertumbuhan teater/drama di Indonesia, dan mendasarkan telaahnya pada karya-karya W.S. Rendra, baik karya asli (Bipbop, Peristiwa Sehari-Hari) maupun karya asing yang disutradarai khas Rendra sendiri (Oedipus Raja, Hamlet, Macbeth, Menunggu Godot, dan Kasidah Berzanji). Analisis Dami terpusat pada “faktor aktor” di atas pentas.
Aktor dalam drama-drama Rendra, menurut Dami bukanlah mesin kata-kata. Tetapi dialah artis. Di atas segala-galanya, aktorlah yang menjadi pusat. Bertolak dari tinjauan yang demikian itu, maka pada akhirnya Dami berkesimpulan bahwa kehadiran teater Rendra di Indonesia merupakan kehadiran “teater baru” yang harus diakui sebagai “pembuka mata” terhadap pengertian teater yang sesungguhnya.
Kesan yang kita dapatkan setelah membaca buku  kumpulan kritik sastra Dami N. Toda ini adalah kekritisan, keorisinalan, dan keluasan wawasan sastra dan filsafat Dami N.Toda dalam mencari, menemukan, dan mengungkapkan “kebaruan-kebarauan” estetika dalam karya sastra Indonesia modern, terutama dalam penciptaan novel, puisi, dan teater. Pandangan Dami N. Toda dalam buku Hamba-Hamba Kebudayaan ini mengukuhkan dirinya sebagai kritikus sastra Indonesia modern yang patut diperhitungkan setelah kritikus besar Indonesia, H.B. Jassin mulai meredup pengaruhnya. *
*) Artikel resensi buku ini disusun 26 tahun yang lalu dan sudah dimuat dalam Majalah Mutiara (Jakarta) edisi Nomor 347, 22 Mei–4 Juni 1985. Sengaja ditampilkan kembali di sini (dengan sedikit penambahan)  sebagai “bentuk rasa hormat” saya kepada Dami N. Toda, seorang sastrawan Indonesia modern (yang juga sastrawan NTT) yang  pada  10 November 2011 genap 5 tahun meninggal dunia).
**) Pemerhati Bahasa dan Sastra Indonesia
Dijumput dari: http://yohanessehandi.blogspot.com/2011/12/hamba-kebudayaan-dami-n-toda.html

Indahnya Sastra Madura

Indahnya Sastra Madura
Posted by PuJa on December 29, 2011
Halimi Zuhdy *
http://ibnuzuhdy.multiply.com/

Sastra Madura yang penuh dengan pesan, kesan, kritik dan ajaran-ajaran sempat lenyap dari permukaan , di masa lampau sastra lisan madura sangat diminati oleh masyarakat dari kalangan grass root (rakyat jelata) sampai kalangan elit (kraton), karena dengan sastra tersebut rakyat madura dapat mengeskpresiankan diri, menyampaikan pesan moral, gejolak hati, ajaran agama. Orang Madura yang terkenal keras menghadapi hidup, maju menentang arus, masih sempat untuk mendendangkan sastra –sastra, dengan kondisi geokrafis yang panas, ombak lautan yang garang, maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat.
Di antara sastra Madura yang sangat di gemari antara lain, dongeng, lok-olok, syi’ir, tembang, puisi mainan anak-anak. Dungngeng Madura adalah cerita atau kisah yang di ambil dari cerita-cerita rakyat madura, yang mengandung beberapa pesan, dan harapan. Dongeng ini sering di dendangkan dalam pengajian, perkumpulan-perkumpulan. Sehingga hal tersebut di anggap primer dalam menumbuhkan kembangkan tradisi-tradisi yang ada dipulau madura. Dan dongeng tersebut merupakan cermin kehidupan pada masa lampau. Sedangkan Syi’ir merupakan untaian kata-kata indah, dengan susunan kalimat-kalimat yang terpadu. Biasanya syi’ir ini di baca di pesantren-pesanten, majlis ta’lim, dan walimatul urs. Tembeng tidak jauh berbeda dengan syi’ir, biasanya tembang di baca ketika punya hajat atau akan mengawinkan anaknya, yang di baca oleh dua orang atau lebih sepanjang malam.
Sastra Madura yang akhir-akhir ini, disinyalir semakin melemah karena publik kurang memperhatikan sebagai mana diungkapkan oleh Prof Dr Suripan sadi Hotomo ‘Sastra Madura’ (modern) telah mati, sebab sastra ini tak lagi mempunyai majalah BM (Berbahasa Madura-Red). Buku-buku BM pun tak laku jual. Dan, sastra Madura tak lagi mempunyai kader-kader penulis muda, sebab yang muda-muda umumnya menulis dalam bahasa Indonesia” Meskipun demikian dewasa ini sedikit, bahkan dapat dikatakan tidak ada, yang berminat menulis sastra dalam bahasa Madura. Bahkan tokoh-tokoh sastrawan Madura, seperti Abdul Hadi WM, Moh. Fudoli, dan lain-lain lebih suka menulis dalam bahasa Indonesia. Sedangkan nama-nama penerjemah sastra Madura yang terkenal seperti SP Sastramihardja, R. Sosrodanoekoesoemo, R. Wongsosewojo kini telah tiada dan belum ada penggantinya. Mungkin hal ini merupakan sebuah proses sastra Madura sedang mengindonesiakan diri. Namun, meskipun demikian sastra Madura tidaklah lenyap dari peredaran tampa menyisakan bekas sedikitpun.
Meskipun ada pendapat modern yang menyatakan bahwa sastra tidak harus menjadi cermin masyarakat, tidak dapat di buat rujukan terhadap fenomena yang berkembang dalam masyarkat tersebut, dan juga sastra bukanlah merupakan gambaran dari kehidupan yang ada pada masyarkat tersebut, namun berbeda dengan sastra Madura yang justru menjadi cermin dari kesanggupan menghadapi kehidupan; alam yang keras, panas yang menyengat, lautan yang garang, dan berbatu cadas, disinilah sastra Madura menjadi cermin kehidupan di samping sikap terhadap Tuhan yang menciptakan alam semesta.
Selama ini orang Madura yang terkenal dengan kekerasaanya, baik watak, sikap, kemauan, berpendapat, dan segala bentuk kekerasan ditujukan pada orang Madura. Sehingga image tentang Madura dihadapan publik buruk dan jauh dari sikap santun dan damai. Sastra Madura dalam hal ini sangat memberikan kesan dan peran , bahwa anggapan publik selama ini tentang kekerasan yang sering diidentikkan dengan jahat, marah, amoral, kasar, tidak bersahabat tidaklah benar. Kekerasan berbeda dengan keras, keras memang merupakan watak kebanyakan orang Madura, yang memang kondisi kultural dan geografisnya panas, ombak lautan yang garang, gunung-gunung yang terjal, bebatuan yang kokoh, menjadikan watak orang medura keras. Keras dalam hal ini, dalam kemauan, memegang prinsip, aqidah, dan keras terhadap ajaran-ajaran agama. maka sastra-satranya penuh dengan motifasi, pesan ajaran yang ketat, menentang kema’siatan, keras terhadap musuh-musuh yang mencoba menghancurkan aqidahnya. Sastra Madura (syair) , yang kebanyakan lewat pesatren dapat membuktikan bahwa isi dan kandunganya mengadung ajaran yang ketat.
Sosok Zawawi dengan celurit emasnya, mampu mengubah persepsi di hadapan publik bahwa celurit sebagai alat pembunuh menjadi alat yang bermamfaat bagi kehidupan orang Madura, yang memang menjadi ciri khas orang Madura. Yang jelas Sastra Madura mampu meluluhkan hati dan gejolak masyarakat Madura, dan menghilangkan kesan terhadap anggapan-anggapan bahwa orang Madura kasar, jahat dan amoral. Sastra yang selalu diindentikan dengan halus, indah maka demikian juga sastra Madura yang penuh dengan mutiara-mutiara kata, rangkain kalimat yang indah dan penuh dengan nuansa regilius.
Potena mata tak bisa ngoba karep
Biruna ombha’ abarnai kasab
Pangeran mareksane ngolapah ateh
Galinah batoh, tebbellah bhumi tak kobasa
Ngoba ngagalinah Pangeran
*) Halimi Zuhdi LS, Peneliti sastra, cerpenis dan Mahasiswa Pasca Sarjana PBA UIN Malang, Alumni Fakultas Humaniora Budaya, Jurusan sastra Arab UIN Malang, dan kini Ketua Linguistic and Literature Malang

Nalar Dekonstruktif Teosof Islam

Nalar Dekonstruktif Teosof Islam
Posted by PuJa on December 29, 2011
Nova Burhanuddin
http://lakpesdam.numesir.com/

Siapa yang mendaku tahu bahwa Allah-lah Sang Penciptanya, tanpa merasa bingung, maka itulah bukti kebodohannya.
(Ibn ‘Arabi dalam al-Futûhât al-Makkiyyah)
I
Landasan awal yang bisa kita pijak dalam kaitan antara dekonstruksi dan teosofi adalah bahwa teks adalah tajalli (“penampakan”, representasi) dari Tuhan. Para teosof berkesimpulan bahwa ada kaitan yang erat antara makhluk dengan Sang Khalik. Kaitan erat ini termanifestasi dalam konsep bahwa alam semesta, beserta seluruh isinya dan apa saja yang berkaitan dengannya, tak lain adalah tajalli dari Allah. Kesimpulan semacam ini tak hanya dihasilkan dari sudut pandang teosofis. Namun sebenarnya bisa dilacak dari seluruh teolog dan pemikir muslim–bahkan dalam tingkatan tertentu mencakup juga seluruh manusia yang berpikir, muslim maupun kafir. Seperti al-Razi dalam Mafâtîh al-Ghaib–buku tafsir yang begitu kental aura teologi asy’ariyah sekaligus aura filsafat abad tengah dan aura sains–pada awal jilid pertama menyebutkan bahwa tiap detil dari penciptaan di dunia ini dan di akhirat nanti hakikatnya menunjuk bahwa semuanya adalah ciptaan Allah Yang Maha Esa. Pembedaan antara istilah tajalli ala para teosof dan istilah menunjuk Sang Esa ala para teolog dan filosof klasik, tak lain akibat pengaruh relativitas maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran masing-masing pemikir. Karena kita tahu, maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran para teosof, sebenarnya adalah ihsân, ma’rifatullâh, dan ahli ihsân. Sementara maqâm, titik tolak, dan subjek-objek sasaran para teolog dan filosof adalah wilayah manusia berpikir secara umum. Dan perlu diingat, pembagian wilayah ini secara relatif dilihat dari sudut pandang derajat kemampuan subjek-objek sasaran dalam menemukan dan membuktikan pendapat-pendapat tersebut secara non-taklidi.
Ada baiknya kita terangkan disini maksud dari relativitas maqâm. Pemahaman ini mungkin terinspirasi dari kritikan balik Syaikh Mahmud al-Ghurab terhadap Ibn Taimiyyah dalam Syarh al-Kalimât al-Shûfiyyah. Menurutnya, Ibn Taimiyyah bisa menyalahkan Ibn ‘Arabi karena hanya berangkat dari apa yang ia pahami dari tulisan-tulisan Ibn ‘Arabi, bukan dari pemahamannya terhadap Ibn ‘Arabi itu sendiri–meski secara global saja, tak menembus kejiwaan Ibn ‘Arabi secara paripurna. “Orang yang memahami perkataan belum tentu memahami yang berkata. Tapi orang yang memahami yang berkata sudah tentu memahami perkataan,” tutur Syaikh Mahmud al-Ghurab. Artinya, kritikan sangat pedas itu didorong oleh ketakmengertiannya akan Ibn ‘Arabi sebagai seorang sufi yang berbicara atas nama ahli ma’rifat. Pantas saja Ibn Taimiyyah begitu tega mengatai Ibn ‘Arabi sebagai memiliki jiwa setan, kafir, musyrik, meghancurkan bangunan syari’at. Ini menunjukkan adanya perselisihan maqâm yang menyebabkan ketidakobjektivan dalam krtikan ini.
Bukti lain yang menunjuk kesesuaian dua istilah antara para teosof dan para teolog-filosof tersebut adalah kesamaan hasil untuk menunjuk adanya Sang Pencipta Yang Esa, baik itu diteropong lewat istilah tajalli maupun istilah menunjuk Sang Esa. Bahkan pun dalam teologi Kristen yang mempercayai konsep Trinitas, teologi Budha dan Hindu yang mempercayai konsep banyak tuhan, masih tersisa benih-benih keEsaan–meskipun dalam bentuknya yang masih keruh.
Kesimpulannya–berdasar ajaran Ibn ‘Arabi ketika menafsirkan ayat Wa qadlâ rabbuka allâ ta’budû illâ iyyâhu–adalah bahwa semua manusia, bahkan semua makhluk, ditakdirkan untuk pasti menyembahNya, mengEsakanNya, dalam bentuk, derajat, tingkatan, dan kekeruhan yang bervariasi. Senada dengan ini ‘Abdul Karim al-Jili dalam Al-Insân al-Kâmil fî Ma’rifati al-Awâkhir wa al-Awâil pada jilid dua, bab terakhir.
Itu dikuatkan oleh Quran yang tak membatasi pengecapan istilah musyrik (antonim kata mukmin, yang mengEsakanNya) hanya kepada non-muslim, tapi juga berpotensi mencakup muslim. Lain syakartum laazidannakum wa lain kafartum inna ‘adzâbî lasyadîd. Bahkan pun dalam kompetisi menghampiriNya, para sufi masih juga bersikeras untuk selalu mengEsakanNya–meskipun sudah tentu mereka muslim–supaya sekali-kali tak terjatuh pada jurang kesyirikan dalam beragam bentuk dan esensinya.
Tajalli Tuhan yang semacam ini sebenarnya bukan hanya diketahui oleh para ahli makrifat, namun juga oleh semua orang yang berpikir. Tentu saja apa yang dimengerti oleh mereka berbeda secara detil dengan apa yang dimengerti khalayak ramai. Yang bisa dimengerti para awam hanyalah jejak, atsar dari tajalli tersebut. Itu bisa diidentifikasi dari kenyataan bahwa kita memiliki kesan yang berbeda-beda terhadap satu objek. Mungkin ada yang beranggapan perbedaan kesan itu muncul semata-mata dari pandangan subjektif kita terhadap objek. Tapi saya kira itu separuh benar, karena subjek dan objek selalu berkait-kelindan dan tak pernah benar-benar terpisahkan. Itu juga terbukti dari temuan-temuan mutakhir dalam dunia fisika–diantaranya Teori Ketakteraturan Heisenberg–yang menyebutkan bahwa tiap detil elektron dari atom mengalami pergerakan “abadi” yang tak teratur. Inilah mungkin yang digambarkan oleh Ibn ‘Arabi dalam Al-Futûhat al-Makkiyyah dan sebenarnya “disepakati” secara umum oleh para teosof Islam bahwa penciptaan Tuhan itu abadi, alam mengalami penciptaan terus menerus, tiap saat penciptaan bagaikan aliran sungai yang tak bisa terulang lagi.
Jejak penciptaan “abadi” ala para teosof tersebut juga bisa dilacak kemiripannya dalam kerja Derrida. Dalam salah satu wawancaranya bersama televisi Amerika, yang termuat dalam film dokumenter Derrida, ia berkata bahwa tiap teks memiliki jejak yang samar dan tersembunyi, yang berpotensi mendekonstruksi bangunan utuh teks itu sendiri. Itu bisa diperjelas dari logika “ketidak-mungkinan” penulisan yang dikemukakan Derrida, sebagai konsekuensi logis logika sederhana dalam filsafat klasik Yunani dan Islam. Yakni, bahwa satu (Arab: Wâhid, bukan Ahad) tak pernah ada bila tak ada dua. Bahwa konsep ide tak mungkin sepenuhnya dapat tertuangkan dalam bentuknya yang asal dan sempurna ke dalam teks. Selalu saja ada pereduksian ide awal dalam teks jadi. Artinya, ada kemungkinan kesan yang berbeda-beda dari tahap ide menuju tahap teks. Kesan yang diterima ketika mendapat ide berbeda denga ketika telah terwujud dalam teks.
II
Landasan bahwa teks adalah salah satu representasi Tuhan bisa mengantarkan kita pada keniscayaan harmonisasi antara dua pertentangan (al-taufîq li al-dliddain). bn ‘Arabi berpandangan, ketika menafsirkan ayat laisa kamistlihi syaiun: bermakna tanzîh; wa huwa al-samî’u al-bashîr: bermakna tasybîh. Yakni, Allah merangkum sifat tanzîh dan tasybîh. Al-Jili dalam al-Insân al-Kâmil berpandangan bahwa tak bisa dikatakan ayat Wamâ khalaqtu al-jinna wa al-insa illâ liya’budûn yang meniscayakan semua manusia dan jin pasti menyembahNya, bertentangan dengan adanya pembedaan antara mukmin dan kafir, karena hakikat ibadah terkadang juga meliputi mukhâlafah (Jawa: nulayani; Indo: menentang) dan maksiat. Pandangan terakhir ini mungkin bisa lebih tak “membingungkan” bila diharmoniskan dengan pandangan Ibn ‘Athaillah al-Sakandari dalam al-Hikam: maksiat yang menyebabkan kehinaan dan rasa membutuhkanNya, lebih baik dari ketaatan yang menyebabkan rasa luhur dan rasa sombong.
Pandangan bahwa Allah merangkum sifat tanzîh dan tasybîh sebenarnya bisa dibilang revolusioner. Kesimpulan semacam itu bisa dipahami bila kita mengikuti sejarah pergolakan pemikiran teologis antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah, juga antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd, dan juga antara al-Razi dan Ibn Taimiyah. Namun bagi penulis, pertentangan itu tak akan selesai dengan sendirinya bila masing-masing masih bersikukuh akan kebenaran mutlak pendapatnya dan mendaku bahwa pihak lawan tak ada sisi kebenarannya sama sekali. Nah, posisi betubrukan ini coba diselesaikan oleh para teosof dengan menyatakan bahwa Allah disamping sifat tanzîh, juga memiliki sifat tasybîh. Ini mungkin semacam legitimasi teosofis terhadap fenomena alam dan fenomena sosial yang nampaknya selalu bertubrukan dan tumpang tindih, namun dibalik semuanya itu menyimpan keharmonisan penciptaan yang luar biasa. Artinya, keharmonisan tak meniscayakan keselarasan melulu, tapi juga mengandung ketakselarasan dalam dirinya sendiri. Harmonis adalah gabungan antara yang selaras dan yang tak selaras dalam satu tubuh dengan komposisi yang ketelitian kadarnya tak terhingga.
Michael Foucault, pengarang The Archeology of Knowledge, pernah menyarankan untuk tak tertipu dengan rasionalitas, pun irasionalitas. Karena dalam diri seseorang atau teks yang dikatakan rasional, tersimpan jejak-jejak irasionalitas. Begitupun sebaliknya. Jacques Derrida, pelopor filsafat Dekonstruksi, penulis Of Grammatology, berhasil menguak jejak-jejak kehancuran, ketidak-harmonisan, keterputusan dalam setiap teks yang terlihat padu dan harmonis. Dekonstruksi itu terjadi karena adanya shackles of rational/metaphysical thought (belenggu rasional/pemikiran metafisik) yang menyebabkan proses penulisan, sekaligus juga pemahaman akan hasil tulisan dari sudut sang pembaca, menjadi tak terkontrol–sehingga terlupakanlah sebagian detil yang sebenarnya berpengaruh besar dalam terwujudnya makna yang relatif komprehensif. Tentu saja makna metafisik disini tak sama dengan “metafisik” ala para teosof muslim: yang pertama berdasar ilusi rasional, sementara yang kedua berdasar kasyf.
III
Titik lain yang menjadi pertemuan antara dekonstruksi sebagai aliran filsafat dan ajaran teosofis sebagai kearifan ilahiah adalah al-hairah/confusion/perplexed/bewilderment (kebingungan). Ian Almond dalam Sufism and Deconstruction ~ A Comparative Study of Derrida and Ibn ‘Arabi berpandangan bahwa confusion (kebingungan) dalam wilayah filosofis dan sufistik terjadi ketika sejumlah rasionalitas kita tak cukup untuk memahami apa yang sedang terjadi. Seolah volume gelas dalam pikiran kita tak cukup menampung dahsyatnya curahan volume air laut yang begitu bergelombang. Kebingungan ini menahan logika bahasa kita untuk bicara. Kita terdiam heran, seraya tak paham.
Dalam tradisi filsafat timur dan barat secara umum, kebingungan teridentifikasi sebagai problem yang harus segera dipecahkan. Kebingungan adalah keraguan antara ya dan tidak. Keraguan tak lain merupakan tahap pertama seseorang dikatakan berfilsafat. Apa yang mendorong al-Ghazali bergonta-ganti “pegangan” dalam menggapai ilmu yang meyakinkan, seperti terbaca dalam al-Munqidz min al-Dlalâl, tak lain adalah keraguan. Dalam tradisi filsafat timur juga, kebingungan dianggap sebagai ketidakmampuan mengerti kehendak Tuhan yang termanifestasikan dalam setiap fenomena alam dan sosial yang seringkali acak, saling tumpang tindih, dan seakan saling bertubrukan tiada henti. Selain itu juga masih dianggap sebagai keadaan mental atau spiritual yang mundur dan butuh pemulihan. Sementara itu, filsafat pembangkit renaissance barat ala Descartes, sebagaimana dalam The Discourse on the Method, ialah proyek mengatasi keraguan demi menggapai standar keilmuan yang meyakinkan.
Namun tak selamanya identifikasi harus segera dipecahkan itu benar. Dalam salah satu pengajian umum, penulis mendengar KH. Asrory al-Ishaqi ra, salah seorang master sufi di Surabaya, pernah dawuh, “Ma’rifatullâh itu memiliki awal dan akhir. Awalnya adalah berpikir dan akhirnya adalah bingung.” “Bukankah keyakinan itu menenangkan hati, Yai?” lanjut sang Kyai, mengutip pertanyaan salah satu muridnya. “Ya, namun siapa sih yang tak bingung-cemas, bila meyakini bahwa semua takdir baik dan buruk pada akhir hayat manusia itu semata-mata di tangan Allah?” Sementara itu, salah satu dampak “ledakan horizon semantik” dalam filsafat Dekonstruksi adalah kemungkinan menjadikan kebingungan bagian integral dalam konsep kebenaran yang lebih luas. Kebingungan bukan lagi problem, ia hasil akhir. Dengan menerima kebingungan sebagai salah satu elemen penting dalam konsep kebenaran yang lebih luas, sebenarnya kita telah membobol belenggu rasional dan metafisik hingga kita bisa mengerti “situasi yang sebenarnya”.
Antara Derrida dan para teosof Islam, dalam masalah kebingungan, saya kira memiliki persamaan. Kedua pihak saling disalahartikan lantaran mengungkapkan pendapat yang cukup membingungkan. Masing-masing dari kedua pihak, membelah orang lain dalam kelompok yang mengaguminya dan kelompok yang membencinya. Ibn ‘Arabi dianggap sebagai Sulthân al-‘Ârifîn, sebagaimana Abu Yazid al-Busthami. Karyanya sampai sekarang dianggap sebagai ensiklopedia sufistik terlengkap, yakni Al-Futûhât al-Makkiyyah. Namun disisi lain, ia dianggap sebagian ulama, terutama Ibn Taimiyyah dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah sebagai seorang kafir, musyrik, ateis… Karya-karya di-black list oleh Al-Subki, juga al-Suyuthi. Adapun al-Suhrawardi al-Maqtul diangap sebagai master illuminasi dalam Islam (Syaikh Isyrâq) dan dikenal sebagai orang pertama yang berhasil mengkritik logika arstotelian dalam kerangka yang cukup matang secara sufistik dan menggantikannya dengan logika illumniasi (Manthiq al-Isyrâq). Masterpiecenya dalam hal ini adalah Hikmah al-Isyrâq. Namun ia pada akhirnya harus mati dalam pembunuhan penguasa lantaran mengajarkan tasawuf yang bertentangan dengan ajaran tasawu sunni. Adapun Ibn Sab’in dianggap tokoh yang berhasil meneruskan dan mengembang ide-ide Ibn ‘Arabi tentang wahdah al-wujud dengan menggulirkan ide al-wahdah al-muthlaq. Namun sayangnya juga banyak dikecam lantaran terlalu berani mengkritik banyak filosof Islam dan mengajukan teori al-wahdah al-muthlaq, sebagai kepanjangan teori wahdah al-wujud.
Sementara itu, Derrida begitu sering dikecam oleh banyak sekali pemikiran filosof. Ada yang mengatainya sebagai seorang filosof yang hanya bermain-main pada permukaan logika sehingga menghasilkan kesimpulan yang selalu membingungkan. Ada yang menyimpulkan dekonstruksi tak memberikan kemajuan apa-apa, karena tak berusaha menguak sedalam mungkin logika yang terkandung dalam sebuah teks. Tapi kritikan iu semua tak berarti apa-apa bila kita tak mempertimbangkan banyak pihak yang juga menerima baik aliran dekonstruksi ini. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa perselisihan dekonstruksi terjadi akibat tak memahami bahwa dekonstruksi bukanlah menhancurkan logika teks itu sendiri, melainkan menemukan dekonstruksi (ketakharmonisan, kehancuran) logika dalam tubuh teks itu sendiri. Ada pula yang menyimpulkan bahwa dekosntruksi berjasa besar dalam menemukan kemungkinan lain dalam pembacaan sebuah teks. Ini juga bermanfaat sebagai kritik keabsolutan komprehensifan sebuah teks. Juga mengandung kemungkinan perluasan makna komprehensif menjadi lebih luas, lepas dari segala pembacaan linear dan doktrinasi ideologi.
***
Tulisan diatas hanya sekelumit usaha untuk mengkomparasikan nalar teosof Islam dengan aliran dekonstruksi Derrida yang sangat populer dalam kajian teks dan sastra. Usaha diatas bukanlah usaha untuk menyamakan kedua kecenderungan tersebut. Juga tak bisa melegitimasi bahwa filsafat dekonstruksi adalah islami. Tulisan diatas jauh untuk dibuat sebagai salah satu proyek islamisasi pengetahuan, dengan cara islamisasi filsafat. Sama sekali tidak. Namun tulisan diatas hanya berusaha sesederhana mungkin untuk menunjukkan sekelumit kesamaan logika teosof Islam dengan logika dekonstruksi ala Derrida. Ini juga merupakan salah satu penguat banyak kesimpulan sebagian peneliti bahwa ajaran teosofi Islam–terutama teosofi Ibn ‘Arabi–merupakan ajaran yang paling mendekati filsafat modern dan posmodern sekaligus. Landasan historis untuk berkesimpulan demikian tak hanya ditunjukkan oleh kesamaan sebagan logika antara keduanya, tapi juga secara historis. Lebih tepatnya adalah pengaruh ajaran teosof Islam, terutama Ibn ‘Arabi, kepada dunia filsafat barat secara umum dengan tokoh-tokohnya seperti Pseudo-Dionysius pada abad ke-5-6 Masehi, Dante Alighieri (1265-1321), dan Meister Eckhart (1260–1327). Bahkan tokoh yang disebut terakhir adalah diantara tokoh yang begitu mempengaruhi Derrida dalam pandangan teologi “negatif”nya. Itu terlihat dalam analisis Derrida Revue de Métaphysique et de Morale yang muncul pada tahun 1964.[]
11 Desember 2010

Menggali Puing-Puing Sastra Madura Yang Tersisa

Menggali Puing-Puing Sastra Madura Yang Tersisa
Posted by PuJa on December 29, 2011
Syaf Anton Wr
http://mediamadura.wordpress.com/

Sejak kapan sastra Madura mulai berkembang, sampai kini belum ditemukan bukti otentik. Namun tampaknya dari beberapa keterangan, di Madura sudah mengenal tulis menulis pada jaman kejayaan Singosari. Namun pada waktu sebelumnya, sekitar abad 18, pernah berkembang sastra yang berbentuk cerita lisan, yang kemudian mengimplementasi dalam kisah-kisah babat Madura.
Cerita yang umumnya dalam bentuk fable dan farable tersebut, tampaknya sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan sastra lisan selanjutnya.
Sastra Madura mengalami tahapan perkembangan kemudian digambarkan sebagai priodisasi perkembangan sastra Madura, yaitu : priode pertama; tahapan sastra Madura lama; sampai tahun 1920; priode kedua; tahapan sastra Madura baru: sampai tahun 1945: dan priode ketiga; tahapan sastra Madura modern; sampai 1977 (sampai kini);
Sejak berdirinya Balai Pustaka, tampaknya mulai terbangun kondisi segar peta sastra Madura. Sejumlah karya sastra yang umumnya ditulis dalam bentuk cerita, baik karangan asli maupun terjemahan mulai menunjukkan bumi. Demikian juga sastra lisan terus bertahan dari mulut ke mulut, namun untuk jenis sastra ini secara lambat makin kehilangan penuturnya.
Tampaknya fenomena sastra Madura dalam perkembangannya, banyak dipengaruhi oleh kehidupan sastra Jawa, hal ini tentu sangat beralasan mengingat selain wilayahnya yang berdekatan, pengaruh pergaulan antar kedua etnis, termasuk didalamnya, hubungan perdagangan, politik, pendidikan dan kebudayaan antara Jawa dan Madura, terdapat benang merah yang erat. Bahkan penggunaan bahasa komunikasi dan bahasa tulis Jawa sangat dikenal dengan sebutan Carakan Madura, atau Aksara Jaba, atau Jaban, hampir tidak ada beda. Untuk menunjukkan tingkat kesamaan dan pengaruh sastra Jawa dalam kehidupan sastra Madura, dapat diperhatikan dalam puisi-puisi (lisan) yaitu dalam bentuk tembang, seperti contoh: Salanget (Kinanthe), Pucung, Mejil, Maskumambang, Durma, Kasmaran, Senom dan seterusnya.
Sebuah Potret
Meski sastra Madura banyak ditulis, namun sastra lisan tampak lebih menguat dan berkembang dihati masyarakat. Alasan ini kemungkinan, karena dunia membaca kurang mendapat perhatian dan minat, karena kondisi masyarakat (pedesaan) yang masih hidup secara tradisional, sehingga perkembangan sastra lisan tersosialisasi melalui pengaruh lingkungan dan pergaulan. Karena pemikiran dan pengkhayatan lingkungan kerap terjadi perubahan-perubahan, sastra lisan juga kerap mengalami penambahan-penambahan sesuai konteks perkembangan masyarakatnya. Bahkan sering terjadi, dalam bentuk sastra yang sama, bisa mengalami perbedaan antar wilayah (kampung) yang satu dengan wilayah lainnya.
Beberapa contoh bentuk sastra (puisi lisan) Madura:
1. Gancaran (prosa liris);
Karangan bebas dalam bentuk surat, cerita/dongeng, pidato/sambutan, atau tulisan/penyampaian dengan bahasa yang puitis. Dalam gancaran ini, ada dua bentuk, yaitu gancaran yang menggunakan okara kakanthen, yaitu dalam pengucapannya lebih menekankan dalam tingkat bahasa tinggi dan gancaran yang tidak menggunakan okara kakanthen, biasanya dilakukan dalam bentuk pergaulan sehari-hari.
2. Lok-alok.
Puisi yang diucapkan oleh pembacanya (tokang lok-alok) pada saat menjelang dilaksanakan kerapan sapi atau menjelang pelepasan perahu ketika para nelayan menuju laut.. Tokang lok-alok (deklamator) biasanya orang pilihan yang mempunyai kemampuan lebih ketika tampil di tengah massa, sehingga .lok-alok memberi semangat untuk bertanding. Salah satu contoh lok-alok kerapan sapi:
baja mangken dhung-ondhung are
nemor kara, bentar tonggga’ dhalem aeng
kaula andhi’ bur-leburan dua’
ne’-kene’ cabbi lete’
moga daddi sampornana
ka se nangga’ sareng se nenggu
ka se etangga’ sareng se etenggu
se panglowar e sebut se gambar
se pangdhelem ajajuluk se gambu
dhu tang ana’ se sa pasang
ana’ gambar rembi’ tabungkos
etella’ temmo ceyaran
ngabas are ta’ solap
nedda’ teppong ta’ alampat
adhu kacong buwana ate
tadha’ bunga andhi’ ana’ kantha ba’na
eabas dhari adha’ gaga’
eabas dhari ereng mantereng
akantha arjuna kembar
adhu kacong pola ba’na
atapa pettobelas taon e gunong maraong
salbak macan lopot.
Arti Indonesianya:
saat ini mentari condong ke barat
kemarau kering, pecah tonggak dalam air
aku punya dua kekasih
kecil-kecil cabe rawit
semoga jadi sempurnanya
bagi yang nanggap maupun penonton
bagi yang ditanggap dan yang ditonton
yang bagian luar (kiri) disebut si gambar
yang bagian dalam (kanan) disebut si gambu
wahai anak-anakku sepasang
anak kembar lahir terbungkus
dicubit sedikit saja bungkusnya pecah
menatap matahari tidak seilau
tidak menjejak menginjak tepung
wahai anak buah hatiku
betapa bahagia punya anak seperti kalian
dipandang dari depan gagah
dipanding dari samping mentereng
seperti Arjuna kembar
wahai anakku mungkin kamu
bertapa tujuh belas tahun di gunung raung
diterkam harimau terlepas.
Dalam lok-alok lebih menekankan pada irama dan rima, sehingga makna kata dan bahasanya terbebas. Uniknya Lok-alok diucapkan/dibacakan dengan nuansa teatrikal sehingga kesan yang diterima dominan menciptakan vocal dengan intonasi yang mengesankan sebagaimana pembacaan puisi/declamation. Lok-alok, tampaknya sudah tidak dikenal lagi di masyarakat, mungkin pertimbangan praktis dari masyarakat (modern) atau para pelaksana kerapan sapi telah beralih di tangan pemerintah.
3. Puisi anak-anak.
Puisi anak-anak (mainan anak-anak – folklore – ) umumnya dalam bentuk lagu atau nyanyian. Syair-syairnya kadang sulit dimengerti, karena sebagaimana puisi Madura lama lazimnya, unsur bunyi lebih kuat tekanannya. Karena kekuatan bunyi itulah, kerap anak-anak kurang memahami maknanya. Karena puisi dicipta sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya, maka puisi-puisi yang ditulis, juga mempunyai kepentingan yang berbeda.
Dimensi pembinaan dan pendidikan tampaknya menjadi syarat dalam puisi lisan Madura, sebagaimana contoh dalam lirik seperti dibawah ini
Pak-kopak eling/Elingnga sakoranji/Eppak olle papareng/Ana’ tambang tao ngaji/Ngaji babana cabbi/Ka’angka’na sarabi potthon/Ecocco’ dhandhang pote, keba mole/Ecocco’ dhangdhang celleng, keba melleng
Cong-kong konce/Koncena lo-olowan/Sabanyon saketheng/Na’kana’ markong-markong/Baba’anna kapong-kapong/Ngek-serngegan, rot sorodan/Pangantan tao abajang/Abajanga keta’ kedung/Ondurragi jung baba’an.
Di’dindi’kapas/Kapassa lema-lema/Lemanto/Sapa nyamana manto/Mantogi/Sapa nyamana togi/Togilar/Sapa nyamana gilar/Larbais/ Sapa nyamana bais/Baisto/Sapa nyamana isto/Istopa’ balang kette’ tetteng
Pak-rampak kokkonengan/Nemmo sello’ elang pole/Katopa’ tojuk nengkong/Abali pole manjeng
Dhi-padhi cemplok, lo’ling/Entara kana’ supang, nyang sayang/Ambu’ ambang atutup pindhang, alalap kacang nyang pettis/Tis kontrolir, bu’ ayu/Dhadah’aran kundang kali Mansur, jaran garejjeggan jaran
Gareneggan, no’-lenno’ nyodhu tajin
Ba-baba bulan bulanna sapa/Bulanna ………/Agaleppa’ agalebber, noro’ ompossa penang/Buru dha’emma’anna/Buru ka gerrungnganna
Di’dindi’ liya leyo/Pocedda koddhu’/Na’kana’ alekaya/Gi’ bellun toddu/Teng-jeliteng/Ma’ towana soro dhateng/Dhatengnga laggu’ malem/Dika pagar bato/Bula pagar carang/Dika ana’na rato/Bula ana’na pangeran/Assem bang-labang/Manja’ etem neng salokke’/Mesem paraban/Kare mesem ekekke’ pate’/Geddhang karepe’/Orang ngandung takepe’/Takepe’ babana lombung/Kothak-kathek ondur dhateng./(catatan R. Wongsoprayitno)
Dhe’ Nong Dhe’ Ne’ Nang/Nangnganang nganang nong dhe’/Nong dhe’ ne’ nang jaga jaggur/La sa sayumla haeto lella/Ya amrasul kalemas topa’/Haena haedheng haena dhangkong/Pangantanna din ba’aju din tamengkong/(dst)
Contoh-contoh penggalan puisi tersebut diatas, dalam sastra Madura, lebih dikenal sebagai jung-kejungan, yaitu puisi yang dilagukan dan mempunyai perbedaan dengan kejung (kidung) yang menjadi ciri umum, sebagaimana kidung dalam gending-gending Jawa dan Madura.
4. Puisi Ritual
Puisi-puisi ritual mempunyai nilai sakral, karena didalamnya terdapat unsur-unsur permohonan kepada Yang Maha Kuasa. Puisi ritual digunakan untuk kepentingan-kepentingan masyarakat secara umum, semisal permohonan minta hujan, tolak balak, Selamatan laut, panen dan kepentingan lainnya. Puisi-puisi jenis ini mempunyai sugesti kuat karena didasarkan keyakinan masyarakat, khususnya masyarakat Madura tradisional di pedesaan atau di pesisir. Puisi ini dilakukan sebagai pokok upacara adat, seperti pantil, cahhe’, ratep dan pojian.
Sebagaimana puisi-puisi Madura lama umumnya, unsur bunyi tampak lebih mendominasi daripada kata itu sendiri, sehingga sulit memaknai kata-katanya. Dalam proses ritualnya si pelaku atau jamaahnya diajak lebih khusuk bahkan trance. Semisal dalam pojian dikenal syair
dari dhilang sonar sondhing adhung ana’ etemanga
(Sodhir Sonar)
leya rentang sandhurandhing dhing dhing dhing
adhu rentang sandurandheng
(Lentang Sandhurandhing)
atau liya lilli ta’liya lingsir
Intensitas bunyi dari penggalan syair tersebut, mampu menggantikan alat musik lainnya, dan banyak pihak menyebutkan, contoh puisi diatas masuk bagian dari seni primitif yang berkembang sejak berabad sebelumnya. Namun tampaknya puisi-puisi ritual yang hidup di tengah masyarakat, lambat laun mengalami gesekan dan perubahan, ketika Islam mulai berkembang yang ditiupkan oleh pesantren. Untuk menangkal proses ritual yang berselebahan dengan norma-norma agama (Islam), maka mulai berkembang puisi-puisi dari pesantren yang ditulis dan disebarkan oleh kalangan kiyai yang kemudian dikenal dengan syi’ir-syi’irnya, yang banyak mengajarkan tentang baik buruk di mata Islam.
5. Syi’ir
Sebagaimana diketahui, bahwa pulau Madura banyak terdapat pondok pesantren, dan tumbuh subur dari tahun ke tahun. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tampaknya menjadi ladang berkembangnya kehidupan sastra. Banyak bermunculan kalangan sastrawan justru dari wilayah pesantren. Karena pesantren sebagai pusat pendidikan agama, maka sastra yang tumbuhpun mengarah pada bentuk sastra keagamaan.
Syi’ir merupakan sastra yang hidup dan berkembang dari pesantren yang tentu menjadi salah satu bentuk sastra/puisi Arab. Umumnya syi’ir ditulis oleh para santri jaman dahulu di luar waktu belajar, yang kemudian sering dijadikan salah satu bentuk pengantar dzikir saat menjelang waktu sholat Maghrib di surau, langgar atau musholla dan dilantunkan dengan suara merdu, yang kemudian merambah ke luar pesantren, dengan berbagai variasi irama atau lagu-lagunya.
Bentuk syi’ir tak beda dengan syair-syair Melayu lama sebagaimana contoh:
//Astaughfirullah heran kaula/zaman samangken banynya’ se gila/banynya’ rosagan se bala-bala/jau kalaban zaman se bila//
(//astaughfirullah heran saya/jaman sekarang banyak yang gila/banyak kerusakan antar keluarga/jauh dengan zaman yang dahulu//)
//ngimanagee dha’ naraka/neko enggun reng durhaka/labangnga petto’ banynya’na/kapantha petto’ barnana/egiring oreng se kafer/kalaban oreng se mongker/para’ ka pengggirra/nangis aeng mata dhara/malaekut laju ngoca’/ma’ ta’ nanges ka Allah lamba’/erantai tanang le’erra/acabbur ka tengnga’anna/kalabang olar ban kala/laju nyander ka reng sala/dhalem apoy reng-cerrengan/laban thowat long-tolongan//
(//percaya pada neraka/tempat orang yang durhaka/pintunya ada tujuh/dibagi tujug warna (macam) /digiring orang yang kafir/bersama orang yang mungkir/hampir ke tepian/ia menangis aer mata darah/malaikat lalu beracap/mengapa sejak dulu tidak mengangis kepada Allah/tangan dan lehernya dirantai/lalu diceburkan ke tengahnya/kelabgang, ular dan kala/lalu mendatangi orang yang salah/dalam api menjerit-jerit/dan berteriak minta tolong//)
//neserra badan bila pon mate/coma e bungkus labun se pote/kalamon ta’ esaporana Guste/ta’ burung ancor tolang se pote//
(//kasihan bila diri telah mati/hanya dibungkus kain yang putih/apabila tidak mendapat ampunan Gusti/tentulah hacur belulang yang putih//)
//Ajja’ denggi sasamana/Makhluk Alla dha-padhana/Gutong rojung/Gampang olle//(Moh. Tayib)
(//jangan dengki sesama/mahluk Allah sama saja/gotong royong/mudah didapat//)
6. Bak-Tebbagan (teka teki):
contoh: – mon egagap badha, nangeng bila etole’e tadha’ (kopeng)
- ka bara’ calat, ka temor calat (calatthong)
- ta’ tol jan bat (ata’na butol ojanna lebat)
- solorra ka taman, konco’na ka accem (ajam)
dan semacamnya.
7. Paparegan
Puisi pendek yang memakai sampiran dengan menggunakan pola rima seperti contoh:
Blarak klare
Trebung manyang
Baras mare
Tedung nyaman
Atau
Ka gunong ngala’ nyarowan
Kope bella kabadhdha’a
Pekker bingong ta’ karowan
Nape bula katamba’
Selain contoh-contoh tersebut, masih banyak bentuk-bentuk sastra lainnya, baik yang ditulis maupun yang diucapkan, yang tidak mungkin semua dapat ditulis dalam makalah ini, namun tampaknya saat ini telah menghilang dari peredaran. Bahkan ditengarai budaya-budaya yang secara tradisional awalnya semarak, kini tidak lagi mendapat perhatian masyarakat, karena berbagai faktor klasik, yang memungkinkan pada saatnya nanti akan punah.
8. Puisi Madura Mutakhir
Puisi Madura mutakhir, yaitu puisi-puisi yang ditulis oleh generasi tahun tujuan puluhan sampai kini. Sulit didata nama-nama yang secara kontiniu menulis karya-karya sastra berbahasa Madura, barangkali hal ini disebabkan media yang dijadikan acuan publikasi belum ditemui sebagai wilayah eksplorasi karya sastra Madura.
Memang pernah terbit sebuah media yang diharapkan mampu mencipta fenomena sastra Madura, seperti bulletin “Konkonan”, namun sifatnya hanya lokal di Sumenep, format dan kemasannyapun sangat sederhana dan hanya dibaca kalangan terbatas (pendidikan). Jadi agak sulit perkembangan sastra Madura (modern) mampu melaju sebagaimana yang diharapkan.
Apakah hal tersebut menjadi alasan mandegnya sastra Madura?. Untuk menyebut sebagai indikasi, barangkali masih menjadi perdebatan, karena sastra sendiri sangat bergantung pada kemungkinan kesadaran sastrawan sendiri dalam melahirkan karya-karyanya. Paling tidak, dua nama dibawah ini, meski tidak mewakili fenomena yang berkembang, namun (minimal) menjadi penyejuk, bahwa sebagaimana yang selama ini disinyalir “sastra Madura modern telah mati”, masih mencoba bernafas kembali meski dalam tahapan kecil.
DHARA CAMPOR MARDHA
Sasembaa’an dha’ Jeng Ebu Pertiwi
Tareka ka’dinto ebu, medal dhari sokma
Se talempet dhalem nespa tor nyangsara
Arastosan taon
Tareka ebugel, sowara edunggem
Roba ta’ odhar, labang ta’ adhardhar
Naleka Hirozima Nagasaki epajunge kolat mardha
Samoray taselpet, Hinomaru aleppet
Nippon gippon, ta’ kobasa namba’
Mok-amok Sakutu
Pottra nyelpettagi tareka, akerek mera pote
Majunge bume Nusantara
Tareka mardika agarudhu’ magundhek jagat
Raga se kendhur sakojur, odhar
Nyaba se ta’ kababa, abangbang alapes baja
Kacong cebbhing pada asabung, aorak, arakrak
Ta’ marduli dhara se nyapcap
Ta’ marduli mardha se nyapsap
Dhara campor mardha
Agaluy dhalem dhadha
Tojjuwan nonggal
Mardika, jaja, raja.
1988
(Arach Djamali)
DAMAR BADHA E PARTELLON
Capcabba dhara ban nana noro’ lanjangnga lorong
agili dhari kol-tongkolan mate’e damar
ojan
molae derres e konco’na malem
adharak sakalengngadha’ padhana etotta’ dhari langnge’
balaburra ngaracak ta’ bisa alanyo’ merana dhara
ban antemma nana
pajung se epatabar ba’na
buru epakalowar saellana kalambi
ban sakabbiyanna ban-giban padha kopo kabbi
malarat rassana abida’agi gaga’anna tananga ba’na
e attassa loka ban poro
karana padha peddina
osaban lere sarat kalaban kaparatenan
e nga’-tengnga’anna mergi’ tombuna tobba
se molae badha naleka sengko’ molae kasambu’
ka bulan pornama moncar dhari mowana ba’na
ba’na molae nganggi’ bintang dhalem mempe
ban naleka tajaga karana badha senter bato sapolo
dhateng ngellone atena ba’na
dhaksakala ba’na andhi’ bungkana kabangalan
saabidda abuwa copa
nyembur tang mowa naleka sengko’ lebat e babana
tape ropana ba’na ecapo’ balat
nang-konang se ekasanggu bintang
gan settong mate
naleka ba’na molae pelka’ ka aeng
se nyembur dari nga’-tengga’anna bintang
se pajat bisa esebbut bintang
mangkana ba’na sateya duli berka’
naleka damar e partellon
akantha ta’ tao ja’ noro’ lorong
mare nyapcap dhara ban nana
ban ta’ losso tekka’a ecapo’ ojan
se para’ maabi’a gel-togellanna malem
sengko’ bingong majejjeng e nga’-tengnga’anna partellon
kottha e adha’ padha elang
naleka ngedhing ba’na ra’-era’an ban ba’-koba’an
antara abali, terros otaba ka kacer
menangka peleyan sepadha mamate ka aba’
ojan aherra dhateng pole
naleka sengko’ ban ba’na padha badha e partellon
(Abd. Gani)
Menggali Puing yang Tersisa
Tergesernya sastra Madura dalam kehidupan masyarakat Madura, bisa disebabkan oleh beberapa faktor yang berhubungan dengan makin meningkatnya kebutuhan masyarakat di luar kebutuhan “sastra” sendiri. Demikian pula, lajunya “pembangunan” makin melaju pula ragam jenis budaya yang (konon) melampauI batas kemampuan budaya masyarakat setempat, yang terus menyentuh dan mengelabuhi sistem kehidupan sampai ke wilayah pelosok pedesaan.
Kekhawatiran akan punahnya sastra Madura sebenarnya erat hubungannya dengan makin lemahnya posisi bahasa Madura. Indikasi ini bisa jadi disebabkan.
1. Penggunaan bahasa Madura kurang intense dalam bahasa tutur di masyarakat;
2. Pembina/pendidik kurang layak dalam menerapkan pengajaran bahasa dan sastra Madura, karena keterbatasan kemampuan dalam mengkomunikasikan dengan anak didik;
3. Media dan penerbitan buku berbahasa Madura nyaris tidak ada, kalau ada sifat lokal dan untuk kalangan sendiri.
4. Kurang maraknya peristiwa apresiasi sastra Madura, baik dalam bentuk pertemuan, diskusi maupun sayembara/lomba;
5. Dan sebab-sebab lainnya, yang menjadikan sastra Madura terpinggirkan;
Barangkali, akan menjadi pembenaran bahwa sastra merupakan cermin dari masyarakat, dan ketika sastra tersisihkan dari masyarakatnya, ketika itu pula manusia mulai kehilangan indentitas diri, kehilangan nilai-nilai kemanusiaannya. Apakah ini juga akan menjadi cermin masyarakat Madura?

Dijumput dari: http://mediamadura.wordpress.com/2008/08/18/menggali-puing-puing-sastra-madura-yang-tersisa/