http://batampos.co.id/Mingguan/Sastra/Pada_Suatu_Janji.html
Pada Suatu Janji
Minggu, 18 Oktober 2009
Oleh: Syahreza Faisal
“Ibu merelakanmu untuk pergi. Pergilah anakku, dengan hantaran doa ibumu yang sudah tua ini, niscaya di mana pun berada, engkau akan dilindungi Tuhan. Mudah-mudahan engkau cepat pulang.” Ibu itu dengan berat hati akhirnya melepas pergi, Muda anaknya yang beranjak tumbuh dewasa. Muda pergi mencari orang yang tadi malam bertamu pada ibu mencarinya, dan mengancam akan membunuhnya, padahal ibu masih memakai mukena saat itu, menyuruhnya masuk dengan baik-baik. Orang itu anehnya tak berbuat kasar dan kurangajar. Muda pada saat itu sedang menginap di rumah pak Anto, yang mengecat dinding rumah. Muda tidak tahu apa alasan orang itu mencari-carinya. Dendam atau bahkan permusuhan, Muda tak ingat sama sekali.
Muda lahir tanpa bapak. Karena bapaknya itu meninggal ketika Muda masih di dalam perut ibunya, berumur dua bulanan. Muda sering bertanya pada ibunya tentang lelaki yang dipanggil bapak itu. Tapi ibu selalu mengalihkan pembicaraannya, bila ditanya soal bapak. “Bapakmu hanya pekerja biasa. Ia bekerja sebagai guru di hari biasanya, di sebuah sekolahan di seberang kampung. Kemudian Tuhan memanggilnya terlalu dini.” Jawab ibu seadanya saja. Ketika dipertanyaan apa penyebab kematiannya, ibu membantah kalau bapaknya dibunuh orang menjelang pemilihan presiden, seperti yang sering Muda dengar dari gunjingan orang-orang.
Mulai dari saat itulah Muda, hidup dengan bayang-bayang Bapak yang pernah ia saksikan di masyarakat sekitar. Mungkin bapak seperti Pak Dirman, tak terlalu besar, berwajah hitam legam terbakar sinar matahari. Setiap tak ada pekerjaan mungkin minum kopi sambil menyulut sebatang rokok di beranda rumah. Bisa saja bapak seperti Pak Toyo yang tubuhnya besar, perutnya tambun. Bila berjalan dengus nafasnya keras sekali terdengar. Bisa juga seperti Pa Kiwang, kurus kerontang. Yang setiap malam batuk-batuk karena mengidap penyakit TBC. Tapi bukan tak pernah Muda mencoba mencari keterangan pada keluarga bapak. Muda sering pergi ke kota bertanya soal bapak pada saudara-saudaranya. Tapi jawaban yang tak jelas selalu didapatinya.
“Bapakmu guru, dan sering sekali orang-orang memanggilnya Pak Guru. Selebihnya persis denganmu wajahnya.” Kisah Paman Yudi, pada Muda sewaktu menjenguk ke kota. Semua itu tak membuat kehidupan berhenti berputar. Muda tumbuh sebagai anak yang dewasa. Mandiri dan rajin bekerja. Pintar. Meski ia tak pernah disekolahkan, karena keuangan keluarganya yang minim. Tapi orang-orang mengetahuinya bahwa Muda adalah seorang yang cakap. Pekerja keras dan tanggung jawab. Tak susah mendapatkan kerja baginya untuk sekadar menjaga toko, masalah berhitung ia sangat tangkas karena telaten. Bertani pun ia sangat mahir. Dan untuk masalah berjualan ia seorang pedagang jujur yang dikenal orang, dulu ia pernah berdagang di pasar. Menjajakan daging Ayam dan Kerbau atau hewan ternak lainnya lagi.
Tapi Muda menyimpan kepedihan. Karena di setiap harinya, ia merasakan keganjalan. Ketika orang-orang memujinya di sudut lain, orang-orang sepantaran jarang berkawan dengannya. Muda juga ingat dulu semasih anak-anak para ibu sahabatnya melarang bermain dengannya. Tapi Muda bukan anak cengeng, ia melewati harinya dengan tegar serupa kapal di tengah prahara dan badai lautan. Alhasil begitu ia besar, ia tak pernah merasa takut ditinggalkan dan membutuhkan orang. Bila dalam kesusahan, Muda akan berusaha mengatasinya sendirian. Tapi pagi itu, ibunya menghambur memeluk tubuhnya. Ketika Muda mengetuk pintu rumah. Ibu menyingkap sedikit gordennya dari dalam, dan begitu menangkap wajah Muda ibu langsung membuka kunci pintu rumahnya. Dan seketika tubuhnya dipeluk, seperti memeluk orang yang lama tak pulang.
“Ada apa Bu?”
“Kamu tak apa-apa?” Muda menggeleng keheranan.
“Alhamdulillah.” Ibunya terlihat bersyukur. Dan bergegas menutup kembali pintu rumah sambil tengok kanan-kiri. Ibu dengan cekatan memboyong Muda masuk rumah, dikuncinya pintu secepat kilat. Ibu kemudian mengajak Muda untuk duduk di kursi. Sambil menggenggam tangan Muda ibu bertanya kembali.
“Apa semalam kau tak diapa-apakan orang?” Muda tetap menggeleng.
“Misalnya ada orang yang menguntitmu dari belakang, kemudian dia mencoba melukaimu?” Kali ini ibu benar-benar sudah memaksa.
“Bu semalam Muda tak pergi kemana-mana. Muda di rumah juragan saja.” Jelas Muda dengan pengertian, lembut dan kasih sayang. Ibu menghela nafasnya dan akhirnya bisa menghembuskannya dengan tenang.
“Ada apa?” Kemudian Ibu mulai membenarkan posisi duduknya.
“Sepertinya ada masalah serius?” Ibu masih diam, meski mata Muda menghujam.
“Sebaiknya ibu ceritakan pada Muda!” Muda sedikit menegaskan.
“Baiklah Muda, ibu akan kisahkan padamu. Rasanya sudah cukup waktunya tepat kau mengetahuinya.” Ibunya kemudian memulai. Muda nampak memerhatikan. Dan suasana begitu saja berubah tegang.
**
Muda pergi juga mencari orang itu, untuk menanyakan beberapa hal. Muda bukan penasaran dengan maksud orang itu berniat membunuhnya. Ada yang lebih mengganggu ketenangannya jiwanya, ketimbang ia harus menerima kenyataan ada orang yang berniat menghabisi nyawanya. Yang membuat Muda penasaran adalah kisah dari ibunya, pagi tadi. Kisah bapaknya yang ternyata adalah seorang tim sukses pemilu berpuluh tahun lalu. Ketika kekuasaan begitu menakutkan. Sebuah rezim yang bak hantu paus di lautan. Saat itu dahulu, ketika setiap orang hanya tahu memilih gambar lambang partai, lalu nasib negara tergadaikan.
Dalam kisah penuturan ibu, bapaknya seorang yang memperjuangkan nasib orang banyak, berpihak pada kejujuran hati dan kebersihan nurani. Tapi untuk menyukseskan partai yang digawangi bapaknya harus mengorbankan diri. Dipecat dari pekerjaannya dan diteror setiap harinya. Hingga pada suatu hari datanglah seorang yang mengakunya teman, mengajak berkompromi pada bapak. Dan ternyata benar kedatangan orang itu membuahkan hasil, bapak akhirnya mau juga berpindah partai.
Ketika ditanya oleh ibu, rupanya jawaban bapak beralasan juga. Untuk menjaga idealisme harus dipertahankan sampai mati. Tapi bukan berarti tak peduli nasib keluarga. Apalagi bapak mengatahui bahwa ibu sedang mengandung Muda. Mulai saat itu hidup kembali terasa nyaman. Hanya berjarak beberapa minggu, bapak meninggal dunia. Ketika diperiksa katanya ini hal alamiah, sudah waktunya. Ibu akhirnya, menerimanya saja. Karena buat apa harus banyak berpikiran macam-macam, meski pada saat itu orang-orang mengabarkan kematiannya diracuni.
Lantas ketika ditanya, siapakah orang yang dicurigai meracuni bapak, ibu tak berani sepenuh hati menjawab temannya itu. Tapi bila memang benar dan harus percaya kabar peracunan itu, dari ucapan ibu pada Muda, nampak sekali ibu akan menuduh yang mengaku teman. Dan begitu ditanya siapakah teman bapak itu, ibu menjawab dengan tenang, dialah orangnya yang mencarimu. Mengancam akan membunuhmu. Jawab ibu pada Muda waktu itu.
Sepertinya akan lebih jelas bila Muda menemuinya, karena ibu juga bilang dia mantan pejabat daerah yang tinggal lumayan jauh dari desanya. Tapi Muda kini akan mendatanginya sebagai anak yang kehilangan bapaknya dan ingin tahu kepastian kematiannya.
**
Berbekal hapal namanya dan ciri-ciri orangnya, juga alamat rumahnya, Muda menemukanlah rumah orang yang ia cari yang berniat membunuhnya itu. Di depan halaman rumah yang besar Muda berhenti. Terpaku. Takjub melihat rumah megah berdiri dengan mewahnya. Gerbangnya yang tinggi, serta dinding pagar melindunginya. Dari celah pagar terlihat cat dinding rumah yang mahal. Mobil mewah terparkir di mana-mana. Dalam benak Muda kemudian terbayang wajah lelaki itu. Seorang lelaki kaya yang hidupnya tak pernah bahagia dan akhirnya harus mati ditangan seorang pemuda. Pemuda itu dirinyalah.
“Benarkah ini rumah Pak Bernat?” Tanya Muda pada satpam rumah yang berjaga.
“Iya benar, ada keperluan apa?”
“Saya ingin bertemu dengannya?”
“Sudah punya janji?” Muda menggeleng.
“Tunggu!” Satpam itu menelpon seseorang. Dari seberang telepon terdengar suara samara-samar.
“Namamu siapa?” Tanya satpam itu sambil tangannya masih memegang telpon yang belum putus.
“Muda Suhendra.” Jawab seketika. Lalu satpam itu melaporkan namanya. Dan hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja, sebelum akhirnya telpon itu ditutupnya.
“Kamu ditunggu tuan di dalam. Silahkan masuk!” Muda tak ambil pusing dengan kejanggalan tersebut. Di bukakannya gerbang yang kokoh itu. Dan tersibaklah tabir yang menutupi rumah besar itu. Rumah yang mewah.
“Kau silahkan temui tuan di belakang rumah. Di taman atas permintaan tuan, kau disuruhnya menungguinya di sana.” Ditunjukannya jalan. oleh satpam. Muda dengan tenang mengayunkan langkah kakinya.
Hingga akhirnya tiba di belakang rumah, sebuah taman yang tak jauh bedanya dengan taman-taman seperti biasanya. hanya saja di tengahnya ada kolam renang dan tempat berteduh sebuah pondok. Satpam itu pergi kembali setelah menyuruhnya untuk duduk di sebuah kursi.
Alangkah terkejutnya Muda ketika sekelebat lelaki yang nampak tua dengan cepat menukikan pisau ke arah punggungnya. Namun Muda sudah bisa menerkanya, sehingga ia mengelak ke arah sampingnya. Muda sudah nampak berdiri memasang kuda-kuda bertahan. Lelaki yang nampak tua itu menggenggam pisau. Matanya menyala. Dan tak banyak bicara.
“Sebaiknya kau jelaskan dulu, apa yang ingin kutahu darimu. Sebelum aku kau bunuh! Karena aku jauh-jauh ke sini bukan hanya untuk mati dibunuh begitu saja.” Muda masih siaga mencoba mengajaknya berunding.
“Apa yang kau ingin tahu, anak muda?” Sambil menyabitkan mata pisau ke arah Muda. Gerakan itu mudah dibaca Muda. Dan Muda menikung ke tempat berbeda.
“Apa benar kau yang membunuh bapakku dengan meracuninya, seperti yang banyak dikabarkan orang pada ibuku?” Muda masih tetap berjaga dari serangannya.
“Tak benar semua itu. Bapakmu mati karena Tuhan sudah menggariskannya begitu.” Ketika lengah lelaki yang sudah tua itu, diserang Muda. Kepalan tangan kanan mendarat di wajah dan dadanya. Serangan yang dilancarkan Muda tepat sasaran. Tubuh lelaki yang sudah tua itu ambruk juga.
“Bohong?” Muda berteriak sambil siap menikam dengan pisau yang ia rebut dari tangan lelaki yang sudah tua itu. Tapi lelaki tua itu malah terdiam pasrah begitu saja.
“Aku tidak bohong. Aku adalah teman bapakmu tidak mungkin membunuhnya. Berkat dialah aku menjadi kaya seperti ini. Malah aku ingin sekali membalas jasanya.” Lelaki yang sudah tua itu memaparkan, dengan wajah meyakinkan dibawah cekikan tangan Muda.
“Tak mungkin, bila kau teman bapakku mengapa ingin membunuhku?” Dengan tangan mencengkram pisau di atas tubuh yang terkapar di rumputan taman siap diluncurkan untuk menusuk tubuh tak berdaya, Muda kecewa.
“Aku hanya ingin menepati janji. Aku sudah berjanji akan mempertemukannya dengan anaknya yang pada saat itu masih di perut. Hingga akhirnya ia –bapakmu harus mati di depan mataku. Aku sudah membiarkanmu hidup lama, dan sekarang aku rasa bapakmu sudah teramat rindu padamu. Cepatlah temui dia!” Seperti gila. Muda tambah kebingungan. Rasa penasarannya kini begitu membuatnya tersiksa. Dan lengah. Lelaki yang sudah tua itu tak tersadar sudah beranjak dan merebut paksa kembali pisaunya dari tangan Muda. Keduanya adu kekuatan. Dan. Sampai akhirnya, hasilnya sebuah pisau tertancap di dada lelaki yang sudah tua itu. Darah melumurinya, juga melumuri tangan Muda.
Lelaki tua itu tumbang, ia tersenyum pada Muda. Lalu bersuara.
“Sepertinya aku dulu yang akan menemui bapakmu, aku akan bilang padanya aku sudah berusaha menepati janjiku. Dan anaknya yang sudah besar ini tak mau menemui bapaknya itu. Kau mau titip salam padanya?” Muda tak mengangguk juga tak menggeleng, dia merebahkan tubuh yang bermuluran darah secara perlahan.
Mata lelaki yang sudah tua itu terpejam. Dan tak akan ada lagi tatapan yang menagih janji kematian. Ibu Muda lupa sesuatu, dahulu orang tua yang mengaku temannya inilah yang membiayai persalinan anaknya, yakni Muda. ***
*Sedang belajar di Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. Menulis baik puisi, esai, opini dan cerpen, dan dimuat surat kabar daerah maupun nasional juga majalah (Majalah Sastra Horison, Jurnal Nasional, Seputar Indonesia, Kompas-Jabar, Padang Ekspres, Lampung Post, Pikiran Rakyat, Radar Banten, Tribun Jabar, Suara Karya, Pontianak Post, Surabaya Post, Sinar Harapan, Batam Pos, Harian Fajar, Jurnal Sastra Lazuardi, dll) Kini bergiat di ASAS UPI dan Rumah Akasia, Komunitas Rumah Tumbuh.
0 comments:
Post a Comment